Mentransformasikan Organisasi Menjadi Learning Organizations

- Tidak ada komentar
Mentransformasikan Organisasi Menjadi Learning Organizations Perubahan tetap dan akan terus terjadi, dengan atau tanpa adanya kita. Kesiapan untuk menghadapi perubahan merupakan pekerjaan besar yang harus dipersiapkan agar kita bisa bertahan akibat gilasan perubahan. Perubahan itu terjadi di luar dari diri kita dan tidak akan berkompromi dengan diri kita. Pante rei, menurut filsafat Yunani, segalanya bergerak, segalanya mengalir, dan segalanya berubah karena perubahan merupakan tanda kehidupan. Apa yang harus dipersiapkan dalam menghadapi perubahan-perubahan tersebut? Haruskah kita berdiam diri, menunggu, dan akhirnya dilibas oleh perubahan global tersebut? Atau kita kemudian memberikan reaksi dengan sangat reaktif dan kemudian menantang perubahan tersebut ? Ketika perubahan itu datang dari luar diri kita dan kemudian kita bersikap reaktif dengannya, melawannya, bahkan antipati dengan perubahan tersebut, maka kita menjadi bagian orang-orang yang kalah. Untuk menghadapi perubahan itu kita harus berubah, selalu antisipatif dengan kemungkinan-kemungkinan baru, dan kreatif menghadapi perubahan. Satu hal konkrit yang bisa kita lakukan adalah dengan BELAJAR. Hakikat belajar adalah perubahan, sedangkan manusia yang tidak mau dan mampu lagi untuk berubah, dia telah mati. Merasa nyaman pada posisi sekarang, terlena pada zona nyaman, dan merasa tenang dengan kemapanan yang telah didapatkan, innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Ya…, dia telah MATI (RIP-Rest in Peace). Belajar menjadi kata kunci dari proses perubahan. Sekarang yang menjadi pertanyaan BESAR adalah sudahkah kita belajar? Sudahkah kita berubah dengan kita belajar? Kadang kita sudah merasa cukup belajar dengan hanya menghafal pelajaran, membaca buku-buku tebal, menghapal rumus-rumus rumit, dan memahami materi-materi yang didapatkan. Contohnya, selama ini kita hanya belajar tentang manusia, dengan alat Biologi, Sosiologi, Antropologi, Psikologi, dan logos-logos lainya. Namun kita sering melupakan untuk belajar melakukan dan belajar menjadi manusia, dengan memahami jati diri kita, kenapa kita ada di muka bumi ini, kenapa kita diciptakan, dan fitrah seperti apa yang seharusnya kita lakukan. Kita hanya berkutat mempelajari skenario kehidupan kita, namun kita lupa untuk memainkan peran dalam skenario kehidupan tersebut. Sekarang saatnyalah kita membenahi proses belajar kita selama ini. Mari belajar dengan mengalami apa yang kita pelajari. Karena kita tahu bahwa belajar yang paling berarti adalah belajar dari pengalaman, sehingga pada akhirnya kita akan bisa menjadi diri kita sendiri setelah melewati proses pengalaman yang panjang. Salah satu usaha untuk bisa menghadapi perubahan adalah dengan terus menyempurnakan usaha untuk menjadi manusia pembelajar. Ciri utama manusia pembelajar adalah selalu memperkaya kapasitas dirinya, memperbaiki kekurangannya, terbuka terhadap kritik dan masukan orang lain, dan tidak kolot terhadap perubahan. Dia adalah sosok manusia yang dinamis, selalu membelajarkan dirinya dan juga mengajak orang-orang di sekelilingnya untuk terus belajar. Sampai kemudian, ketika manusia-manusia pembelajar telah banyak dan berkumpul dalam sebuah komunitas, sebuah lembaga, kelompok binaan, ataupun sebuah organisasi, mereka dengan kesadaran yang luar biasa, berusaha menjadikan komunitas mereka sebagai komunitas pembelajar. Di manapun dia berada, dia selalu menggelorakan semangat belajar (lifetime learning). Tidak ada satu kejadianpun yang terlewatkan, melainkan untuk menggali pelajaran dan hikmah. Setiap hari