PEMILIHAN MATERI PELAJARAN

- 1 komentar
Pemilihan Materi Pelajaran Problem yang sering dihadapi oleh para guru dan dosen adalah "begitu banyaknya materi yang harus diajarkan dengan waktu yang ter-batas" (Kozma, 1978, h.225). Di samping problem tersebut, para guru dan dosen juga sering mengalami kesulitan di dalam mengorgani-sasikan materi pelajaran yang akan diajarkan. Lebih-lebih bila kurikulum di dalam lembaga pendidikan di mana guru atau dosen tersebut bekerja belum dijabarkan secara ter¬perinci seperti terjadi di Indonesia khususnya sering meng¬alami perubahan kurikulum. Dalam hal ini dikecualikan Kurikulum SD - SLTA 1975, di mana di dalamnya telah ada perincian secara lengkap mengenai materi yang harus diajarkan dalam bentuk Pokok Bahasan dan Sub Pokok Bahasan. Di dalam proses penyusunan disain instruksional pemilihan materi pelajaran (content selection) dilakukan setelah topik dipilih, tujuan instruksional khusus dirumuskan dan setelah alat evaluasi (tes) ditentukan. Ketepatan pemilihan materi dan sumber di mana materi tersebut diperoleh, begitu pun prosedur pemilihannya sangat penting dikuasai oleh para guru. Uraian berikut diharapkan dapat memberikan bekal bagi para guru untuk memiliki ketrampilan di dalam Pemilihan materi pelajaran. Sumber Materi Pelajaran Kegiatan belajar siswa (mahasiswa) didasarkan atas materi (bahan) pelajaran. Materi pelajaran ini mendukung tercapainya TIK. Pada keba-nyakan guru dan dosen, materi pelajaran (subject content) merupakan titik utama di dalam kegiatan mengajamya. Hal ini lazim terjadi pada cara-cara tradisional yang dikenal dengan nama pengajaran yang ber¬pusat pada materi atau bahan (subject-centered teaching). Menurut "subject-centered teaching" ini buku-buku teks merupakan sumber utama dari materi pelajaran. Bahkan buku-buku teks ini pula yang menentukan tujuan instruksional, materi pelajaran dan langkah-langkah (urutan) pengajaran. Sebagai akibatnya, semua kegiatan mengajar berpusat pada suatu buku. Menurut cara ini di dalam mengajar, seorang guru atau dosen memilih satu atau lebih buku untuk diajarkan kepada siswa atau mahasiswa, dan langkah-langkah mengajarkannya, begitu pun materi yang diajarkan adalah sesuai dengan daftar isi buku tersebut. Menurut konsep penyusunan disain instruksional secara sistematis, buku-buku teks hanyalah merupakan salah satu sumber untuk memilih materi (bahan) pelajaran. Materi yang harus diajarkan untuk suatu bidang studi adalah dinamis, dalam arti berubah dari waktu ke waktu, tidak statis seperti tercantum di dalam buku-buku teks. Oleh karena itu, para guru atau dosen di dalam memilih sumber materi perlu memperhatikan penerhitan-penerbitan berkala seperti majalah, jurnal, para konsultan yang berpengalaman, termasuk pengalaman praktek para guru/dosen sendiri di dalam mengadakan penelitian dan lain-lain sumber yang sesuai dengan bidang studi yang diajarkan. Macam-macam Materi Pelajaran Apakah yang dimaksud dengan materi pelajaran (subject content) dan bagaimana macamnya (content type)? Menurut Kemp (1977, h. 44), materi pelajaran dalam hubungannya dengan proses penyusunan disain instruksional merupakan gabungan antara pengetahuan (fakta dan informasi yang terperinci), ketrampilan (langkah-langkah, prosedur, keadaan, dan syarat-syarat) dan faktor sikap. Kemp membedakan "knowlegde, skills and attitude'". Berbeda dengan pendapat Kemp adalah pendapat Merril (1977, h.37) yang membedakan isi (materi) pelajaran menjadi empat macam yakni "fact, concept, procedure and principle". Cara yang paling mudah untuk mengetahui apakah materi yang akan diajarkan termasuk fakta, konsep, prosedur atau prinsip, ialah dengan mengemukakan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1.Apakah siswa diminta untuk mengingat nama suatu obyek, simbol atau suatu peristiwa? Kalau jawabannya "ya", maka materi pela¬jaran tersebut termasuk dalam kategori "fakta". Contoh: Seorang guru mengajarkan bentuk dan susunan negara RI, seorang guru SD mengajarkan nama-nama ibu kota propinsi di seluruh Indonesia. 2.Apakah siswa diminta untuk menyatakan suatu definisi, menuliskan ciri khas sesuatu, mengklasifikasikan beberapa contoh sesuai dengan suatu definisi ? Kalau "ya" berarti yang diajarkan tersebut adalah "konsep". Contoh: Seorang guru mengajarkan definisi atau pengertian jajarangenjang, menjelaskan ciri-ciri binatang buas, menunjukkan beberapa tumbuh-tumbuhan kemudian siswa diminta untuk mengklasifikasi¬kan mana yang termasuk tumbuhan yang berakar serabut dan ber¬akar tunggal. 3.Apakah siswa diminta untuk menjelaskan langkah-langkah, pro¬sedur secara urut, atau memecahkan suatu masalah atau membuat sesuatu? Bila "ya", maka materi pelajaran tersebut termasuk "prosedur" .Contoh: Seorang dosen mengajarkan bagaimana proses penyusunan undang-undang. Seorang guru mengajarkan bagaimana membuat magnit buatan. 4.Apakah siswa diminta untuk mengemukakan hubungan antara beberapa konsep, atau menerangkan keadaan ataupun hasil hubung-an antara berbagai macam konsep ? Bila "ya", berarti materi pelajaran tersebut termasuk dalam kategori "prinsip". Contoh: Dosen menerangkan hubungan antara penawaran dan permintaan suatu barang dalam lalu lintas ekonomi. Guru menerangkan sebab-sebab terjadinya gerhana bulan atau matahari. Langkah-langkah Pemilihan Materi Pelajaran Membuat catatan atau menyiapkan outline pelajaran, pidato, ceramah, paper, kuliah, pada hakekatnya adalah membuat daftar materi pelajaran. Di dalam memilih isi pelajaran, pada langkah pertama, sebaiknya dicantumkan lebih banyak daripada yang diperlukan. Alasan untuk ini seperti dikemukakan oleh Kemp, ialah bahwa lebih mudah mengurangi beberapa bagian belakangan daripada mencari tambahan materi pada waktu program sedang berjalan (1977, h.44). Menurut prinsip-prinsip penyusunan disain instruksional, langkah¬-langkah yang sebaiknya diikuti ialah pertama-tama merumuskan tujuan instruksional umum, kemudian merumuskan tujuan instruksional khusus, barulah kemudian menentukan materi pelajaran. Di dalam praktek sering terjadi, lebih mudah bila dimulai dari peru¬musan tujuan instruksional umum, kemudian diikuti menyusun daftar materi yang akan dipelajari atau diajarkan, kemudian baru menyusun tujuan instruksional khusus sesuai dengan materi pelajaran tersebut. Terakhir mencocokkan materi pelajaran dengan tujuan instruksional khusus. Di dalam merumuskan tujuan instruksional khusus, seyogyanya dimulai dari hal yang kongkrit, kemudian dilanjutkan kepada konsep, prinsip dan terakhir kepada hal-hal yang lebih abstrak. Oleh karena TIK erat sekali dengan materi pelajaran, maka 'pengorganisasian materi pel-ajaran pun seyogyanya disesuaikan dengan TIK tersebut, artinya dimulai dari hal-hal yang kongkrit dan sederhana kemudian kepada hal-hal yang rumit dan abstrak. Pengorganisasian yang demikian akan lebih memudahkan cara mempelajarinya. Teknik lain untuk memilih dan menyusun materi pelajaran adalah dengan mendasarkan atas penggunaan "generalisasi" dan "konsep". Hal ini dikemukakan oleh Kozma (1978, h.226). Menurut Kozma, bila generalisasi dan konsep dipandang sebagai pembentuk suatu bidang studi tertentu, maka generalisasi dan konsep tersebut selanjutnya dapat disusun di dalam suatu kerangka yang dapat memberi petunjuk pemilihan dan pengembangan TIK, strategi instruksional dan prosedur evaluasi. Sebagai contoh, berikut dikemukakan generalisasi yang telah dipilih untuk mengajar bidang studi ekonomi dengan topik "Inflasi". "Kenaikan jumlah uang yang beredar dibarengi dengan-penurunan jumlah barang yang tersedia untuk dibeu akan menghasilkan inflasi harga-harga". Setelah "generalisasi" tersebut dipilih, pengajaran dapat diorganisasi¬kan dengan menggunakan pengalaman-pengalaman belajar yang secara logis berhubungan dengan generalisasi tersebut. Dalam beberapa hal, misalnya dengan memilih beberapa halaman dari suatu buku teks. Selain itu dapat juga digunakan sumber lain untuk menyusun materi tersebut, yang jelas penggunaan "generalisasi" sebagai dasar penyusunan materi pelajaran akan membuat pengajaran bertitik pangkal kepada "generalisasi" tersebut tidak kepada halaman per halaman dari suatu buku teks. Untuk jelasnya perlu didiskusikan tentang apa yang dimaksud dengan "generalisasi". Generalisasi adalah suatu hipotesis yang kebenarannya masih perlu diuji dengan bukti-bukti. Generalisasi yang telah teruji kebenarannya sehingga berlaku di mana-mana dan kapan saja kadang-kadang disebut "prinsip". Generalisasi biasanya merupakan perumusan hubungan an¬tara berbagai konsep. Seperti contoh di atas, konsep-konsep yang mem¬bentuk generalisasi misalnya "kenaikan jumlah uang yang beredar", "penurunan", "barang yang tersedia", "inflasi" dan sebagainya. "Konsep" sendiri berarti suatu pengertian. Apakah yang dimaksud dengan "uang"? Jawab atas pertanyaan ini berarti kita mendefinisikan arti "uang". Bagaimana langkah-langkah menyusun dan memilih materi pelajaran? Di dalam lembaga pendidikan yang kurikulumnya telah dikembangkan dengan baik, sudah barang tentu tidak akan dijumpai kesulitan dalam menyusun materi pelajaran. Dalam keadaan yang demikian pemilihan generalisasi dan konsep yang akan diajarkan dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. Dalam hal ini Kurikulum SD - SLTA 1975 telah memberikan petunjuk yang memadai meskipun belum sempuma betul. Namun pada lembaga pendidikan tinggi terlebih-lebih bagi perguruan tinggi yang kuriku¬lumnya sering diadakan perubahan, masih diperlukan usaha yang keras untuk menyusun materi perkuliahan. Kebanyakan kurikulum dikem¬bangkan oleh masing-masirig dosen tanpa koordinasi yang sistematis. Bila petunjuk pengembangan kurikulum belum tersedia, kiranya langkah-langkah berikut dapat dipakai sebagai pegangan. 1.Identifikasi nama unit atau topik yang akan diajarkan. 2.Tiap unit atau topik, identifikasi generalisasi dan konsep yang akan dipakai sebagai pedoman (guide) pengajaran. 3.Identifikasi konsep-konsep dan sub konsep yang meliputi generalisasi tersebut. 4.Susun generalisasi dan konsep tersebut menurut urutan yang logis. 5.Kembangkan kerangka rencana unit pengajaran untuk masing¬-masing generalisasi dan konsep yang termasuk di dalamnya.