adalah perbaikan (istimrorul ihsan) untuk menjadi lebih baik dan menuju kepada kesempurnaan (Kaizen). Andrias Harefa menyebutkan tiga tugas utama seorang manusia, yaitu menjadi: manusia pembelajar, pemimpin sejati dan guru. Bagaimana manusia pembelajar sudah sedikit dipaparkan, sementara pemimpin sejati merupakan proses yang harus di awali dengan menjadi manusia pembelajar. Pemimpin sejati adalah orang yang mampu mengorganisiasikan dirinya, mengorganisasikan sumber-sumber di sekitarnya, dan membimbing orang-orang di sekelilinya untuk menjadi manusia pembelajar. Setiap orang mempunyai potensi menjadi pemimpin, karena setiap orang adalah pemimpin, dan dibalik setiap kepemimpinan ada sebuah tanggung jawab, yang merupakan tolok ukur dari tingkat kedewasaan seseorang. Sementara untuk menjadi dewasa, seseorang harus BELAJAR. Sedangkan GURU merupakan tingkatan di mana dia telah mampu menjadikan hari-harinya menjadi hari yang penuh hikmah, mampu memberikan solusi bagi orang-orang di sekelilingnya, dari sentuhan tarbiyahnya (pendidikan), telah melahirkan pemimpin-pemimpin sejati yang mampu menjadikan dirinya sebagai unsur perubahan (agent of change). Seorang guru dalam proses mendidiknya mampu menjalankan fungsinya sebagai seorang: walid (orang tua), syaikh (bapak spiritual), ustadz (guru), dan Qoid (pemimpin). Baik manusia pembelajar, pemimpin sejati, maupun guru mengemban tugas menjadikan masyarakatnya menjadi masyarakat pembelajar, dan menjadikan lingkungan di mana mereka beraktivitas sebagai lingkungan pembelajar. Masyarakat pembelajar dimungkinkan akan terwujud dengan dikembangkannya organisasi pembelajar (Learning organization). Organisasi pembelajar adalah organisasi yang memberikan kesempatan dan mendorong setiap individu yang ada dalam organisasi tersebut untuk terus belajar dan memperluas kapasitas dirinya. Dia merupakan organisasi yang siap menghadapi perubahan dengan mengelola perubahan itu sendiri (managing change). Komponen Learning Organization (LO) Untuk memulai mentransformasikan organisasi di mana kita berada sekarang, terlebih dulu, mari kita cermati komponen-komponen penting yang harus ada dalam organisasi pembelajar. 1. Learning (Belajar) 2. Organization (Organisasi) 3. People (Orang) 4. Knowlegde (Pengetahuan) 5. Technology (Teknologi) Secara kasat mata, kelima komponen tadi ada dalam organisasi manapun, baik organisasi konvensional maupun organisasi modern yang sudah menerapkan prinsip-prinsip pengembangan organisasi. Lalu apa bedanya? Mari kita cermati bersama. Belajar dalam LO merupakan ruh yang memberikan gerak bagi maju mundurnya suatu organisasi. Belajar menjadi prioritas utama dalam setiap kegiatan yang dilakukan organisasi atau perusahaan tersebut. Setiap orang yang ada dalam LO didorong untuk mengembangkan diri dan memperkaya kapasitas dirinya. Setiap individu terlatih dalam skill-skill belajar, learning how: to do, to learn, to be, to life together. Mereka juga dengan antusiasme yang luar biasa, terus berusaha menerapkan metode percepatan belajar. Dinamika pembelajaran itu berkembang tidak hanya pada diri mereka seorang, tapi juga berkembang pada kelompok, bahkan sudah menjadi budaya organisasi. Dari sisi Organisasi, organisasi yang mempunyai semangat LO, mereka akan memperjelas visi organisasi mereka, yang digali dari visi-visi individu. Visi mereka adalah visi yang jelas, semua orang menghayati visi tersebut, karena visi tersebut digali dari diri mereka. Dalam LO ada sebuah iklim yang terbentuk yang mendorong individu-individu yang ada untuk berkembang. Secara struktural, LO adalah organisasi yang ramping, tidak gemuk dengan birokrasi yang njlimet dan berbelit. Struktur yang ramping memungkinkan orang-orang yang ada dapat berkoordinasi dengan efektif dan efesien. Dalam pelaksaan program kerja dan kegiatan, orientasinya bukan pada hasil dan target pencapaian waktu saja, tapi lebih pada proses, terlebih pada proses pembelajarannya. Pemberdayaan SDM di LO menjadi bagian yang penting, orang yang ada di dalam organisasi, maupun orang-orang yang ada di luar organisasi. Tidak ada gap atasan dan bawahan. Hungungan dengan customer dibina dengan baik. Knowlegde Management menjadi kebutuhan pokok yang harus dijalankan dengan untuk memudahkan sirkulasi pengetahuan sehingga bisa berkembang dengan baik. Pengetahuan dikelola dengan baik, dari bagaimana mendapatkan pengtahuan, menciptakan pengetahuan baru, menyimpannya, dan kemudian menyebarkan pengatahuan untuk kemudian digunakan. Dan yang terahir adalah pemanfaatan teknologi, yaitu berupa sistem informasi, belajar berbasikan teknologi (komputer), sistem kinerja tinggi dengan sistem pendukung. Untuk yang terakhir ini, masih cukup sulit dikembangkan di negara berkembang. Prinsip-prinsip Learning Organization Organisasi Pembelajar didasarkan atas beberapa ide dan prinsip yang integral kedalam struktur organisasi. Peter Senge dalam hal ini menyebutkan bahwa inti dari Organisasi Pembelajar adalah Disiplin Kelima (The Fifth Discipline), kelima disiplin itu adalah: 1. Keahlian Pribadi (Personal Mastery) 2. Model Mental (Mental Model) 3. Visi Bersama (Shared Vision) 4. Pembelajaran Tim (Team Learning) 5. Pemikiran Sistem (System Thinking) Sementara itu Michael J. Marquardt menambahkan satu disiplin lagi yaitu dialog (dialogue). Hampir sama dengan Marquardt, Douglas Guthrie menambahkan dan menyempurnakan apa yang sudah di sampaikan oleh Peter Senge, penambahan dan penyempurnaan itu adalah: 1. Pembelajaran Tim dan Pembelajaran Umum (Public and Team Learning) 2. Bertindak dengan penuh makna dan kemungkinan (Acting in High Level of Ambiguity) 3. Dialog secara umum (Dialogue Generatively) 4. Melihat organisasi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan (Viewing the Organization as an Integrated Whole) 1.Penguasaan Pribadi (Personal Mastery) Penguasaan pribadi adalah suatu budaya dan norma lembaga yang terdapat dalam organisasi yang diterapkan sebagai cara bagi semua individu dalam organisasi untuk bertindak dan melihat dirinya. Penguasaan pribadi merupakan suatu disiplin yang antara lain menunjukkan kemampuan untuk senantiasa mengklarifikasi dan mendalami visi pribadi, memfokuskan energi, mengembangkan kesabaran, dan memandang realitas secara obyektif. Penguasaan pribadi juga merupakan kegiatan belajar untuk meningkatkan kapasitas pribadi kita untuk menciptakan hasil yang paling kita inginkan, dan menciptakan suatu lingkungan organisasi yang mendorong semua anggotanya mengembangkan diri mereka sendiri kearah sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan yang mereka pilih. 1. Model/pola Mental (Mental Model) Model mental adalah suatu prinsip yang mendasar dari Organisasi Pembelajar, karena dengannya organisasi dan individu yang ada di dalamnya diperkenankan untuk berpikir dan merefleksikan struktur dan arahan (perintah) dalam organisasi dan juga dari dunia luar selain organisasinya. Senge menyebutkan bahwa model mental adalah suatu aktivitas perenungan, terus menerus mengklarifikasikan, dan memperbaiki gambaran-gambaran internal kita tentang dunia, dan melihat bagaimana hal itu membentuk tindakan dan keputusan kita. Model mental terkait dengan bagaimana seseorang berpikir dengan mendalam tentang mengapa dan bagaimana dia melakukan tindakan atau aktivitas dalam berorganisasi. Model mental merupakan suatu pembuatan peta atau model kerangka kerja dalam setiap individu untuk melihat bagaimana melakukan pendekatan terhadap masalah yang dihadapinya. Dengan kata lain, model mental bisa dikatakan sebagai konsep diri seseorang, yang dengan konsep diri tersebut dia akan mengambil keputusan terbaiknya. 