PENYUSUNAN TES PENGUKURAN KEBERHASILAN

- Tidak ada komentar
Penyusunan Tes Pengukur Keberhasilan (Criterion Referenced Test) Setiap guru ataupun pendidik tentu selalu dihadapkan pada tugas untuk menilai kemampuan anak didik. Berbagai instrumen telah banyak digunakan untuk keperluan tersebut. Di antaranya yang paling populer ialah tes yang dibuat oleh dosen atau guru untuk menentukan nilai (grade). Seringkali tes tersebut dibuat setelah pelajaran atau kuliah selesai. Tentang sukar atau mudahnya tes ini tergantung pada pendapat dosen atau guru mengenai pelajaran yang diberikan. Bentuk dan jumlah tes pun tergantung kemampuan dan kesu¬kaan guru untuk membuatnya, tidak tergantung pada materi yang telah diajarkan. Di samping itu terutama di negara-negara maju telah ada profesi penyusunan tes untuk berbagai bidang studi. Di Indonesia masih dalam taraf perintisan untuk menyusun semacam bank tes. Proses penyusunan tes ini sedemikian sistematis, sehingga diharapkan tes tersebut betul-betul sahih (valid). Dewasa ini ada perubahan di dalam penyusunan tes. Hal ini menurut Dick & Carey (1978, h. 78) adalah akibat dari pengaruh Mager yang menulis tentang tujuan instruksional yang bersifat tingkah laku (behavioral objectives). Dengan meningkatnya perhatian terhadap perumusan tujuan yang ber¬sifat tingkah laku ini, maka tes pun kemudian diarahkan untuk meng¬ukur apakah tingkah laku yang diharapkan sebagai hasil belajar telah dimiliki oleh siswa atau belum. Menurut konsep ini siswa diberitahu dan diajarkan tentang pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang harus mereka miliki, setelah itu dites untuk mengetahui apakah mereka telah berhasil. Tes yang didisain atau direncanakan untuk mengukur tercapainya tujuan instruksional disebut tes pengukur keberhasilan (criterion-referenced tests). Tes ini mempunyai peranan penting untuk: (1) menilai kemajuan siswa, (2) memberikan informasi mengenai efektifitas program pengajaran. Hasil tes ini memberitahu kepada guru seberapa jauh siswa dapat mencapai tujuan instruksional yang telah ditentukan: Oleh karena itulah tes pengukur keberhasilan ini memegang peranan penting di dalam pro¬ses penyusunan disain instruksional. Mengapa penyusunan tes ini dilakukan segera setelah ditentukan TIK, tidak setelah proses penyusunan disain atau pengajaran terakhir ? Alasan yang utama ialah bahwa tes yang disusun hendaknya relevan, ada hubungan dan kaitannya dengan setiap TIK yang telah ditentukan sebe-lumnya. Tes ini hendaknya mengukur tercapai tidaknya setiap TIK. Konsep Pengertian Tes Pengukur Keberhasilan. Apakah yang dimaksud dengan Tes pengukur keberhasilan? Istilah ini diterjemahkan dari "Criterion referenced test" (CRT). Dick & Carey (1978, h. 78) mengartikannya sebagai tes yang terdiri atas item-item yang secara langsung mengukur tingkah laku yang telah ditentukan di dalam perumusan tujuan instruksional yang bersifat tingkah laku (behavioral objectives). Istilah ukuran (criterion) dipergunakan karena tes tersebut memang dimaksudkan untuk menentukan terpenuhi tidaknya prestasi siswa dengan tujuan istruksional khusus yang telah ditentukan. Dengan kata lain, keberhasilan siswa di dalam mengerjakan tes tersebut adalah merupakan ukuran bahwa siswa tersebut telah mencapai TIK suatu unit pengajaran. Oleh karena itu, CRT ini sering pula disebut "objectives-referenced test". Istilah ini tidak lain adalah untuk menunjukkan hubungan yang erat antara item tes dengan TIK. Di sam¬ping itu, istilah kriteria (criterion) sering juga dihubungkan dengan tingkat prestasi atau pencapaian yang dipandang sebagai telah cukup atau memenuhi syarat penguasaan (mastery). Contoh untuk ini misalnya: "siswa telah dapat menjawab 100% benar". Untuk dapat menentukan bahwa suatu tes termasuk dalam kategori "CRT" menurut Dick & Carey (1978, h. 79) ialah pertama-tama apakah tes tersebut paralel dengan TIK, dan kedua apakah ada kriteria untuk menentukan tingkat keberhasilan. Tes Pengukur Keberhasilan & Tes Pengukur Kelompok. Tes pengukur keberhasilan (CRT) biasanya dibedakan dengan Tes Pengukur Kelompok (Norm Referenced Test) disingkat NRT. Bagaima-nakah perbedaan antara kedua jenis tes tersebut? Ilustrasi berikut kiranya akan memberikan gambaran yang jelas mengenai kedua jenis tes tersebut. Pada ilustrasi di atas, prestasi atau hasil tes seseorang dibandingkan dengan hasil teman yang lain. Nilai (seore) seseorang dilihat dalam hubungannya dengan siswa lain di dalam kelompok yang sama-sama menempuh tes tersebut. Tes yang dipergunakan untuk menentukan prestasi seseorang di dalam hubungannya dengan prestasi orang lain di dalam suatu grup disebut "Tes Pengukur Kelompok" (NRT). Gronlund, 1973, h. 2). Dick & Carey (1978, h. 88 - 89) membedakan antara CRT dan NRT didasarkan atas tiga kriteria. Pertama, adalah bagaimana cara suatu tes dikembangkan. Kedua, adalah standar yang dipakai untuk menilai "performance" siswa dalam menempuh tes. Ketiga, adalah maksud suatu tes disusun. Pengembangan Tes Seperti dikemukakan di atas, tes pengukur keberhasilan (CRT) hanya terdiri atas soal-soal tes yang didasarkan atas tujuan instruksional khusus. Setiap item tes mensyaratkan agar siswa menunjukkan "performance" seperti yang tercantum di dalam tujuan instruksional khusus. Standar untuk diterimanya suatu "performance" di dalam menempuh tes didasarkan atas kriteria yang telah ditentukan di dalam tujuan instruk¬sional khusus. Misalnya: suatu tujuan instruksional khusus (TIK) berbunyi "agar siswa dapat menunjukkan ibu kota propinsi di seluruh Indonesia bila kepada¬nya diberikan peta buta Indonesia dengan ketentuan 90% harus betul". Berdasarkan contoh tersebut, seorang siswa baru dianggap lulus tes bila terhadap tes yang berkenaan dengan letak ibu kota propinsi tersebut ia menjawab benar minimal 90%. Tes pengukur kelompok (NRT) adalah berbeda dengan uraian dan con¬toh di atas. Adalah tidak perlu untuk terlebih dulu menentukan secara pasti "perfor¬mance" yang diharapkan dalam bentuk tingkah laku sebelum suatu tes disusun. Soal tes tak usah didasarkan atas pelajaran yang diterima siswa. Tak usah pula didasarkan atas ketrampilan atau tingkah laku yang dipandang sebagai ukuran dengan apa yang telah dipelajari siswa. Item tes yang dikembangkan dari suatu bidang tertentu untuk keperluan NRT diperlakukan terhadap berbagai kelompok siswa dari target populasi. : Item tes yang paling banyak dapat memberikan variasi jawaban dari siswa dimasukkan ke dalam NRT. Ranking nilai (scores) biasanya diha¬rapkan menyerupai bentuk genta atau curve normal bila dipresentasikan dalam bentuk diagram. Itulah sebabnya disebut "norm-referenced test". Standar Penilaian "Performance" Siswa. Perbedaan CRT (TAP) dan NRT (TAN) yang kedua didasarkan atas bagaimana "performance" siswa dinilai dan ditafsirkan. Di dalam CRT, standar "per¬formance" ditentukan dalam bentuk tingkah laku. Masing-masing per¬formance individu dalam menempuh tes diukur berdasar standar perfor¬mance yang telah ditetapkan. Ukurannya ialah siswa menguasai TIK atau-tidak. Performance mereka ditafsirkan atas dasar jumlah TIK yang disyaratkan untuk dikuasai. Bisa terjadi bahwa seluruh siswa menguasai seluruh TIK, atau gagal semuanya setelah dites. Distribusi nilai tak diharapkan menyerupai curve normal. Nilai (scores) pada NRT tidak dilaporkan atas dasar jumlah TIK yang dikuasai siswa, melainkan atas dasar jumlah pertanyaan yang dijawab benar oleh seorang siswa dihu¬bungkan dengan siswa lainnya yang sama-sama menempuh tes tersebut. Kata-kata bahwa prestasi seorang siswa adalah lebih baik dari 80% teman lainnya adalah suatu contoh penafsiran hasil tes menurut NRT ( TAN ). "Hasil tes semacam itu memberikan kedudukan relatif individu diban¬dingkan dengan individu-individu dalam suatu kelompok kelas, sekolah dan sebagainya" (Vembriarto, 1978, h. 2). Maksud Tes Apakah akan digunakan CRT (TAP) atau NRT (TAN) tergantung dari maksud untuk apa tes itu diadakan. Bila seorang guru bermaksud mengklasifikasikan seseorang, men¬diagnosa belajar siswa, atau hendak menyusun preskripsi pengajaran, maka adalah penting bagi guru untuk menyusun tes pengukur keberhasilan (CRT) untuk menilai performance siswa. Performance setiap individual akan menunjukkan apakah seorang siswa telah menguasai suatu ketrampilan atau belum. Sebaliknya, bila seseorang akan mengadakan seleksi terhadap individu yank diperlukan" (Vembriarto, 1978, h. 4), sebaiknya digunakan NRT. Sebab NRT memang tepat untuk menilai satu individu dalam hubungan¬nya dengan individu lain berdasar atas alat pengukur yang sama. Fungsi utama NRT adalah untuk mengambil keputusan tentang indi¬vidu. Meski kegunaan CRT berbeda dengan NRT, namun menurut Dick & Carey (1978, h. 89) sekarang adalah lazim bahwa CRT tak hanya digu-nakan untuk menilai kemajuan siswa, namun juga untuk memban¬dingkan performance siswa dalam mencapai suatu TIK. Alasan untuk ini ialah bawha hasil perbandingan tersebut dapat untuk menentukan manakah siswa yang bekerja lebih cepat, siapa yang mencapai prestasi lebih dari standar minimal yang ditentukan, untuk mengetahui posisi seorang siswa di antara teman-teman lain, untuk mengetahui siswa yang paling rendah prestasinya dan sebagainya. Pendapat Dick & Carey ter¬sebut adalah sejalan dengan pendapat Gronlund yang menyatakan bahwa "CRT dapat didisain untuk berbagai maksud di dalam proses pengajaran" (1976, h. 6). Macam-macam Tes Pengukur Keberhasilan (CRT). Dick dan Carey (1978, h. 79) menyebutkan adanya empat macam CRT yang terpenting yakni: (1) Tes prasyarat (entry-behavior test). Tes ini merupakan CRT yang didisain untuk mengukur apakah siswa telah memiliki syarat ketrampilan yang diperlukan sebelum mengikuti suatu pelajaran, (2) Tes awal (pre tes). Tes awal merupakan CRT untuk mengukur seberapa jauh siswa telah memiliki ketrampilan mengenai hal-hal yang akan dipelajari, dan (3) Tes akhir (pos tes). Tes akhir merupakan CRT untuk mengukur apakah siswa telah menguasai ketrampilan seperti yang dirumuskan di dalam TIK setelah mengikuti suatu program pengajaran, dan (4) Tes pengukur kemajuan siswa (progress test). Tes ini diberikan sewaktu-waktu selama siswa sedang dalam proses mempelajari satu unit pelajaran. Fungsi tes ini ialah semacam mem¬berikan latihan kepada siswa untuk menempuh pos tes setelah mengikuti suatu pengajaran. Dengan demikian tes ini akan memberikan data yang sangat berharga untuk mengadakan evaluasi formative terhadap jalannya pengajaran. Fungsi kedua ialah untuk mengetahui kemajuan siswa, dan bila perlu guru dapat memberikan program perbaikan (remidial) sebelum tes akhir (pos tes). Sementara itu Gronlund (1976, h.6) membedakan CRT dengan lain¬-lain tipe (macam) tes dengan menggunakan kriteria yang mirip juga dengan Dick & Carey yaitu "kegunaan" tes tersebut. Di samping Gronlund pun mengakui bahwa memang klasifikasi