2. Visi Bersama (Shared Vision) Visi bersama adalah suatu gambaran umum dari organisasi dan tindakan (kegiatan) organisasi yang mengikat orang-orang secara bersama-sama dari keseluruhan identifikasi dan perasaan yang dituju.Dengan visi bersama organisasi dapat membangun suatu rasa komitmen dalam suatu kelompok, dengan membuat gambaran-gambaran bersama tentang masa depan yang coba diciptakan, dan prinsip-prinsip serta praktek-praktek penuntun yang melaluinya kita harapkan untuk bisa mencapai masa depan. 3. Belajar Tim dan Belajar Umum (Public and Team Learning). Belajar Tim adalah suatu keahlian percakapan dan keahlian berpikir kolektif, sehingga kelompok-kelompok manusia secara dapat diandalkan bisa mengembangkan kecerdasan dan kemampuan yang lebih besar dari pada jumlah bakat para anggotanya. Public learning sendiri mengarah pada prinsip-prinsip melalui individu-individu yang didorong untuk belajar secara terbuka dan menggali apa yang tidak mereka ketahui sekarang. 4. Pemikiran Sistem (Systems Thinking) Pemikiran sistem (berpikir sistem) adalah suatu kerangka kerja konseptual. Yaitu suatu cara dalam menganalisis dan berpikir tentang suatu kesatuan dari keseluruhan prinsip-prinsip Organisasi Pembelajar. Tanpa kemampuan menganalisis dan mengintegrasikan disiplin-disiplin Organisasi Pembelajar, tidak mungkin dapat menerjemahkan disiplin-displin itu kedalam tindakan (kegiatan) organsasi yang lebih luas.Disiplin ini membantu kita melihat bagaimana kita mengubah sistem-sistem secara lebih efektif, dan bertindak lebih selaras dengan proses-proses yang lebih besar dari alam dan dunia ekonomi. Berpikir sistem ini pengertiannya hampir sama dengan apa yang disampaikan oleh Guthrie tentang Melihat organisasi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan (Viewing organization as integrated whole). 5. Bertindak dengan penuh makna (Acting in High Level of Ambiguity) Dalam Organisasi Pembelajar, setiap individu didorong untuk dapat memanfaatkan seluruh kemampuan dan kecerdasannya untuk menyikapi tantangan yang seringkali rumit dan penuh kemungkinan (ambiguitas). Individu yang mampu menerapkan prinsip ini mampu beradaptasi dengan baik dengan lingkungannya yang baru sekalipun. Modal utama untuk dapat menerapkan prinsip ini adalah memanfaatkan pengetahuan dan seluruh potensinya tersebut. Jika pada masa manajemen berdasarkan ilmu pengetahuan dan keuangan, akan menghasilkan budaya ketelitian dalam organisasi, maka saat manajemen didasarkan pada perancangan dan pembelajaran, harus melahirkan budaya yang menyenangkan dalam berbagai bidang kemungkinan. Komitmen dari suatu lembaga dan budaya terhadap prinsip ini merupakan bagian penting dari Organisasi Pembelajar, karena ini adalah kesatuan untuk menerima fakta bahwa masa mendatang dan struktur organisasi itu sendiri adalah tetap akan terus berubah. Pihak manajemen dan para pegawai harus merasa senang untuk bertindak dalam berbagai kemungkinan yang sulit. 6. Dialog (Dialogue Generatively) Dialog adalah suatu bagian yang fundamental dari Organisasi Pembelajar. Dalam arti yang sederhana, dialog adalah komunikasi. Ini adalah gabungan dari berbagai interaksi dalam organisasi. Melalui dialog, setiap individu dengan interaktif menggali dan menyelesaikan satu atau seluruh aspek tindakan yang ada dalam organisasi, bagaimana mereka menerima sistem dan struktur dari organisasi, apa visi organisasi mereka. Dialog merupakan bagian yang penting dari Public Learning. Hanya dengan dialog, individu dapat menggali dengan interaktif berbagai isu yang ada dalam organisasi. Poin penting dari dialog adalah tidak hanya untuk memahami apa yang terjadi dalam organisasi, bagaimana individu mendapatkan pengalaman struktur dan proses dalam organisasi, tapi juga untuk mengarahkan model-model baru, keterbukaan baru, dan tujuan baru untuk mendapatkan tindakan yang lebih efektif dan pemahaman dan keyakinan yang mendalam. 7. Melihat organisasi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan (Viewing the Organization as an Integrated Whole) Inilah gambaran organisasi sebagai suatu gabungan dari individu-individu yang ada dalam organisasi. Pertama, organisasi harus dilihat sebagai satu kesatuan dari seluruh komponen yang ada dalam organisasi. Melihat gambaran yang lebih besar dari organisasi sebagai keseluruhan yang dinamis adalah sesuatu yang penting untuk memahami bagaimana organisasi bergerak dan bagaimana individu-individu dalam organisasi bergerak. Tindakan para manager akan berdampak pada budaya organisasi, begitu juga tindakan dari beberapa departemen atau bidang dalam organisasi, akan berdampak pada keseluruhan sistem yang ada pada organisasi. Oleh karena itu, melihat organisasi sebagai satu keseluruhan yang tak terpisahkan merupakan langkah penting untuk memahami organisasi. Kedua, organisasi harus dilihat sebagai sebuah sistem sosial dunia yang dibangun, di mana proses dan keluaran merupakan hasil dari faktor jaring sosial yang semuanya bergabung dalam jalan yang membingungkan dan ambigu. Jika sebuah organisasi ingin mengetahui usaha yang dapat berpengaruh terhadap keluaran, maka perlu adanya pendekatan yang beragam (multivariative approach) untuk masalah yang dihadapi dan menerima fakta dari beberapa variabel (komponen) yang berpengaruh walaupun mungkin tidak diperhitungkan sama sekali. Penutup….. Perlu diingat dan diperhatikan, TIDAK ADA ORGANISASI YANG BENAR-BENAR MERUPAKAN LEARNING ORGANIZATION. Jadi jika ada organisasi yang mengklaim dirinya adalah LO, justru dia tidak memahami konsep LO, dan dia bukan LO. LO merupakan proses menuju kesempurnaan, dengan perubahan-perubahan baik dari dalam-maupun dari luar. Sama halnya dengan belajar, tidak ada kata akhir dalam belajar. Begitu juga dengan Learning Organization, tidak ada kata akhir dalam LO, yang ada adalah upaya terus menerus untuk belajar, memperbaiki diri, menuju kesempurnaan

The Social Readiness of First- and Second-Year College Students:Variables Supporting Success

- Tidak ada komentar
A. Pendahuluan Mahasiswa, sebagai anggota komunitas pendidikan tinggi, belajar untuk mengandalkan institusi mereka baik teman sebaya kelembagaan dan kantor dilembagakan - untuk mendukung diperlukan untuk diterima sbg mahasiswa. Pengalaman ini, termasuk kesiapan siswa, adalah refleksi langsung pada seberapa besar lembaga adalah masyarakat yang telah belajar dari berbagai generasi siswa. Menggunakan kelompok fokus ganda, studi saat ini dieksplorasi dan mencari konsensus tentang bagaimana mahasiswa sesuai harapan mereka dan realitas kehidupan perguruan tinggi, dan bagaimana mereka belajar untuk menavigasi pengalaman perguruan tinggi mereka. Bagi banyak siswa SMA, transisi ke perguruan tinggi adalah ritual utama dari bagian hingga dewasa (Astin, 1977; Boyer, 1987). Siswa dihadapkan pada sejumlah tantangan dan peluang di lingkungan perguruan tinggi yang mulai membentuk perkembangan mereka. Memahami pengalaman perguruan tinggi mahasiswa 