utama suatu tes adalah menjadi criterion-referenced test dan norm-referenced test. Gronlund juga membedakan empat macam kegunaan tes sebagai berikut: (1) Untuk mengukur pengetahuan dan kemampuan prasyarat (prerequisite) yang diperlukan untuk memulai suatu unit pengajaran. Tes ini disebut "pre tes", (2) Untuk mengukur kemajuan perkembangan pengetahuan dan kemampuan sepanjang berlangsungnya suatu unit pengajaran (for¬mative test), (3)Untuk mengetahui- kesulitan siswa, mengetahui sebab-sebab kesulitan selama pengajaran berlangsung (diagnostic test), dan (4) Untuk mengukur hasil belajar dari suatu unit pengajaran (sum¬mative test). Meskipun sama-sama membedakan adanya empat macam test, namun antara Dick & Carey dengan Gronlund ada perbedaan pendapat yang perlu didiskusikan. Dick & Carey menyebut keempat macam tes (entry-behavior test, pre tes, pos tes dan progres stes) sebagai CRT. Sedangkan Gronlund untuk dapat disebut sebagai CRT, perlu syarat¬ syarat khusus. Menurut Gronlund, "pre tes" dapat disebut sebagai "criterion refe¬renced", hanya apabila didisain sesuai dengan prinsip-prinsip penyusun¬an CRT, yakni didasarkan atas kriteria tertentu, dalam hal ini TIK . Sebaliknya “non referenced test” pun dapat diberikan pada permulaan pengajaran baik untuk mengetahui berapa banyak siswa yang telah mengetahui isi pelajaran. Yang penting diperhatikan menurut Gronlund ialah bahwa tidakmesti semua “pre tes” adalah “criterion referenced test”. Dalam hal ini Dick & Carey menganggap sama “pre tes” adalah “criterion referenced test”. Mengenai istilah “formative test” dan “summative test”, menurut Gronlund sebenarnya lebih banyak dikaitkan dengan proses penilaian kurikulum seperti dikembangkan oleh Scriven, (1967). Hal ini sesuai pula dengan pendapat Dick & Carey (1978, h.177) yang mengatakan “evaluasi formatif adalah suatu proses untuk mendapatkan data bagi guru untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi suatu program pengajaran. Tekanan evaluasi formatif adalah untuk mengumpulkan data yang akan digunakan untuk merevisi suatu program pengajaran agar mencapai efektifitas semaksimal mungkin”. Tes formatif digunakan sewaktu pengajaran sedang berlangsung untuk memacu, mengarahkan, dan menilai belajar siswa dan untuk menilai efektivitas proses pengajaran. Sedang tes sumatif adalah tes yang diberikan di akhir pengajaran untuk menentukan apakah yang telah dipelajari siswa. Menurut Gronlund CRT dapat dipakai untuk tes sumatif dan formatif, begitu pun “norm referenced” dapat melayani keperluan tes formatif dan tes sumatif. “Criterion referenced test” pada dasarnya dapat pula untuk keperluan tes diagnostik yakni untuk menunjukkan kesalahan atau kesulitan belajar siswa dalam suatu bagian tertentu. Namun agar dapat berfungsi sebagai tes diagnostik, suatu tes perlu disusun secara khusus sehingga dapat menentukan di mana letak kesalahan atau kesulitan belajar siswa. Sebab CRT yang menentukan standar bahwa bila 80% TIK tercapai seperti ditunjukkan dari hasil tes yang benar 80% lebih, belum menunjukkan di mana letak kesalahan 20%. Kesimpulan dari uraian tersebut di atas ialah bahwa meskipun CRT dapat dipergunakan sebagai “pre tes”, formative tes, diagnostik tes, summatif tes, namun istilah-istilah tersebut jangan sampai dikacaukan dengan CRT. Prinsip-prinsip CRT Penyusunan disain dan pengembangan Tes Pengukur Keerhasilan hendaknya diarahkan kepada pengukuran keberhasilan siswa di dalam mencapai tujuan instruksional yang telah dirumuskan secara jelas. Untuk dapat mengembangkan tes yang demikian, beberapa hal yang perlu diperhatikan menurut Gronlund adalah sebagai berikut: 1. Aspek-aspek tugas yang hendak dipelajari perlu dirumuskan secara tegas. Apakah tugas siswa menghafalkan fakta, membedakan, menghafalkan dalil, menerapkan suatu rumus? Inilah yang dimaksud tugas mempelajari (learning task), yang kesemuanya harus dirumuskan secara tegas. 2. Tujuan instruksional hendaknya dirumuskan dalam bentuk tingkah laku. Hasil tes adalah untuk mengukur apakah siswa telah berhasil menyelesaikan tugas yang harus dipelajari. Oleh karena itu, tingkah laku yang menunjukkan hsil siswa mempelajari tugas tersebut perlu dirumuskan secara jelas. Hasil belajar tersebut hendaknya dirumuskan dalam bentuk tingkah laku misalnya mengidentifikasi, menjelaskan, menyusun, membedakan, dan sebagainya yang diharapkan siswa dapat menunjukkan sebagai pertanda ia telah mencapai tujuan yang diharapkan. Kadang-kadang kapan dan dalam keadaan bagaimana (conditions) kemampuan itu harus ditunjukkan perlu pula dirumuskan secara tegas. Bolehkah melihat reference, menggunakan kamus pada waktu menyelesaikan tugas mengarang misalnya? 3. Standar keberhasilan minimal perlu ditegaskan. Seberapa jauh prestasi siswa telah dianggap cukup memenuhi syarat? Tanpa ada ketentuan standar keberhasilan ini akan sulit mengembangkan CRT. 4. Perlu ditentukan sampel (contoh) performance siswa untuk dipakai dasar menilai penguasaan atas tugas-tugas mempelajari, suatu tujuan instruksional. Kalau dalam suatu unit pelajaran ada enam TIK, bisakah penguasaan TIK No. 1, 3, 5 sudah dipandang cukup? 5. Soal-soal tes perlu dipilih berdasar atas tingkah laku yang dirumuskan di dalam tujuan instruksional. Bila TIK menghendaki siswa dapat menggunakan rumus, maka soal tes pun harus meminta siswa untuk menggunakan rumus, bukan sekedar menghapal. 6. Perlu sistem penilaian (scoring) yang secara jelas menunjukkan penguasaan siswa atas tugas mempelajari sesuatu yang telah dite-tapkan. Misalnya siswa dianggap lulus dengan nilai C (cukup) kalau benar 70% dari 100 soal yang dikerjakan. Penyusunan Disain & Penulisan Tes Bagaimana memulai menyusun disain dan mengembangkan CRT? Prinsip dasar untuk ini ialah hendaknya penyusun tes menuliskan satu atau lebih tes untuk setiap tujuan instruksional. Jadi, yang penting diperhatikan setiap soal tes harus menunjuk dengan tegas TIK yang hendak dites. Soal yang tak ada hubungan dengan TIK hendaknya dikeluarkan dari CRT. TIK yang berkenaan dengan aspek pengenalan (cognitive) biasanya mudah untuk disusun soalnya. Pada soal yang berkenaan dengan aspek pengetahuan atau kemampuan intelektual, siswa dikehendaki menjawab soal dengan menulis untuk menunjukkan. penguasaannya atas suatu TIK. TIK untuk aspek sikap (affective) lebih sukar untuk menyusun soalnya. Sebab TIK yang berkenaan dengan aspek sikap pada umumnya ber¬kenaan dengan sikap dan pilihan siswa. Oleh karena tak ada instrumen yang secara langsung untuk bisa mengukur sikap dan pilihan siswa, misalnya apakah seorang siswa menyenangi suatu musik, maka soal un¬tuk aspek sikap biasanya menghendaki agar siswa menunjukkan pilihan¬nya atau guru mengamati tingkah laku siswa. Soal untuk aspek gerak (psychomotor) mirip dengan soal pada aspek pengetahuan. Hanya saja untuk aspek gerak ini kemampuan yang harus didemonstrasikan adalah yang berkenaan dengan gerak fisik, seperti gerakan tangan, kaki, bibir, badan,dan sebagainya. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan di dalam menuliskan soal tes ialah: 1. Item tes yang ditulis hendaknya konsisten atau sesuai dengan tingkah laku, kondisi dan standar yang telah ditetapkan di dalam TIK. Oleh karena itu, sebelum menuliskan suatu item tes, perlu dilihat dulu TIK yang bersangkutan. Apakah di dalam TIK disebutkan bahwa siswa harus mendefinisikan sesuatu dengan bahasa sendiri tanpa melihat catatan? Jadi, yang penting diperhatikan ialah apakah yang harus dikerjakan siswa menurut TIK? Bila di dalam TIK siswa harus dapat memasangkan, menuliskan, menyusun daftar, memilih, atau menjelaskan, maka soal-soal yang dibuat hendaknya memungkinkan siswa untuk melakukan tugas¬-tugas tersebut. Soal tes juga harus memperhatikan dalam keadaan bagaimana kemampuan itu ditunjukkan. Apakah harus dengan hafalan, boleh meuhat buku, boleh menggunakan alat seperti mesin hitung ?Standar minimal untuk mendapatkan suatu nilai pun perlu dicantumkan. Misalnya benar semua mendapat 8, 10 atau seratus, atau A misalnya. 2. Jumlah item untuk setiap TIK. Hendaknya dibuat lebih dari suatu tes item untuk setiap TIK. Kalau hanya satu item tes untuk setiap TIK, sukar untuk menentukan apakah benar-benar siswa tersebut telah menguasai TIK. Kalau ia tak benar menjawab satu item tes tersebut. Sebaliknya bila ia gagal menjawab satu soal apakah berarti ia gagal menguasai TIK tersebut? Pedoman yang perlu diperhatikan ialah bila dari suatu tes, siswa diminta untuk menebak (guessing) jawaban dengan benar, sebaiknya dibuat beberapa tes paralel untuk suatu TIK. Bila soal tes tidak menghendaki siswa untuk menebak, tapi menjawab singkat atau menguraikan misalnya, maka satu atau dua soal untuk satu TIK sudah cukup untuk menilai kemampuan siswa. Meski tak ada ketentuan secara tegas tentang jumlah item tes untuk setiap TIK, hasil riset menunjukkan bahwa semakin sempit suatu TIK, semakin sedikit item tes yang diperlukan. Sebaliknya, semakin luas suatu TIK, semakin banyak jumlah item tes yang diperlukan un¬tuk mengukur performance siswa (Dick & Carey, 1978, h.82). 3. Tipe (bentuk) tes. Tipe (bentuk) tes bagaimana yang akan digunakan untuk mengukur performance siswa ? Kita mengenal berbagai tipe atau bentuk tes seperti benar salah, melengkapi, memasangkan, pilihan ganda, dan essay. Di dalam memilih tipe (bentuk) tes, hendaknya bentuk tingkah laku yang dinyatakan di dalam TIK perlu diperhatikan. Dengan menggunakan tipe TIK sebagai pedoman, dapat disusun tes yang terbaik untuk mengukur performance siswa. Perlu diperhatikan pula waktu yang tersedia untuk mengerjakan tes. Perlu diperhatikan pula bahwa masing-masing tipe tes mempunyai kelemahan dan kebaikan. 4. Pengaturan nomor tes. Sebaiknya tes disusun secara tersebar (scramble). Namun hendaknya tetap dikelompokkan sesuai dengan tipe masing¬-masing tes. 5. Petunjuk mengerjakan tes. Perlu dituliskan petunjuk yang jelas di dalam mengerjakan tes. Misalnya menjawab dengan memberi tanda silang, melingkari, dan sebagainya. Validitas & Reliabilitas Tes. Di dalam menyusun CRT perlu diperhatikan validitas isi (content validity). Tes yang isinya valid menurut Gronlund (1973, p. 47) adalah tes yang konsisten dan relevan dengan TIK dan materi suatu unit pelajaran. Di samping soal validitas, di dalam menyusun tes perlu pula diperhatikan soal reliabilta (test relability). Istilah reliability "berkenaan dengan pertanyaan "apakah suatu item tes secara konsisten mengukur tingkah laku yang akan diukur (Dick & Carey, 1978, h.90). Sebagai contoh bila ada empat nomor soal tes yang dipandang dapat untuk mengukur ketrampil¬an tertentu dari seorang siswa, maka siswa yang menguasai ketrampilan tersebut diharapkan dapat menjawab dengan benar minimal tiga dari empat soal tersebut. Sebaliknya bila siswa tidak menguasai ketrampilan tersebut seharusnya ia pun gagal menjawab tes tersebut.

PEMILIHAN STRATEGI INSTRUKSIONAL

- Tidak ada komentar
Pemilihan Strategi Instruksional Secara umum, strategi instruksional dapat diartikan "setiap kegiatan yang dipilih, yang dapat memberikan fasilitas atau bantuan kepada siswa dalam menuju tercapainya tujuan instruksional tertentu" (Kozma, 978, hal. 97). Dalam hal ini Dick dan Carey dalam memberikan definisi mengenai trategi instruksional tidak hanya terbatas pada "kegiatan", melainkan juga termasuk di dalamnya "materi atau paket pengajaran". Suatu strategi instruksional terdiri atas semua komponen materi (paket) pengajaran dan prosedur yang akan digunakan untuk membantu siswa dalam mencapai tujuan instruksional tertentu" (1978, h. 106). Komponen Strategi Instruksional Selanjutnya Dick menyebutkan adanya lima komponen strategi instruk¬sional yakni: (1) Kegiatan instruksional pendahuluan, (2) Penyampaian informasi, (3) Partisipasi siswa, (4) Tes, dan (5) Kegiatan lanjutan. Ad. 1 Kegiatan instruksional pendahuluan. Kegiatan pendahuluan di sini dimaksudkan untuk menarik minat atau meningkatkan motivasi siswa terhadap materi yang akan dipelajari. Untuk siswa yang sudah dewasa, soal motivasi ini tidak sepenting siswa yang kurang dewasa. Karena, siswa dewasa dianggap sudah menya dari sendiri akan kewajibannya untuk belajar. Namun untuk siswa yang kurang dewasa, beberapa teknik perlu digunakan untuk mendorong motivasi mereka. Beberapa teknik yang dapat digunakan antara lain. a.Tunjukkan kepada mereka pengetahuan dan ketrampilan apa yang akan mereka peroleh sehabis mempelajari suatu pelajaran. Tunjukkan guna atau manfaatnya. Istilah teknisnya tunjukkan TIK-nya. Di dalam memberitahukan TIK kepada siswa dapat digunakan dua cara, pertama dengan menggunakan rumusan yang persis seperti tertulis di dalam disain instruksional, kedua dengan cara menyam¬paikannya dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa. b.Ada pendapat yang berkeberatan terhadap diberitahukannya TIK kepada siswa dengan alasan siswa akan menebak-nebak soal-soal yang akan dipelajari, atau dengan alasan hal itu tak ada gunanya. Namun pendapat ini kiranya kurang beralasan. Semakin jelas tujuan diketahui oleh siswa, kiranya semakin terarah siswa dalam mengikuti suatu pelajaran. c.Tunjukkan eratnya hubungan antara pengetahuan yang telah mereka miliki dengan materi yang akan mereka pelajari. Dengan demikian mereka akan terhindar dari rasa takut menemui kesulitan, sebab mereka telah mempunyai bekal yang cukup. Ad. 2 Penyampaian informasi. Kegiatan di sini lazimnya dipandang sebagai satu-satunya kegiatan mengajar. Pada hal sebenarnya hanya merupakan salah satu komponen keselu¬ruhan kegiatan mengajar. Hal-hal yang perlu diperhatikan di dalam penyampaian informasi ini an¬tara lain: a.Urutan (sequence) penyampaian. Dari yang mudah ke yang sukar atau sebaliknya ? Materi harus disampaikan secara urut atau boleh melompat-lompat atau dibolak-balik ? b.Besar kecilnya materi yang disampaikan. Lebih baik disampaikan dalam bentuk bagian yang kecil-kecil seperti di dalam pengajaran berprograma (programmed-instruction) atau disampaikan dalam bentuk global seperti dalam bentuk suatu bab dari suatu buku ? Atau materi disampaikan berdasar atas TIK demi TIK seperti dalam pengajaran dengan menggunakan modul? Dalam menentukan porsi atau besar kecilnya materi yang akan disampaikan, hal-hal yang perlu diperhatikan ialah tingkat usia siswa dan jenis materi yang dipelajari. c.Jenis materi pelajaran yang akan disampaikan. Apakah materi yang akan disampaikan termasuk di dalam kategori fakta, konsep, prinsip atau prosedur? Masing-masing jenis materi tersebut memerlukan strategi penyam¬paian yang berbeda-beda. Ad. 3 Partisipasi siswa. Menurut Dick (1978, h.108), "proses belajar akan lebih berhasil bila siswa diberikan latihan-latihan (practices & exercises) yang secara lang¬sung relevan dengan TIK". Menurut pendapat tersebut, setelah siswa diberi informasi mengenai pengetahuan dan ketrampilan yang harus mereka miliki, mereka hen¬daknya diberi kesempatan untuk berlatih atau mempraktekkan pengetahuan atau ketrampilan yang diharapkan dapat dimiliki oleh mereka setelah selesai belajar. Tidak hanya diberi kesempatan untuk berIatih, mereka pun hendaknya diberitahu tentang hasil mereka berlatih. Mereka perlu diberi "feedback" (umpan balik). Mereka perlu diberitahu apakah jawaban mereka benar atau salah, apakah yang telah dikerjakan tepat atau tidak sesegera mungkin. Umpan balik ini dapat berupa penguat (reinforcer). Siswa yang mengetahui jawabannya benar akan lebih semangat dan ma¬ju, sebaliknya bila mengetahui jawabannya salah, ia tidak akan melakukan lagi kesalahan serupa. Ad. 4 Tes Setelah siswa diberitahu tujuannya mempelajari sesuatu, diberi informasi tentang materi yang dipelajari, diberi latihan-latihan untuk memiliki pengetahuan dan ketrampilan seperti yang dimaksud oleh TIK, maka perlu dievaluasi apakah TIK telah tercapai atau belum, apakah pengetahuan atau ketrampilan telah benar-benar mereka miliki atau belum. Untuk keperluan ini mereka perlu dites. Standar perlu diten-tukan seberapa jauh siswa telah dianggap menguasai materi yang di-ajarkan. Di dalam pengajaran dengan menggunakan modul standar penguasaan ini berkisar antara 80 - 85%. Misalnya soal tes terdiri atas 100 nomor; siswa dianggap menguasai materi bila dapat mengerjakan 80 - 85% benar. Ad. 5 Kegiatan lanjutan, setelah dites, tentu ada siswa yang berhasil dengan bagus, ada pula yang gagal. Perlakuan apakah yang akan diberikan kepada mereka seba¬gai tindak lanjut (follow up)? Perlakuan (treatment) di sini dapat berupa pemberian program per¬baikan (remidiation) bagi yang gagal dan pengayaan (enrichment) bagi yang berhasil.Dasar-dasar Pemilihan Strategi Instruksional, Ada banyak pendapat mengenai dasar-dasar yang dipergunakan untuk memilih atau menentukan strategi instruksional. Beberapa di antaranya akan dikemukakan di dalam uraian berikut: 1.Faktor Belajar, Lingkungan & Besar Kecilnya Kelompok Belqjar.Essef (1978, h. 1) menyebutkan bahwa ada tiga hal besar yang perlu diperhatikan di dalam pemilihan atau penentuan strategi instruksional dan media. Ketiga hal tersebut ialah: (a) Faktor-faktor belajar (learning factors), (b) Lingkungan belajar learning invironment), (c)Besar kecilnya kelompok belajar (group seheduled or individualpaced ?). Ad. a Faktor-faktor belajar Faktor-faktor belajar yang perlu diperhatikan di dalam memilih strategi instruksional di sini meliputi: (1) Stimulans (Rangsangan) atau metode penyampaian materi pelajaran, (2) Response (jawaban) atau reaksi yang dilakukan oleh siswa terhadap stimulus tersebut, (3) Feedback (umpan balik) yang diberikan kepada siswa untuk menunjukkan tepat tidaknya response atau jawaban tersebut. Menurut teori "Stimulus Response", di dalam proses belajar meng-ajar, setiap siswa diberi rangsangan yang menghendaki jawaban terten¬tu. Selanjutnya siswa mendapatkan umpan balik tentang benar tidaknya response tersebut. Stimulus tersebut berupa pengalaman atau kejadian tertentu yang disampaikan kepada siswa untuk merangsang pikiran hingga siswa berbuat seperti yang diharapkan. Stimulus tersebut dapat berbentuk ucapan (verbal), penglihatan (visual), gerak (motion),dan warna (color). Kata-kata adalah contoh utama rangsangan yang bersifat verbal yang dapat berbentuk ucapan maupun tulisan. Contoh untuk ini misalnya tugas untuk mempelajari ketrampilan menginterview (wawancara), atau menulis paper. Stimulus yang dapat dipilih untuk keperluan tersebut misalnya kaset radio, ceramah, diskusi kelompok, buku, dan sebagainya. , Slide transparansi, diagram, grafik, flowchart, film strip adalah contoh¬-contoh stimulus yang berkenaan dengan penglihatan (visual) dan ini dapat dipilih untuk merangsang perubahan tingkah laku yang berkenaan dengan penglihatan (visual) misalnya agar siswa dapat menunjukkan nama-nama bagian dalam tubuh manusia. Untuk tugas yang berkenaan dengan gerak (motion) seperti setir mobil, tarian, senam, dan sebagainya, stimulus berupa film movie, video tape, contoh gerakan langsung adalah tepat. Stimulus berupa warna (color) diperlukan bila siswa perlu membedakan macam-macam warna, seperti warna darah, cat, dan sebagainya. Untuk ini strategi penggunaan film dan slide berwama, gambar warna sesung¬guhnya adalah tepat. Tentang Response dan Feedback: Memperoleh informasi response siswa selama pengajaran berlangsung mempunyai peranan penting untuk efisiensi dan efektifitas program pengajaran. Dalam hal ini yang terpenting ialah pengumpulan data (informasi) yang berkenaan dengan response siswa untuk mengevaluasi hasil belajar. Berdasar tepat tidaknya response siswa, umpan balik dapat diberikan kepada siswa untuk mengatasi kesulitan yang dijumpai atau untuk meningkatkan prestasinya. Di dalam disain instruksional perlu ditentukan jenis response/feedback yang diperlukan dan media yang digunakan. Jenis response yang diberikan siswa dapat berbentuk tulisan, ucapan ataupun performance.Jenis response tergantung dari TIK yang harus dikuasai siswa. Bila TIK menghendaki agar siswa dapat memotret, maka jenis response yang tepat adalah "performance". Bila TIK menghendaki siswa dapat ber¬pidato, maka jenis response yang tepat adalah ucapan (oral). Bila TIK menghendaki siswa dapat menulis suatu karangan, jenis response yang tepat adalah tulisan. Jadi, berdasar uraian di atas, langkah pertama, dalam memilih strategi instruksional ialah menganalisis jenis "stimulus - response dan feedback" yang harus dipelajari oleh siswa. Ad. b Lingkungan Belajar (Learing Environment) Langkah selanjutnya dalam proses pemilihan strategi instruksional ialah menentukan lingkungan belajar (instructional setting). Setting di sini meliputi dalam kelas besar, kegiatan dalam laboratorium, studi independen atau kerja praktek. Kegiatan kelas besar tepat sekali untuk ceramah, diskusi kelompok, melihat film bersama-sama. Kerja laboratorium sangat tepat bila siswa dikehendaki mendapat pengalaman secara individual dengan menggunakan alat-alat tertentu, misalnya menganalisis jenis darah. Studi independen sangat tepat bila untuk TIK tertentu telah tersedia paket-paket pengajaran yang dapat di¬pelajari secara individual seperti modul, pengajaran berprograma. Kerja praktek/kerja lapangan akan memungkinkan siswa mendapat pengala¬man langsung untuk melaksanakan tugas yang kelak akan menjadi tang¬gung jawabnya. Ad. c Besar Kecilnya Kelompok Belajar Bila materi tertentu lebih berhasil dipelajari secara berkelompok, maka strategi yang tepat adalah dengan menggunakan kelompok (group seheduled). Sebaliknya, bila suatu materi lebih baik bila dipelajari secara individual, maka strategi individual (individual paced) adalah lebih tepat. Di dalam strategi belakangan ini waktu belajar (kapan mulai, kapan selesai) ditentukan oleh siswa. Hal ini berbeda dengan strategi yang perta¬ma, di mana siswa tidak mempunyai wewenang untuk menentukan sendiri-sendiri waktu untuk belajar, melainkan sudah dijadwal secara pasti. 2. Aspek-aspek Tujuan Instruksional Khusus Objective (TIK) sangat berguna bahkan menentukan strategi instruksional. Objective menjadi dasar penyusunan strategi instruk¬sional. Menurut Merriil (1972, p.1), dalam menentukan strategi instruksi¬onal, media dan sumber harus selalu berorientasi kepada TIK. 3. Pola- pola Kegiatan Belajar Mengajar Pola-pola kegiatan belajar mengajar juga merupakan dasar di dalam memilih strategi instruksional. Dalam hal ini menurut Ely (1979) pada dasamya ada tiga macam pola dasar kegiatan belajar mengajar ditin¬jau dari segi jumlah siswa yang belajar. a.Pengajaran untuk grup besar (large group instruction). Pola ini diikuti oleh lebih dari 30 orang. b.Pengajaran untuk grup kecil (small group instruction). Pola ini diikuti oleh 5 - 15 siswa. c.Pengajaran secara individual (individualized instruction). Pola ini diikuti oleh 1- 3 orang. Sementara itu Kemp (1977) juga mengemukakan adanya tiga macam pola kegiatan belajar mengajar, namun segi peninjauannya berbeda dengan pendapat tersebut di atas. Tiga macam pola kegiatan belajar mengajar menurut Kemp adalah sebagai berikut: a. Presentasi (presentation); di sini guru menyampaikan informasi kepada siswa dengan cara ceramah (lecturing), berbicara secara informal, menulis di papan tulis, menunjukkan sesuatu dengan memakai alat bantu seperti film, radio, menunjukkan benda asli atau tiruannya dan sebagainya. b. Studi independen (independent study); di sini siswa bekerja sendiri misalnya dengan membaca buku, memecahkan masalah, menulis laporan, menggunakan laboratorium, perpustakaan, mendengarkan radio, melihat televisi, dan sebagainya. Interaksi guru siswa (teacher-student interaction). Di sini guru dan siswa bekerja bersama dalam kelompok-kelompok kecil untuk diskusi, tanya jawab, mengerjakan proyek tertentu menulis laporan, dan sebagainya. Untuk berbagai jenis pola kegiatan belajar tersebut terdapat lebih dari satu strategi instruksional yang dapat dipilih. Adapun macam-¬macam strategi instruksional yang dapat dipilih untuk keperluan kegiatan belajar menurut pola-pola tersebut adalah sebagai berikut: 1.Pengajaran dengan computer (CAI = Computer Assisted instruc¬ tion): ialah teknik-teknik mengajar dengan menggunakan program komputer. Di Indonesia masih langka digunakan mengingat biaya mahal dan teknisi pendidikan untuk ini pun masih sangat sedikit. Di negara-negara maju, CAI sudah populer digunakan. 2.Demonstrasi (Demonstration). Kegiatan belajar/mengajar di mana instruktur atau.lainnya menggunakan contoh, percobaan atau menunjukkan proses/kejadian sebenarnya untuk menunjukkan suatu prinsip, dalil atau cara mengerjakan sesuatu. 3.Observasi Terarah (Directed Observation). Pengamatan- terarah/terpimpin yang diadakan dengan maksud untuk meningkatkan pengertian, pengetahuan dan penilaian terhadap sesuatu yang diamati. 4.Diskusi (discussion). Kegiatan di mana siswa, di bawah petunjuk instruktur saling tukar menukar pendapat/pandangan mengenai sesuatu topik, pertanyaan, atau problema untuk pada akhimya diambil suatu keputusan atau kesimpulan. 5.Dramatisasi (dramatization). Suatu kegiatan belajar berkenaan dengan penafsiran secara ekspresif terhadap suatu idea, konsep atau suatu peranan. 6.Drill (latihan). Kegiatan belajar secara teratur, berulang kali, dengan maksud membantu untuk menguasai skills (ketrampilan) atau pengetahuan tertentu. 7.Percobaan (eksperimen). Kegiatan belajar yang meliputi proses/prosedur yang terencana diikuti dengan kontrol terhadap keadaan dan atau kontrol terhadap variasi atau perubahan keadaan, diikuti dengan pengamatan terhadap hasilnya dengan maksud untuk menemukan hubungan, dan un¬tuk menilai benar tidaknya suatu hipotesis yang telah ditentukan. 8.Pengalaman Lapangan (Field Experience). Kegiatan belajar secara langsung, praktek di lapangan kerja yang sesungguhnya. 9.Permainan (gaming). Kegiatan belajar di mana siswa berkompetisi baik secara fisik maupun mental sesuai dengan aturan permainan yang telah ditetapkan. 10.Studi Independen. Teknik belajar di mana siswa melakukan kegiatannya bukan dalam bentuk perkuliahan resmi, tetapi ia siswa tersebut mengadakan konsultasi dengan instruktur/guru/para guru sampai proyek indivi¬du yang dikerjakan selesai. 11.Pengalaman Laboratorium (Laboratory Experience). Kegiatan belajar yang dilaksanakan dalam suatu laboratorium, direncanakan untuk seseorang atau suatu kelompok belajar yang mempelajari suatu bidang studi tertentu termasuk mempraktekkan teori-teori dengan melalui pengamatan, percobaan, riset, atau dalam hal mempelajari bahasa asing, termasuk di dalamnya belajar dengan jalan demonstrasi, drill (latihan), dan praktek. Termasuk di sini mempelajari seni seperti seni lukis dan musik, meski lebih sesuai untuk seni ini disebut sebagai pengalaman studio. 12.Kuliah/ceramah (Lecturing). Suatu kegiatan di mana instruktur memberikan presentasi secara lisan mengenai suatu fakta, atau dalil-dalil atau prinsip. Sedang siswa mengikutinya dengan membuat catatan (note-taking). Kegiatan belajar yang demikian biasa diikuti dengan tanya jawab atau diskusi. Namun mengingat sifat kuliah ini, biasanya siswa lebih banyak pasif. 13.Mendengarkan (Listening). Kegiatan belajar di mana siswa disediakan alat untuk belajar dengan cara mendengarkan. 14.Manipulasi dan Meraba (manipulate and tactile activity). Kegiatan belajar di mana siswa menggunakan gerakan berbagai ang¬gota badan dan saraf perabanya untuk mengembangkan ketram¬pilannya. 15.Model dan Tiruan (Modeung and Imitation). Suatu kegiatan di mana siswa mendengarkan kepada, atau mengamati suatu model, atau tiruan suatu obyek dengan maksud untuk latihan dan meningkatkan ketrampilannya. 16.Diskusi Panel (Panel Discussion). Penyampaian materi secara logis dan teratur oleh ahli-ahli dalam materi yang bersangkutan dan dipilih untuk keperluan tersebut. 17.Praktikum. Kegiatan di mana siswa diberi kesempatan untuk mempraktekkan ketrampilan, pengetahuan dan pengertian yang telah diperoleh melalui kegiatan belajar yang lain. 18.Pemecahan masalah (Problem Solving). Proses berfikir yang disusun oleh instruktur dan dilaksanakan oleh siswa agar siswa dapat merumuskan masalah secara jelas, menyusun hipotesis, mencari alternatif pemecahan, dan mentes hipotesis terse¬but. 19.Pengajaran Terprogram (Programmed Instruction). Kegiatan belajar setapak demi setapak sesuai dengan kecepatan dan kesempatan siswa di mana siswa memberi response terhadap stimu¬lus yang diberikan kepadanya, dan siswa segera mendapatkan pengetahuan mengenai benar tidaknya response yang ia berikan. 20.Tutorial (tutoring). Teknik mengajar di mana pelajaran diberikan kepada siswa secara individual dengan hubungan langsung antara siswa dan guru. 21.Pengajaran melalui program TV (Instructional Television). Teknik mengajar dengan menggunakan pesawat TV dan program TV. 22.Pengajaran mela/ui program radio (Radio Instruction). Teknik mengajar dengan menggunakan pesawat dan program radio dengan berbagai gelombang. 23.Seminar. Teknik mengajar di mana suatu grup siswa melakukan riset atau studi lanjut, bertemu bersama di bawah bimbingan guru kemudian mendiskusikan hasil risetnya. 24.Simulasi (Simulation). Kegiatan belajar di mana siswa sebagai peserta berperan menirukan situasi kejadian senyatanya. 25.Proyek. Suatu unit kegiatan yang mempunyai nilai edukatif mempunyai satu atau lebih tujuan tertentu untuk memperdalam pemahaman, termasuk di dalamnya penemuan hal-hal baru dan pemecahan suatu masalah. 26.Resitasi (Recitation). Kegiatan berupa penyampaian laporan kepada teman sekelas atau kelompok mengenai suatu informasi yang diperoleh dari studi indivi¬dual atau kelompok. Kriteria Pemilihan Strategi/Instruksional Seperti telah disebutkan di atas, banyak macam ragam metode. Mungkin lebih dari sekedar yang tercantum sejumlah 26 di atas. Kese-muanya bisa dipergunakan untuk menyampaikan informasi dan meng-ajarkan ketrampilan. Namun, kesemuanya tidaklah sama efektifnya di dalam membantu men¬capai masing-masing tujuan instruksional. Oleh karena itu, perlu pemilihan yang tepat. Petunjuk di dalam memilih metode yang tepat menurut Mager (1977, p. 54) sebagai berikut: 1.Memperhatikan tujuan instruksional (objectives). Bagaimana tipe TIK-nya ? Mengajar olah raga atau gerak badan ? Di sini movie/film adalah tepat. Jadi, dalam hal ini perlu dipilih metode yang paling dekat sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh TIK. 2.Pilih teknik yang membawa siswa untuk menunjukkan ketrampilan sesuai dengan yang diharapkan setelah bekerja. Bila setelah bekerja, pekerjaannya menghendaki ia pandai bicara, pilihlah metode yang memungkinkan ia praktek berbicara. 3.Pilih teknik yang menyebabkan siswa dapat mengerjakan paling banyak kegiatan dalam waktu tertentu. Misalnya film bersuara lebih baik daripada film tak bersuara, karena yang pertama tadi memungkinkan siswa untuk melihat dan mendengarkan. Sementara itu menurut Kemp (1977, p. 62) di dalam memilih strategi instruksional atau kegiatan belajar mengajar perlu diperhatikan perta¬nyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1.Apakah materi pelajaran tersebut paling baik kalau disampaikan kepada semua siswa secara serentak bersama-sama dalam suatu waktu ? 2.Apakah materi pelajaran tersebut paling baik kalau dipelajari siswa secara individual sesuai dengan kecepatan dan kesempatan masing¬masing ? 3.Apakah diperlukan pengalaman yang hanya bisa berhasil diperoleh dengan jalan diskusi dan lain-lain kerja kelompok di antara para siswa dengan atau tanpa kehadiran guru ? 4.Apakah diperlukan adanya diskusi atau konsultasi secara individual antara guru dan siswa ?