'telah diteliti terutama dalam hal persiapan akademik siswa (Bowman, 2010; Jamelske, 2009; Kahn & Nauta, 2001; Keup & Barefoot, 2005; Noble, Flynn, Lee, & Hilton, 2007; Starke, Harth, & Sirianni, 2001). Namun, ada beberapa studi yang mengeksplorasi dampak dari faktor sosialisasi ke perguruan tinggi (Baker, McNeil, & Siryk, 1985; Nahaliel, Ayers, Merk, Brooks, Quimby, & McNary, 2010; Weidman, 1989). Sosialisasi ke perguruan tinggi memberikan wawasan kritis ke dalam studi mahasiswa. Dalam sebuah studi oleh Pike (2006), sosialisasi muncul sebagai hasil yang tak terduga dari tipe kepribadian mahasiswa, pilihan utama akademik, dan harapan tentang perguruan tinggi. Weidman (1989) berpendapat bahwa para peneliti harus fokus pada sosialisasi siswa di perguruan tinggi. Studi ini dirancang untuk mengembangkan pemahaman tentang kesiapan sosial mahasiswa sarjana 'untuk pengalaman perguruan tinggi. Secara khusus, studi ini meneliti dampak dari faktor kesiapan sosial dalam transisi dari mahasiswa sarjana dari sekolah tinggi ke perguruan tinggi. Temuan termasuk orangtua, saudara, teman dan guru memiliki pengaruh yang signifikan terhadap persepsi siswa tentang pengalaman kuliah mereka. Demikian pula, siswa dalam penelitian ini menemukan bahwa partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler di SMA membantu dalam transisi mereka ke perguruan tinggi. Namun, untuk mahasiswa tahun pertama dalam penelitian ini, membentuk persahabatan tutup pada tahun pertama mereka kuliah itu sulit dan sering ditandai dengan disintegrasi hubungan dengan teman sekamar. Mahasiswi dalam penelitian ini menemukan diri mereka lebih nyaman di lingkungan perguruan tinggi mereka serta memiliki dasar yang solid dari teman-teman. Tidak peduli klasifikasi siswa dalam jenis penelitian atau lembaga, sambungan ke keluarga dan teman sangat penting dalam transisi ke perguruan tinggi. Selain itu, menetapkan tujuan dan mencapai keseimbangan antara kegiatan akademik dan sosial merupakan faktor penting dalam penyesuaian siswa ke perguruan tinggi. Siswa dalam penelitian ini menyatakan pemahaman yang mengherankan mendalam dampak bahwa pengalaman perguruan tinggi telah memiliki pada mereka pada tingkat, emosional sosial, spiritual, dan akademik. Banyak mahasiswa menggambarkan pengalaman bervariasi di perguruan tinggi sebagai memiliki "mempengaruhi" pengaruh pada kehidupan mereka dan secara konsisten menyebutkan bahwa tidak peduli seberapa siap mereka merasa untuk kuliah, mengalaminya sendiri sangat penting. Juga, pengaruh orang tua dan keluarga merupakan faktor yang signifikan sebagai mahasiswa bergerak melalui perguruan tinggi dan siswa sering menemukan perubahan dinamis dalam hubungan mereka dengan orangtua mereka. Sebagian besar, peran orang tua mereka bergerak dari lebih dari peran pengasuh untuk lebih dari peran mentor dan untuk banyak siswa, ini memiliki efek positif pada pengalaman mereka. B.Analisis/Rrviwe Pada tingkat individual: memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan ketrampilan. Pada tingkat organisasi: mengubah persepsi, visi, strategi, dan mengalihkan pengetahuan pada tingkat individual dan organisasi: penemuan dan pembaharuan– penciptaan, penjajagan pengetahuan baru, pemahaman gagasan-gagasan baru. Sesuatu pekerjaan yang dilakukan dari hasil kreativitas tidak timbul secara tiba-tiba dalam pikiran seseorang laksana bola lampu yang dinyalakan ditengah-tengah kegelapan, tetapi diperolehdari hasil berpikir sistem disertai kerja keras yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus-menerus dengan melibatkan sistem kerja kolaborasi dan gotong royong yang merupakan warisan