Pendidikan Dalam Perspektif Dr. Mohammad Nasir

- Tidak ada komentar
Pendahuluan
Pendidikan merupakan sesuatu keharusan bagi manusia, tingkat kemuliaan akan didapatkan oleh manusia tergantung dari sejauh mana manusia tersebut dapat menerima pendidikan dan sejauh mana pula manusia dapat mengaplikasikan hasil pendidikan (ilmu pengetahuan) dalam kehidupannya bermasyarakat dan bernegara. Berbicara tentang pendidikan kita tidak bisa terlepas dari perkembangan pendidikan itu dari masa kemasa dan dari generasi kegenerasi. Kita akui bahwasannya pendidikan Khususnya diIndonesia dari waktu-kewaktu mengalami kemajuan dan inovasi dalam berbagai macam bidang. Hal ini tidak terlepas dari jasa-jasa pemikir kita yang telah mencurahkan segala kemampuannya untuk memajukan system pendidikan di Indonesia
Salah seorang pemikir dalam bidang pendidikan adalah Dr Muhammad Nasir yang memberi pandangan dan pemikiran terhadap pendidikan. Sebagai salah satu bentuk kepedulian Muhammad Nasir terhadap pendidikan adalah konsep pendidikan yang universal,integral dan harmonis.Yang mana dari konsep tersebut akan menghasilkan manusia yang benar-benar mengabdi kepada Allah dalam arti yang seluas luasnya, dengan misi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam makalah yang singkat ini penulis akan mencoba untuk mengungkap pola-pola pemikiran Muhammad Nasir dalam rangka memajukan pendidikan nasional kita. Karena tanpa adanya pendidikan mustahil kita akan terbebas dari jerat-jerat kejahilan dan juga tidak akan dapat mengangkat harkat dan martabat Negara dimata masyarakat dunia

A. Biografi Muhammad Nasir
Muhammad Nasir atau almarhum Muhammad Nasir bin Idris Sutan Saripado (lahir di Alahan Panjang,Sumatra Barat, tahun 17-7 1908),adalah seorang negarawan muslim,ulama dan intelektual,pembaharu dan ahli siasah muslim nusantara yang disegani. Hidupnya penuh dengan kegiatan yang berfaedah dan membina umat. Muhammad Nasir bukan hanya berjasa dengan Negara ini melalui kegiatan social dan siasah sampai pernah menjadi perdana mentri Indonesia, serta dakwahnya, dengan terasasnya Majlis Dakwah Indonesia, bahkan ia juga berjasa dalam bidang Islam peringkat antar bangsa sampai ia mendapat Kurnia Raja Faisal.
Raja Faisal sendiri kemudian menganugerahkan “Faisal Award” sebagaimana ia juga memberikannya kepada Syaikh Abul A’la Al Maududi, Syaikh Abdullah Ibnu Baz, Syaikh Abul Hasan An Nadawi dan lain-lain atas jasa-jasanya dalam berkhidmat kepada dunia Islam. Peta biografi M. Natsir telah banyak ditulis oleh berbagai kalangan baik akademisi maupun non akademisi dari beragam sisi. Keberagaman sisi itu menunjukkan betapa luasnya bidang perjuangan yang ia geluti. Salah satu hal yang cukup menarik untuk dikaji dalam hal ini adalah pemikiran beliau tentang pendidikan dan sains (ilmu pengetahuan). Topik ini akan senantiasa relevan untuk terus dikaji, bukan hanya karena masalah pendidikan masih menjadi isu sentral ditengah-tengah usaha umat memperbaiki kondisi negara yang sakit, lebih dari itu pengakuan Natsir sendiri menyebutkan bahwa ranah perjuangan pertama yang digelutinya adalah dalam dunia pendidikan.
Dihadapan para guru Pendis (Pendidikan Islam) Medan 20 September 1951 Natsir mengatakan; “Sekarang saya berada ditengah-tengah saudara-saudara yang rasanya saya berada kembali pada tangga saya sendiri. Sebab takkala saya keluar dari bangku pelajaran, maka yang mula-mula saya hadapi dalam lapangan pekerjaan dan perjuangan, ialah lapangan pendidikan Islam. Pengkajian tentang pendidikan dalam prespektif Natsir akan semakin terasa lengkap jika pemikiran beliau tentang sains ikut diurai. Hal itu karena Natsir terkenal dengan sosok legendaries di dunia pendidikan yang tidak membeda-bedakan antara sains Barat atau Timur selama itu adalah al haq (kebenaran).
Ketika berumur delapan tahun, Muhammad Nasir belajar pada HIS (Hollandesch Inlandsche School ) Adabiyah di Padang dan tinggal bersama Mak Ciknya. Kemudian dia dipindahkan oleh orang tuanya ke HIS pemerintah di Solok dan tinggal dirumah Haji Musa, seorang Saudagar. Disini dia menerima cukup banyak ilmu. Pada malam hari ia mengaji Al-quran, pagi hari belajar pada HIS dan sore hari belajar di Madrasah.
Pada tahun 1923 Muhammad Nasir meneruskan sekolah ke MULO di Padang. Disini ia menjadi anggota JIB( Jong Islaminten Bond) cabang Padang. Pada tahun 1927 ia melanjutkan ke AMS (Aglamenene Middelbare School) di Bandung. Di MULO dan AMS ia mendapatkan beasiswa dari pemerintah Belanda. Selama di AMS ia tertarik untuk menekuni ilmu pengetahuan agama. Waktu luangnya digunakan untuk menekuni ilmu agama pada persatuan Islam dibawah bimbingan Ust A.Hassan.
Di sekolah MULO itulah dia pertama kali merasakan duduk bersama dalam satu kelas dengan murid-murid bangsa Belanda. Sebelum itu dia sebagai murid HIS menyangka, bahwa anak-anak Belanda itu ialah sejenis menusia yang melebihi kita dalam semua soal. Lebih pintar, lebih berani, lebih dalam segala hal. Memang dalam masyarakat, golongan Belanda itu hidupnya terpisah dari kita. Mereka dianggap sebagai semacam “orang-orang cabang atas”. Belanda administrator kebun disebut “Tuan Besar” oleh mandor dan kuli-kulinya.
Bagaimana sesudah Natsir duduk bersama-sama dalam satu kelas dengan anak-anak Belanda? Ternyata warna kulit mereka itu tidak menjamin, bahwa mereka lebih dari kita bangsa kulit sawo dalam segala hal. Diantara mereka benyak juga yang ketinggalan dikelas setiap tahun. Ada yang bahasa Belandanya kocar kacir, tidak karuan dan lain-lain. Tetapi congkaknya dan lagaknya terus saja besar. Kita ini mereka namakan dengan nama yang dirasakan ejekan diwaktu itu yaitu “inlanders”, artinya bumi putra yang kotor-kotor.
Sejak sekolah di MULO. ia sudah mulai mengenal semangat perjuangan. Ia masuk menjadi anggota kepanduan pada JIB cabang Bandung dan kemudian diangkat menjadi ketua (1928-1932). Minatnya terhadap politik, perhatiannya terhadap nasib bangsanya yang tertindas dan tekadnya untuk meluruskan salah fahaman umat terhadap ajaran agama, telah melibatkan dirinya dalam bidang politik dan dakwah serta menolak setiap tawaran dari pemerintah Belanda, seperti meneruskan sekolah ke Fakultas Hukum Jakarta, Fakultas ekonomi Rotterdam Belanda atau menjadi pegawai pemerintah .Kegiatan politiknya terus berkembang setelah lebih jauh berkenalan dengan tokoh-tokoh pemikiran politik seperti H Agus Salim, Wihono Purbahdijoyo, dan Syamsu Rijal .Karena kegigihannya dalam perjuangan, pada masa kemerdekaan ia menduduki jabatan-jabatan penting dalam Pemerintahan Republik Indonesia.
Sejak tahun 1932-1942, Muhammad Natsir diangkat sebagai direktur Pendidikan Islam Bandung dari tahun 1942 sampai 1945, sebagai kepala Biro Pendidikan Kotamadia Bandung; dan dari tahun 1945 sampai 1946 sebagai anggota badan pekerja KNIP dan kemudian menjadi wakil ketua badan ini. Pada tahun 1946 (kabinet Sjahrir ke-2 dan ke-3) dan tahun 1949 (Kabinet Hatta Ke-1) ia menjadi Perdana Mentri Penerangan RI; dan dari tahun 1949 sampai 1958 ia diangkat menjadi ketua umum Partai Masyumi. Sejak tahun 1950 sampai 1951 ia menjadi Perdana mentri Negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam pemilu tahun1955 ia terpilih menjadi anggota DPR. Dari tahun 1956 hingga 1958 ia menjadi anggota konstituante RI, dan sejak tahun 1958 menjadi deputi perdana mentri PRRI, sampai akhirnya pada tahun 1960 ditangkap oleh pemerintah dengan tuduhan ikut terlibat dalam pemberontajan PRRI. Sejak tahun 1962 sampai dengan tahun1966 ia ditahan dirumah tahanan militer Keagungan Jakarta. Sejak dibebaskan dari tahanan,dia aktif dalam organisasi-organisasi islam seperti pada Kongres Muslim Sedunia pada tahun 1967 yang bermarkas di Karachi, sebagai wakil presiden. Pada tahun 1976 ia menjadi anggota Dewan Masjid sedunia yang bermarkas di Makkah. Adapun di Indonesia sejak tahun 1967 sampai dengan usia tuanya ia dipercaya menjadi ketua DDII. Disamping kegiatan dan jabatan diatas, ada beberapa kegiatan dan jabatan lainnya yang sempat dijalaninya,seperti sebagai penulis artikel pada majalah Pembelaan Islam, dan suara Republik, penasehat delegasi Indonesia dalam perindingan antara Indonesia dan Belanda, serta penasehat SBII. Kebiasaan menulis Muhammad Natsir sudah dimulai sejak sekolah di AMS. Pada waktu menduduki kelas IV AMS ia menulis sebuah analisis tentang Pengaruh Penanaman Tebu dan Pabrik Gula bagi Rakyat di Pulau Jawa, terdorong oleh kemauannya untuk membela Islam dari pihak yang merendahkannya dan untuk memberikan pemahaman yang tepat tentang Islam, ia menulis artikel-artikel, seperti Muhammad als Profeet dan Quran en Evangelie pada tahun 1929. Pada tahun 1931 ia menulis Kon tot Het Gebed dan Kebangsaan Muslimin. Tahun 1932 ia menulis De Islamietische Vrouw en Haar Recht. Buku-buku lainnya ialah Fiqh ad-Da’wah, Capita selecta, Kebudayaan Islam dan ad-Din au al-ladiniyyah

B. Makna dan urgensi Pendidikan Menurut Mohamad Natsir.
Islam adalah agama pendidikan dan pencerdasan umat,demikianlah pandangan Natsir. Pandangan ini terlihat dari tulisan Natsir ketika membantah buku yang ditulis Dr.I.J.Brugmas yang berjudul Geschiendenis vat Onderwijs in Ned Indie ( Sjarah Pendidikan di Hindia Belanda ) yang mengatakan bahwa islam adalah agama penakluk yang disebarkan dengan pedang. Untuk menangkis kesimpulan itu, Natsir membuat tulisan dengan judul “Hakikat Agama Islam”. Dalam tulisan ini Natsir menjelaskan secara panjang lebar bahwa islam tidak dapat dikatakan sebagai agama yang tersebar dengan pedang lantaran ia memiliki syariat tentang jihad. Islam harus dilihat secara konfrehensip dimana ia juga merupakan agama yang mengajarkan tentang pendidikan dan hal-hal yang berkaitannya dengan kuat.
Selain itu dapat kita ketahui pula bahwasannya pendidikan adalah seluruh proses hidup dan kehidupan manusia itu adalah proses pendidikan. Segala pengalamansepanjang hidupnya merupakan dan memberikan pengaruh pendidikan beginya. Adapun pendidikan menurut pendapat Muhammad Yunus dalam bukunya At-tarbiyah wa ta’lim bahwasannya tujuan dari pendidikan adalah menyiapkan generasi yang dapat menyeimbangkan diri antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.
Didalam buku Capita Selecta, fikiran-fikiran Muhammad Natsir tentang pendidikan sebagian besar terkumpul disana. Didalamnya tersebutlah tentang makna pendidikan itu dijelaskan oleh Natsir dengan bahasa yang sederhana namun memukau. Menurut Natsir yang dinamakan didikan adalah suatu pimpinan jasmani dan ruhani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya. Pimpinan semacam ini antara lain perlu pada dua perkara yaitu: Satu tujuan yang tertentu tempat mengarahkan pendidikan dan satu asas tempat mendasarkannya. Disini dapat kita lihat behwa Natsir melihat pendidikan sebagai usaha untuk mengisi nilai-nilai positif baik bagi jasmani maupun rohani yang menuju kepada terwujudnya manusia yang ideal (insane Kamil) dengan kesempurnaan sifat-sifatnya.
Akan sia-sialah tiap-tiap pimpinan itu apa bila ketinggalan salah satu dari yang dua ini. Apakah tujuan yang akan dituju oleh didikan kita? menurut Natsir tujuan dari pendidikan adalah sama dengan tujuan hidup kita didunia ini. Dari sini nampaklah sangat jelas bahwa Natsir tidak membedakan antara tujuan pendidikan dengan tujuan diciptakannya manusia. Bahkan menurutnya, tujuan pendidikan itu harus sesuai dengan tujuan hidup manusia. Pada suatu kesempatan, Natsir mengatakan:”Apakah tujuan yang akan dituju oleh didikan kita? Sebenarnya tidak pula dapat dijawab sebelum menjawab pertanyaan yang lebih tinggi lagi,yaitu, Apakah tujuan hidup kita didunia ini? Kedua pertanyaan ini tidak dapat dipisahkan, keduanya sama identik.” Tujuan didikan ialah tujuan hidup”, Quranul karim menjawab pertanyaan ini:” Dan Aku ( Allah) tidak jadikan jin dan manusia,melainkan untuk menyembah aku.”(qs Adz-Dzariat:56)
Pendidikan islam mempunyai peranan penting dalam meningkatkan SDM. Secara ideal pendidikan islam berfungsi untuk menyiapakan sumber daya menusia yang berkualitas tinggi baik dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi maupun dalam hal karakter,sikap moral serata penghayatan dan pengamalan ajaran agama, hal ini sesuai dengan ciri pendidikan agama. Pendidikan islam yang integral tidak mengenal adanya pemisahan antara sains dan agama. Intinya pendidika islam, berfungsi membina dan menyiapkan anak didik yang berilmu, berteknologi, berketerampilan tinggi, sekaligus beriman dan beramal soleh.
Melihat dari konsep pendidikan Mohamad Nasir,bahwa kemajuan yang akan dicapai oleh pendidikan Islam tidaklah diukur dengan penguasaan atau supremasi atas segala kepentingan duniawi saja, akan tetapi juga melihat sampai dimana kehidupan duniawi memberiakan asset untuk kehidupan akhirat kelak. Selanjutnya Natsir menjelaskan tentang asas dalam pendidikan islam adalah tauhid. Ajaran tauhid menisfestasinya adalah pembentukan kepribadian dan sasaran serta tujuan dari pendidikan islam itu sendiri. Pendidikan yang didasarkan oleh prinsip tauhid dalam rangka menghambakan diri kepada Allah SWT,simpulnya terletak pada syahadah, dan syahadah dari sisi pendidikan tidak lain adalah sutu pernyataan ‘pembebasan dari segala macam belenggu yang diciptakan oleh manusia sendiri. Pendidikan dalam islam adalah usaha berproses yang dilakukan oleh manusia secara sadar dalam membimbing manusia menuju kesempurnaan berdasarkan Islam. Menurut Natsir, sisi pertama dari Tauhid adalah memperkokoh kesadaran batin manusia, menumbuhkan spritualitas yang mendalam dan juga menjadi basis etika pribadi. Sedangkan sisi kedua dari tauhid adalah penekanan pada kesatuan universal umat manusia pada umat yang satu,berdasarkan persamaan,keadilan ,kasih sayang,toleransi dan kesabaran. Jadi dalam konteks kemanusiaan, Tauhid menegaskan konsep humanism universal yang tampa batas,serta sumber dan rujukan didalam penyajian materi pendidikan kepada anggota keluarga dan masyarakat yaitu ayat-ayat Al-quran dan hadis Rasul.
Muhamad Natsir mengibaratkan tauhid sebagai sebuah pisau yang bermata dua.pada satu sisi dia menegaskan ke-Esaan Allah satu-satunya Zat yang diperTuhankan oleh manusia,dan menjadi titik tolak bagi seorang muslim dalam memandang hidupnya sebagai sesuatu dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan, serta pemahaman bahwa manusia itu adalah hamba-hambanya yang menjalani kehidupan yang sementara didunia ini,maka tauhid membawa implikasi-implikasi besar dalam kehidupan anusia.
Mohamad Natsir menegaskan bahwa seseorang yang telah tertanam nilai kebenaran tauhid akan berani hidup ditengah-tengah dunia,tapi iapun berani mati untuk memberikan darmanya bagi kehakiman ilahi diakhirat. Karena hidup dan matinya telah diperuntukkan bagi Allah Rabbul ‘alamin. Sebab konsep pendidikan yang mengandung tata nilai islam merupakan pondasi structural pendidikan islam.

C. Karakter pendidikan Islam
Yang dimaksud dengan karakter pendidikan Islam disini adalah cirri-ciri khusus yang terdapat dalam pendidikan tersebut. Kekhasan tersebut menurut Mohamad Natsir ada pada beberapa hal berikut ini:

1. Universal
Pendidikan dengan sifat seperti ini diurakan Natsir dalam bentuk penerimaan sumber datangnya ilmu antara Timur dan Barat. Disini Natsir tidak membedakan antara ilmu timur dan ilmu barat. Menurut Natsir sesungguhnya antara Barat danTimur adalah Sama,dimana kedua-duanya adalah makhluk Allah yang bersifat baru. Bagi Natsir Islam hanya mengantagoniskan anta haq dan Bathil
Selanjutnya Natsir mengatakan bahwa kemauan dan kemunduran tidaklah tergantung dari ketimuran dan kebaratan,dam tidak tergantung pada putih kuning atau hitamnya warna kulit,tetapi tergantung pada ada atau tiadanya sifat-sifat dan bibit-bibit dalam salah satu umat,yang menjadikan mereka layak atau tidaknya menduduki tempat yang mulia diats bumi ini.

2. Integral
Artinya pendidikan tidak mengenal pemisahan antara jasmani dan ruhani,serta dunia dan akhirat. Sehingga pendidikanIslam itu mengantarkan seseorang pada kebahagiaan didunia maupun akhirat. Mengenai sifat pendidikan yang integral ini Natsir memahami bahwasannya pendidikan itu mesti memiliki nilai-nilai keseimbangan. Jasmani, ruhani, dunia dan akhirat bukanlah dua barang yang bertentangan yang harus dipisahkan,melainkan dua hal serangkai yang harus lengkap melengkapi dan dilebur menjadi satu susunan yang harmonis dan seimbang.

Kesimpulan
-Pendidkan menurut Mohamad Natsir adalah suatu pimpinan jasmani dan ruhani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya. Menut Natsir tujuan pendidikan Islam sama dengan tujuan penciptaan Manusia dimuka bumi ini, yakni mengabdi kepada Allah. Jadi tujuan pendidikan adalah menciptakan manusia yang mengabdi kepada Allah dan menjadi Khalifah Allah dimuka bumi ini
Sebagai dasar dan landasan pendidikan Natsir mengatakan bahwasannya Tauhidlah landasna pendidikan islam, hal ini dikarenakan Tauhid menjadi titik tolak bagi seorang muslim dalam memandang hidupnya sebagai sesuatu dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan, serta pemahaman bahwa manusia itu adalah hamba-hambanya yang menjalani kehidupan yang sementara didunia ini, maka tauhid membawa implikasi-implikasi besar dalam kehidupa manusia.
Selanjutnya Natsir menjelaskan cirri-ciri pendidikan islam yaitu integral,artinya pendidikan islam itu tidak memisahkan antara jasmani,ruhani dunia dan akhirat kemudian pendidikan islam tersebut haruslah bersifat universal, artinya pendidikan islam tidak membedakan sumber datangnya ilmu, yang ada dalam islam adalah haq dan bathil

Daftar pustaka

Arifim,MT,Ilmu Pendidikan Islam,Jakarta,Bumi Aksara.tahun 1993
Basri,Agus,Muhammad Natsir,Politik Melalui Jalan Dakwah,Jakarta,Media
Dalwah,tahun 2008
Derajat,Zakiah,Pembinaan Akhlaq Remaja,Jakarta,Bulan Bintang,tth
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam,Ensiklopedi Islam, PT Ichtar Baru Van
Houve,Jakarta,tahun 1997,jilid 4
Lodge,Ruper.C,Philosophyof Education,New Yok,tahun 1974
Natsir,Muhammad,Capita Selecta,Jakarta,Bulan Bintang,tahun 1954
Nur Ali,Heri,Ilmu Pendidikan Islam,Jakarta,PT Logos Wacana Ilmu,tahun 1999
Panitia Buku Peringatan Natsir dan Roem 70, Muhammad Natsir 70 tahun Kenang-
kenangan Kehidupan dan Perjuangan,Jakarta,Pustaka Antara,tahun 1978

Penulisan Tujuan Instruksional Umum (TIU)

- Tidak ada komentar

Penulisan Tujuan Instruksional Umum,baik menurut model Kemp maupun model Dlek & Carey, maka penentuan tujuan instruksional umum merupakan langkah pertama di dalam penyusunan disain instruksional. Adalah benar bahwa di dalam mengajarkan suatu mata kuliah, bidang studi atau bagian-bagiannya seperti unit perkuliahan atau unit bidang studi, sebagai langkah pertama adalah mengidentifikasi tujuan instruksional umum. Bahkan di dalam mengajarkan modul sebagai unit pelajaran yang kecil pun menurut Dick & Carey (1978, h. 13), identifikasi tujuan instruksional umum merupakan langkah pertama. Di mana dapat kita dapatkan sumber untuk menentukan tujuan instruksional umum tersebut ? Beberapa sumber untuk ini ialah:
1.Kurikulum lembaga pendidikan yang bersangkutan. Di dalam Kurikulum 1975 dari SD sampai SLTA, kita dapat mengetahui tujuan instruksional untuk masing-masing bidang studi. Tidak hanya tujuan instruksional, bahkan tujuan kurikuler dan tujuan instruksional pun tercantum di dalam SK Menteri P & K No. 08/U/1975 yang mengatur tentang kurikulum tersebut.
2.Pendapat ahli bidang studi. Di dalam berbagai bidang studi, para ahli bidang studi yang bersangkutan telah banyak mengemukakan pendapatnya mengenai tujuan di dalam mempelajari suatu bidang studi.
3.Hasil analisis tugas. Dengan menganalisis orang-orang yang melakukan tugas atau pekerjaan dalam bidang tertentu, akan didapatkan apakah sebenarnya tujuan instruksional di dalam mempelajari bidang tersebut.
4.Hasil observasi. Dengan mengamati secara teliti apa yang dikerjakan oleh seseorang di dalam tugas tertentu, kita akan memperoleh informasi mengenai tujuan yang harus dicapai di dalam mempelajari bidang tersebut.
Bagi lembaga pendidikan atau sekolah yang telah memiliki kurikulum yang lengkap dengan perumusan tujuan institusional, tujuan kurikuler dan tujuan instruksional, adalah mudah bagi penyusunan disain instruksional untuk mengembangkan lebih lanjut. Meski pada umumnya apa yang tercantum di dalam kurikulum tersebut masih bersifat terlalu umum (luas), namun ia dapat dipakai sebagai pedoman. Tetapi, bagi lembaga pendidikan yang belum mempunyai petunjuk lengkap mengenai penjabaran kurikulumnya, adalah perlu bagi para tenaga pengajar atau pengembang sistem pengajaran di lem¬baga tersebut memiliki ketrampilan di dalam merumuskan tujuan in¬struksional.
Di Indonesia hal ini banyak terjadi di Perguruan Tinggi. Perhatian un¬tuk menyusun silabi perkuliahan terasa masih kurang. Terlebih bila se-ring terjadi perubahan kurikulum, maka kegiatan penyusunan silabi yang isinya antara lain berupa perumusan tujuan instruksional umum menjadi terlantar. Sub bab ini dimaksudkan untuk memberikan kepada pembaca secara garis besar mengenai konsep tujuan instruksional dan bagaimana cara mengidentifikasinya.
Konsep Tujuan Instruksional Umum di sini dimaksudkan terjemahan dari istilah instructional goal, untuk membedakannya dengan istilah tujuan instruksional khusus (terjemahan dari instructional objectives) .
Apakah yang dimaksudkan dengan Tujuan Instruksional Umum (TIU)?
1.Di dalam SK Menteri P & K No. 8/U/1975, Tujuan Instruksional
Umum (TIU) diartikan sebagai "tujuan-tujuan yang pencapaiannya dibebankan kepada program pengajaran sesuatu bidang pelajaran" .
2.Menurut Gene E. Hall & Howard L. Jones (1976 H. 28). Tujuan Instruksional Umum adalah pernyataan umum mengenai hasil suatu program pengajaran.
3.Menurut Dlek & Carey (1978, h. 14), Tujuan Instruksional Umum adalah suatu pemyataan yang menjelaskan mengenai kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa setelah mereka selesai mengikuti suatu pengajar.
4.Menurut Briggs (1979, p.54), tujuan instruksional umum didefinisikan sebagai pernyataan umum mengenai tujuan akhir dari setiap program pengajaran.
Apakah yang bisa kita simpulkan dari keempat definisi tersebut? Pertama ialah bahwa TIU senantiasa mempunyai arti sebagai hasil belajar siswa setelah selesai belajar, bukan berkenaan dengan apa yang dikerjakan oleh guru. Kedua, TIU senantiasa dirumuskan dalam bentuk pernyataan yang bersifat umum.
Sesuai dengan namanya TIU merupakan pernyataan umum mengenai hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh siswa setelah mengikuti suatu program pengajaran. Seberapa jauh “umum” suatu TIU bila dibandingkan dengan tujuan yang lebih bersifat khusus? Dalam hal ini ada beberapa pandangan:
1.Kurikulum 1975, memberi sifat umum TIU lebih didasarkan atas kata kerja yang digunakan untuk merumuskan tujuan instruksional tersebut. Misalnya TIU bidang studi PMP menurut GBPP II B.
Tujuan Kurikuler Tujuan Instruksional
2.3 Siswa mengetahui dan memahami serta dapat melaksanakan kewajiban dan hak yang harus dilakukan dalam kehidupan masyarakat. 2.3.1 Siswa mengetahui dan memahami hak dan kewajiban yang harus dilakukan dalam masyarakat.
2.3.2 Siswa menyadari dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat.

Di dalam contoh tersebut kata-kata “memahami”, “menyadari” dipakai sebagai tanda bahwa perumusan tujuan tersebut bersifat umum. Namun kadang-kadang juga tidak konsisten. Sebab, di dalam perumusan yang dikatakan sebagai bersifat umum tersebut telah pula digunakan kata-kata “dapat melaksanakan” yang kiranya termasuk kategori kata kerja yang bersifat khusus, bersifat operasional, dapat diukur dan diamati hasilnya. Berbeda dengan kata-kata “memahami” yang diklasifikasikan sebagai bersifat umum, tidak operasional, tidak bisa diamati dan diukur hasilnya.
Juga kalau dikatakan bahwa TIU merupakan penjabaran dari tujuan kurikuler, maka sifat penjabarannya kurang jelas. Perumusan 2.3 dengan 2.3.1 dan 2.3.2 tidaklah secara tegas merupakan hubungan yang bersifat penjabaran. Dengan demikian sebenarnya agak sukar menurut GBPP tersebut membedakan tujuan kurikuler dengan tujuan instruksional umum.
2.Luas lingkup materi ada pendapat yang menggunakan luas lingkup materi untuk menunjukkan sifat umumnya tujuan instruksional. Sebagai contoh adalah pendapat Ely (1979, h.1). Ia mengatakan bahwa tujuan instruksional umum adalah deskripsi umum mengenai maksud suatu program pengajaran yang meliputi suatu mata kuliah atau suatu unit perkuliahan. Menurut batasan ini, perumusan yang berbunyi “Agar mahasiswa memiliki ketrampilan di dalam menyusun satuan pelajaran menurut model PPSI” bagi mahasiswa yang menempuh mata kuliah metodik, adalah termasuk TIU meski kata kerja yang digunakan “memiliki ketrampilan menyusun” sudah bersifat operasionla, dapat diamati dan diukur hasilnya.
Sifat “keumumannya” adalah terletak pada materi pelajaran yang tercakup di dalamnya. Materi yang tercakup di dalam “penyusunan satuan pelajaran” adalah luas. Kegiatan tersebut meliputi merumuskan TIK, menyusun alat evaluasi, menentukan materi, metode, media, alat, dan seterusnya.
Karena sifatnya yang umum tersebut maka TIU masih bisa dijabarkan menjadi tujuan yang bersifat khusus. Istilah untuk ini adalah Tujuan Instruksional Khusus (TIK) terjemahan dari “instructional objectives”. Hal ini sesuai dengan pendapat Gene E. Hall & Howard L. Jones (1976, h. 28-29) yang menyatakan bahwa “TIU dapat dijabarkan menjadi kompetensi, kompetensi dijabarkan menjadi sub kompetensi dan sub kompetensi dijabarkan menjadi TIK”.
Istilah “Umum” tersebut kiranya lebih tepat kalau untuk menunjukkan sifat “luasnya materi” yang tercakup di dalam perumusan tersebut, bukan menunjuk kepada kata kerja yang digunakan seperti yang lazim terdapat pada Kurikulum 1975. kata “menyadari” misalnya adalah sukar untuk diamati dan diukur.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan di dalam menentukan TIU:
1.Kebutuhan untuk mengajarkan TIU tersebut, pentingkah TIU tersebut diajarkan kepada siswa ?
2.Ahli dalam bidang yang akan diajarkan. Bila penyusun disain instruksional sekaligus sebagai ahli bidang studi yang bersangkutan, maka tak akan terjadi kesulitan. Bila penyusun disain instruksional bukan merupakan ahli bidang studi yang disusunnya, maka ia perlu bekerja sama dengan ahu bidang yang bersangkutan untuk memperoleh kebenaran ilmu bidang studi tersebut. Pada perguruan tinggi, biasanya banyak ahli-ahli bidang studi. Hal ini bisa diadakan kerja sama di dalam penyu¬sunan disain instruksional.
3.Materi pelajaran. Apakah materi yang diajarkan bersifat stabil, bertahan sampai beberapa tahun ? Bila tidak, maka tidak perlu disusun TIU untuk diajarkan. Hal ini untuk mencegah pemborosan waktu, tenaga dan biaya.
4.Jenis kemampuan atau tingkah laku sebagai indikator tercapainya TIU. Pertama-tama, perlu diperhatikan bahwa kemampuan atau tingkah laku yang siswa diharapkan dapat memilikinya adalah penting. Kedua, bahwa kemampuan atau tingkah laku yang akan diajarkan tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang tersedia. Tidak terlalu sedikit, tapi juga tidak terlalu banyak memakan waktu. Ketiga, bahwa kemampuan atau tingkah laku tersebut tidak terlalu luas dan rumit.
5.Siswa dan kesulitan yang pernah dihadapi. Adakah siswa yang akan mempelajari TIU tersebut? Di negara-negara yang menganut sistem kurikulum bersifat terbuka, artinya siswa boleh memilih bidang studi atau mata kuliah yang disu¬kainya, memang parlu diperhatikan apakah TIU yang disusun ada siswanya atau tidak.
Di Indonesia, di mana kebanyakan dianut sistem kurikulum yang -telah pasti pada setiap lembaga pendidikan, kiranya tak ada persoalan mengenai ada tidaknya siswa. Siswa atau mahasiswa selalu ada, dan mereka wajib mempelajari semua bidang studi yang telah ditentukan. Yang perlu diperhatikan adalah pengembangan kurikulum itu sendiri secara lebih sempuma. Di sini yang penting ialah bagian-bagian bidang studi yang siswa mengalami kesulitan di dalam mempelajarinya.
Guru atau dosen yang berpengalaman akan dapat mengidentifikasi konsep, prinsip, atau problem-problem tertentu yang sukar dipelajari oleh siswa.
Dari lima hal yang perlu diperhatikan di dalam menentukan TI, tiga di antaanya adalah yang teramat penting yakni (1) luas materi, (2) ahli bidang studi, (3) siswa. Oleh karena itu, Dick & Carey (1978, h.17) menyarankan bahwa sebelum memilih dan menentukan TIU, maka perlu diperhatikan bahwa telah tersedia:
(1)Ahli bidang studi yang akan diajarkan.
(2)Siswa yang akan mempelajarinya.
(3)Materi pelajaran yang sesuai dengan waktu yang tersedia.
Kriteria TIU yang baik.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk menyusun dan menilai TIU: (1) Apakah di dalam merumuskan TIU digunakan kata-kata kerja yang menunjukkan tingkah laku yang harus dilakukan oleh siswa? (2)Apakah TIU tersebut terlalu luas, terlalu sedikit atau cukup sesuai dengan waktu yang tersedia dan kebutuhan siswa? (3) Apakah TIU tersebut jelas atau kabur?
Berdasarkan kriteria tersebut, maka perumusan TIU yang baik hendaknya menjelaskan tingkah laku yang orang lain bisa mengamati terhadap apa yang dilakukan siswa. Tingkah laku sebagai hasil belajar ini hendaknya bisa diukur dan diamati. Tingkah laku ini hendaknya bisa dipergunakan sebagai bukti bahwa TIU telah tercapai. Dengan kata lain, perumusan TIU tersebut, baik lisan maupun tertulis, dapat dinilai, dan keputusan dapat diambil mengenai tercapai tidaknya tujuan yang dimaksud.
Perumusan TIU yang tidak menunjukkan tingkah laku dan tidak bisa diamati akan membawa kesulitan di dalam pengukurannya. Karena itu yang demikian ini perlu dihindarkan. Contoh “Agar siswa dapat menikmati lukisan batik modern” atau “agar siswa menyadari pentingnya demokrasi” adalah sukar diamati dan sukar diukur.
Waktu yang diperlukan bagi guru untuk menyiapkan rencana pengajaran, dan bagi siswa untuk mempelajari dan mencapai TIU tersebut dapat dipergunakan untuk mempertimbangkan apakah suatu TIU terlalu luas, terlalu sedikit atau cukup.
Unit pengajaran yang terlalu luas atau banyak akan menyulitkan siswa. Unit pengajaran yang terlalu sediki dan terlalu ringan akan kurang memberikan tantangan kepada siswa. Oleh karena itu, pemilihan unit pengajaran yang sesuai dengan waktu yang tersedia adalah penting sekali.
Maksud atau isi TIU hendaknya jelas, tidak kabur. Unit atau topik yang menggambarkan dengan jelas mengenai isi ataupun ketrampilan yang dipelajari akan memudahkan siswa di dalam mempelajarinya.
Ada bidang-bidang studi yang TIU-nya mudah dirumuskan, misalnya” ketrampilan teknik, matematika. Sementara itu ada pula bidang studi yang sukar utuk dirumuskan TIU-nya misalnya: filsafat, agama.
Kesimpulan dari uraian di atas ialah bahwa banyak faktor yang perlu dipertimbangkan di dalam menilai apakah TIU untuk suatu unit pengajaran dapat tepat untuk sekelompok siswa tertentu. Faktor-faktor itu antara lain: waktu yang tersedia, sistematika materi, macam kegiatan belajar, karaktristik siswa dan sebagainya.
Penulisan Tujuan Instruksional Khusus
Penulisan Tujuan Instruksionai Khusus (TIK) merupakan langkah yang sangat penting dalam proses penyusunan disain instruksional. Sebab TIK ini: menentukan dengan tepat apakah ketrampilan, penge¬tahuan dan sikap yang harus dimiliki oleh siswa setelah mengikuti suatu pelajaran. Para guru/pendidik tak ayal lagi, perlu memiliki ketrampilan dalam penulisan TIK ini. Namun lebih penting lagi ialah melaksanakan dengan tepat TIK yang telah dirumuskan. Uraian berikut diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan ketrampilan para guru, dosen ataupun pendidik lainnya tentang penulisan TIK yang tepat.
1.Istilah
Sehari-hari kita mengenal istilah-istilah seperti tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan instruksional umum, dan tujuan instruk¬sional khusus. Ely (1979, h.3) membedakan tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus ditinjau dari segi "spesifik tidaknya tujuan itu dirumuskan".
TIU menjelaskan kemampuan, ketrampilan, dan pengetahuan yang bersifat umum dan luas, sedang TIK menjelaskan tingkah laku khusus atau spesifik yang perlu dimiliki oleh siswa setelah belajar. Kita mengenal juga istilah course aims, course goals, educational outcomes, learning outcomes, learning objectives, instructional objectives, behavioral objectives, instructional product, etc.
2.Definisi
Pendapat lama dalam memberikan pengertian istilah-istilah tersebut di atas ada yang meninjau dari segi kegiatan guru. Misalnya ada yang merumuskan tujuan instruksional dengan kalimat "untuk mengajarkan hukum bejana berhubungan". Perumusan yang demikian disebut "teacher centered".
Menurut pendapat sekarang, apa yang dirumuskan di dalam tujuan instruksional adalah hasil belajar siswa, bukan apa yang akan diker¬jakan oleh guru di dalam kegiatan mengajar. Perumusan yang demikian disebut "learner centered". Beberapa definisi mengenai tujuan instruksional adalah sebagai berikut:
a.The instructional goal is a statement that deseribes what it is that student will be able to do after they have completed instruction . (Dlek & Carey, 1978, p. 14).
b.Objectives are goals for, or desired outcomes of, and are expres-sed in terms of observable behavior or performance of the learner (Merrill, 1971,-p. 1).
c.Course aims describe the intended outcomes a course, usually in terms of what a student is expected to be able to do as a result of studying that course (Hall, 1975, p. 9).

Dari contoh-contoh definisi tersebut di atas, jelas bahwa yang di-maksud dengan tujuan instruksional adalah kemampuan atau ketrampilan yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa setelah meng-adakan kegiatan belajar.
Tujuan instruksional yang lebih bersitat khusus (spesific) disebut juga "objectives" atau "behavioral objectives" karena seperti dikatakan Kemp "belajar menghendaki usaha yang aktif dari siswa, oleh karena itu semua objectives harus dinyatakan dalam bentuk tingkah laku" (1971, p. 19). Kita menggunakan istilah Tujuan In¬struksional Khusus (TIK) untuk "behavioral objectives" tersebut. Tingkah laku siswa ada yang dapat dilihat, dan diukur (overt-beha¬vior), ada pula yang tak tampak dan tak bisa diukur (covert-behavior).
Diskusi tentang tujuan instruksional lebih menitikberatkan pada tingkah laku yang bisa diamati dan diukur (overt-behavior).
3. Tingkat-tingkat (level of objectives).
a. TIK akhir (terminal objectives): tujuan akhir dari mempelajari suatu topik.
b. Sub TIK (enabling objectives, interin objectives): tujuan "antara" yang diperlukan untuk mencapai terminal objectives.
4. Aspek-aspek TIK (domain of objectives).
Salah satu usaha untuk menyusun daftar umum mengenai penge-lompokan objectives dilakukan oleh Bloom (1956). Menurut Bloom ada 3 aspek "objectives" yakni:

a. Aspek pengenalan (cognitive domain) yang meliputi:
(1) pengetahuan, ingatan +
(2) pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh;
(3) analisis, menguraikan, menentukan hubungan;
(4) sintesis, mengorganisir, merencanakan, membentuk bangunan baru, dan sebagainya.
(5) mengevaluasi, menilai.
(6) aplikasi.
b. Aspek perasaan (affective domain).
Aspek ini berkenaan dengan sikap, nilai, minat, apresiasi, misalnya sikap untuk menerima, memberikan respon, nilai dan sebagainya.
c. Aspek gerak (psychomotor domain).
(1) Self-paced objectives
(2) Mix-paced objectives
(3) Extemally-paced objectives
Untuk aspek gerak ini Hall (1975, p. 25) membuat klasifikasi sebagai berikut:
1) initiatory level
2) pre routine level
3) routinized level
Mengapa Perlu Perumusan Tujuan Instruksional ?
Di dalam proses belajar mengajar, perumusan tujuan instruksional (objectives) memegang peranan penting. Kegunaan adanya tujuan in-struksional (objectives) dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.Objective memberikan kriteria yang pasti, yang dengannya kemajuan belajar siswa dapat diukur, atau tingkat kemampuannya dapat ditentukan secara pasti.
2.Objective memberikan kepastian mengenai kemampuan ketrampilan yang diharapkan dari siswa. .
3.Objective memberikan dasar untuk mengembangkan alat evaluasi untuk mengukur efektifitas pengajaran.
4.Objective memberi petunjuk kepada penyusun disain untuk menentukan materi dan strategi instruksional.
5.Objective tidak hanya berguna bagi penyusun disain dan guru, tapi juga berguna bagi siswa. Bagi siswa, dengan adanya objective akan menjadi jelas petunjuk mengenai apa yang dipelajari dan apa yang akan diujikan/dinilai dalam mengikuti suatu pelajaran.
Singkatnya, objective merupakan petunjuk yang jelas dalam penen¬tuan materi, sumber, alat/media, kegiatan belajar mengajar, dan eva¬luasi.
Demikian pentingnya objective tersebut sampai-sampai Merill (1971, p.1) mengatakan: "Without this information, it is difficult, if not impossible, to outline a zourse that has attained desired level of competence". Juga Hall memandang begitu penting objective tersebut sampai-sampai ia berkata: "The curriculum without aims was compared to a joumey without a destination" (1975, p. 22).
Dikatakan juga bahwa "tiadanya tujuan instruksional dapat membawa frustasi kepada mahasiswa sebab mereka tak tahu tentang apa sebe¬narnya yang dipelajari dari suatu mata kuliah tertentu". Tanpa peru-musan yang tegas, kuliah akan hanya didasarkan atas isi semata-mata, sedang isi pelajaran sebenarnya adalah sekedar alat (tool) untuk men¬capai tujuan.
Meski banyak pihak memandang tujuan instruksional itu penting, namun ada juga kritik atau keberatan terhadap diutamakannya tujuan instruksional, terlebih-lebih tujuan instruksional khusus (objectives). Kritik itu misalnya dikemukakan oleh Popham (1967). Dua hal diajukan keberatan terhadap behavioral objectives:.
1.Ada asumsi bahwa tujuan akhir semua usaha pendidikan adalah untuk mengubah tingkah laku (behavior), dan bahwa perubahan ini terjadi sebab langsung oleh apa yang telah terjadi. Padahal sebenarnya tidak mesti bahwa behavior itu hanya bisa berubah karena proses belajar.
2.Kebanyakan tenaga pengajar (dosen/guru) tak cukup waktu yang diperlukan untuk menyusun “behavioral objectives”.
Kita juga sering mendengar kritik-kritik terhadap behavioral objectives, misalnya aspek affektif adalah sukar dirumuskan dalam bentuk tingkah laku yang bisa diamati dan diukur. Juga kalau tidak tepat penyusunan objectives tersebut, maka tujuan instruksional akan menjadi kabur. Berhubung adanya kritik-kritik tersebut, maka seyogyanya bahwa untuk perkuliahan di perguruan tinggi, tujuan instruksional cukup dirumuskan dalam bentuk yang agak umum, sedangkan untuk SLTA ke bawah perlu dirumuskan secara terperinci.
Bagaimana cara merumuskan tujuan instruksional?
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dikemukakan (1) kriteria perumusan tujuan instruksional yang baik, dan (2) mengenai format penulisan tujuan instruksional.
1. Kriteria perumusan tujuan instruksional yang baik
Para ahli pendidikan dan pengajaran mengakui bahwa dewasa ini ada tuntutan yang besar untuk merumuskan secara jelas mengenai tujuan instruksional. “More that at any previous time in educational history, educators are now being urged to clarify their description of the outcomes they hope to achieve through instructional effort” (Baker, 1971, p.3)
Berhubung dengan itu sangat penting kiranya kita sebagai staf pengajar dapat membedakan perumusan tujuan instruksional yang tepat dan yang tak tepat. Perumusan yang tepat akan menghilangkan keragu-raguan. Semakin jelas tujuan, semakin mudah kita dapat menentukan sequence pengajaran, menyusun alat evaluasi dan sebagainya.
Kriteria perumusan tujuan instruksional yang baik menurut Baker (1971, p.3) hendaknya memuat 4 unsur yakni: (a) A Subject : the learner (murid, siswa, mahasiswa), (b) A Verb : behavior, or behavior product (tingkah laku, hasil tingkah laku), (c) Given conditions: the situation in which the behavior occurs (syarat atau keadaan di saat siswa menunjukkan hasil belajar), dan (d.) Standards: of quality or quantity (derajat atau standar keberhasilan
Kita sering mendengar bahwa TIK harus dirumuskan dalam bentuk tingkah laku yang bisa diamati dan diukur. Empat kriteria tersebut kiranya akan memperjelas apa yang dimaksud dengan perumusan yang bisa diamati dan diukur. Penjelasan lebih lanjut untuk masing-msing unsur adalah sebagai berikut:
(a)A subject: the learner.
Perumusan objective (TIK) yang baik hendaknya menyebutkan secara khusus, secara jelas, siapa yang akan menunjukkan atau mendemonstrasikan hasil belajar, yakni yang melakukan kegiatan belajar. Bila “siapa”nya bukan yang melakukan belajar, maka perumusan objective itu tidak tepat. Subyek belajar ini bisa siswa, mahasiswa, peserta penataran, peserta kursus, dan sebagainya.
(b) A verb: behavior or behavior product
Kata kerja dalam perumusan objective yang baik melukiskan tingkah laku atau hasil tingkah laku. Tingkah laku yang dimaksud adalah: “Any learner performance, action, or operation which is observable” (Baker, 1971, p.6). kata kerja tersebut menjawab pertanyaan “Apakah yang dikerjakan siswadalam artian tingkah laku?” Objective yang berbunyi “Agar siswa dapat menyebutkan nama ke-27 propinsi di seluruh Indonesia secara lisan atau tertulis” melukiskan tingkah laku yang bisa diamati. Kata-kata kerja yang sering digunakan untuk menuliskan objective antara lain: (1) Identifikasi (identify), (2) Menyebutkan (name), (3) Menyusun (construct), (4) Menjelaskan (describe), (5) Mengatur, mengurutkan (order). Sedangkan kata-kata kerja yang dipandang kurang tepat un¬tuk melukiskan objectives misalnya: mengetahui, menerima, memahami , mempelajari , mengerti, menafsirkan, mengira-ira dan sebagainya.
(c) Given Conditions: The Situation in Which the Behavior Oecurs.
Objective yang baik, menentukan tingkah laku yang ditampilkan oleh siswa di dalam situasi dan kondisi yang diketahui/dipahami oleh siswa, dan yang melakukan evaluasi. Keadaan itu bisa secara natural, bisa juga dleiptakan secara khusus. Contoh: (1) Menyebutkan secara lisan proses pembuatan Undang-Undang, bila kepadanya diberikan Peraturan Tata Tertib DPR, (2) Dengan menggunakan peta buta Indonesia, siswa dapat menujukkan letak ibu kota ke-27 propinsi seluruh Indonesia, dan sebagainya.
Syarat atau keadaan pada dasarya berisi izin/kebolehan, ban¬tuan agar siswa bisa melakukan, atau pembatasan tertentu di saat siswa mendemonstrasikan kemampuannya. "Syarat" bisa dirumuskan secara positif misalnya "dengan meng¬gunakan", atau secara negatif misalnya "tanpa menggunakan". Syarat atau keadaan di saat diadakan evaluasi kadang-kadang mutlak harus disebutkan. Misalnya mahasiswa harus dapat lari 100 m dalam waktu 10 detik. Syaratnya, ia harus lari di tempat yang datar, atau di tempat tanjakan ? Dengan membawa beban atau tidak ? Seorang siswa yang akan dinilai kemampuannya untuk menter-jemahkan, boleh melihat kamus atau tidak ?
d. Standards : Quality or quantity
Unsur terakhir yang harus ada pada obyektive (TIK) yang baik ialah spesifikasi tingkat kemampuan minimal yang bisa dite¬rima (specification of the minimal acceptable level of learner performance). Seberapa tinggikah prestasi siswa telah dianggap memenuhi syarat? Berapa persen sekurang-kurangnya jawaban harus betul? Berapa persen sekurang-kurangnya dari 10 macam tugas harus diselesaikan dengan betul? Pertanyaann tersebut berkenaan dengan standar keberhasilan. Objective yang baik harus mencantumkan standar untuk mengukur tingkah laku atau hasil tingkah laku siswa yang telah dipandang cukup.
"Dapat lari 100 m dalam waktu kurang dari 10 detik" adalah perumusan yang menunjukkan adanya standar. Standar dapat dirumuskan dengan berbagai cara yang menunjukkan kualita, kuantita dan kadang-kadang waktu (namun untuk "waktu" lebih sering digunakan sebagai "syarat", bukan "standar"). Standar keberhasilan ini kadang-kadang ditentukan 100% harus terpenuhi, tapi kadang-kadang boleh kurang dari 100%. Hal ini tergantung dari sifat TIK yang harus dikuasai. Seorang pilot DE 10 misalnya, tentu harus menguasai 100% ketrampilan yang diajarkan. Begitu pun mahasiswa kedokteran yang ingin menjadi ahli bedah. Sebab kalau ketrampilan itu tidak 100% dikuasai semua, akan menimbulkan bencana. Sedang untuk mempelajari nama-nama negara anggota PBB yang jumlahnya ratusan itu, seorang siswa yang mempelajari IPS boleh tidak harus betul 100%.
2. Format Perumusan Tujuan Instruksional
Menuliskan objective tak jauh berbeda dengan menuliskan kalimat; jadi ada subyek, kata kerja, obyek,dan keterangan. Dalam hal ini sebagai subyek adalah siswa, kata kerja menunjukkan apa yang akan dikerjakan, dan keterangan menunjukkan seberapa baik siswa harus menunjukkan kemampuannya, dengan atau tanpa menggunakan alat apa dan dalam keadaan bagaimana.
Format penulisan objective yang mirip dengan penulisan kalimat serta berisikan empat kriteria tersebut di atas dapat diwujudkan dengan format ABCD. Menurut format ini, di dalam suatu TIK, dikehendaki adanya kejelasan mengenai:
A (Audience) atau sasaran, berisi kejelasan mengenai siapa yang belajar. Semakin jelas semakin baik.
B (Behavior) suatu kemampuan, ketrampilan, kegiatan atau tingkah laku yang bisa diamati yang menunjukkan bahwa siswa telah berhasil di dalam proses belajar.
C (Conditions), keadaan, syarat-syarat yang ada di salt diadakan evaluasi.
D (Degree), standar /ukuran yang menunjukkan bahwa siswa telah mencapai objective (TIK).
Contoh-contoh perumusan TIK untuk ketiga aspek TIK (objective domain) tersebut di atas adalah sebagai berikut (Dengan menggunakan format ABED):

(a) Aspek pengenalan (Cognitive).
A. Siswa kelas V SD/MIN
B. Dapat menunjukkan letak lima ibu kota Kabupaten/Kota dalam lingkungan wilaya Kota Metro.
C. Bila kepadanya ditunjukkan peta buta mengenai Kota Metro.
D. Kelima-limanya harus betul.
(b) Aspek gerak (Psychomotor).
A. Siswa kelas III SD/MIN
B. Dapat menyalin ke dalam huruf latin.
C. Jika kepadanya diberikan setengah halaman tulisan dari huruf cetak.
D. Kesalahan yang boleh terjadi tidak lebih dari 4 kata.
(c) Aspek perasaan (Affective domain)
A. Siswa SD/MIN Kelas VI setelah mendapat pelajaran tentang "Ke-bersihan".
B. Dapat menunjukkan meningkatnya sikap untuk menjaga kebersihan kelas seperti nampak dalam cara mereka mem¬buang sampah.
C. Di ruang kelas selalu disediakan keranjang sampah, guru tak menyediakan hadiah bagi mereka yang selalu membuang sam-pah ke tempat sampah.
D. Dalam waktu 3 bulan ke atas, hendaknya tak ada lagi sampah berserakan di lantai kelas.
Catatan:
Di dalam menuliskan TIK dengan menggunakan format ABCD, tidak harus selalu disusun dengan urutan seperti contoh di atas. Yang penting di dalam sebuah TIK ada kejelasan mengenai keempat unsur tadi yakni: Audience, Behavior, Condition, Degree.
Contoh: CABD,ABCD,ACBD,BCAD. AB TIK yang umum dipakai
Dengan menggunakan Pembukaan UUD 1945 sebagai pedoman (C), siswa SMA/MA Kelas III (A) dapat: (a) menyebutkan jumlah alinea Pembukaan, dan (b) menuliskan isi dari tiap-tiap alinea (B). Hendaknya disebutkan dengan urut, singkat dan menggunakan kalimat sendiri (D).