budaya bangsa yang harus dipelihara. Kebersamaan dalam keberagaman adalah modal dasar untuk membentuk suatu organisasi yang mengedepankan, membentuk penguasaan pribadi yang tangguh, mengembangkan model mental secara positif, membuat visi bersama, belajar beregu, berpikir sistem seperti yang diperkenalkan oleh Senge (2000) dengan istilahThe Fifth Discipline (disiplin kelima). Plus memperkuat sistem komunikasi dialogis dan multiarah atau yang dikenal sebagai skill (keterampilan) dalam subsistem belajar menurut Marquardt (1996) yang sekarang ini menjadi bahan rujukan utama dalam Organisasi belajar. Secara historis, konsep Organisasi belajar atau Learning organization menjadi istilah yang populer setelah Peter Senge melontarkan gagasannya dalam buku TheFifth Discipline. Sejak itu jargon learning organization atau terjemahannya organisasi belajar banyak disebut dan dibicarakan pada berbagai kesempatan. Peter Senge mendefinisikan Learning Organization /Organisasi Belajar, sebagai berikut : Organisasi belajar adalah organisasi-organisasi dimana orang mengembangkan kapasitas mereka secara terus-menerus untuk menciptakan hasil yang mereka inginkan, dimana pola pikir yang luas dan baru dipelihara, dimana aspirasi kolektif dipoles, dimana orang-orang belajar tanpa henti untuk melihat segala hal secara bersama-sama. Michael Marquardt mendefinisikan organisasi belajar sebagai suatu organisasi yang belajar secara kolektif dan bersemangat, dan terus menerus mentransformasikan dirinya pada pengumpulan, pengelolaan dan penggunaan pengetahuan yang lebih baik bagi keberhasilan perusahaan. Memberdayakan sumber daya manusianya baik di dalam atau di luar perusahaan untuk belajar sambil bekerja. Memanfaatkan teknologi untuk mengoptimalkan baik pembelajaran maupun produktivitas kerja. Berdasarkan kedua definisi seperti dijelaskan diatas, Organisasi Belajar dapat dipandang sebagai organisasi yang dapat membangun dan mengembangkan kapasitas individu, pola pikir, cita-cita bersama, dan belajar berkelanjutan untuk mengubah organisasi sehingga mampu mencapai hasil yang memiliki daya saing tinggi. Kapasitas individu yang mampu mengkonstruksi sistem belajar berkelanjutan dalam rangka mengubah dan mengadaptasi organisasi sesuai dengan kondisi lingkungan yang sedang berubah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil yang dicapai suatu organisasi belajar dapat menjadi barometer dalam membangun karakter seseorang, kelompok maupun organisasi yang mandiri, bermartabat, dan harga diri suatu organisasi yang mampu berkompetisi dan berkolaborasi dengan pihak organisasi manapun di beberapa bidang. Jika merujuk pada lima disiplin yang dikemukan oleh Peter Senge (2000) dan enam keterampilan menurut Marquardt (1996), yakni penguasaan perorangan, model mental, visi bersama, belajar beregu, dan berpikir sistem, plus dialog, nampaknya akan memperkuat pandangan yang mengatakanbahwa LO/ OB sebenarnya berorientasi struktur. Walaupun secara teknik dianggap berbeda.Perbedaan ini tidak lantas diklaim sebagai suatu hal yang harus dipertentangkan sehingga esensi kajiannya justru dipisahkan dalam dua kajian yang berbeda.Justru keterkaitan antara proses yang dilakukan untuk mengadaptasi berbagai perubahan dan struktur disiplin dan keterampilan yang membangun kekuatan organisasi akan memperkuat lahirnya orgnisasi belajar yang dapat membentuk superioritas dan kemampuan daya saing yang tinggi. Kemajuan teknologi informasi canggih khususnya yang berbasis elektronik untuk mengelola pengetahuan dalam organisasi perlu dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan teknologi informasi untuk pengelolaan pengetahuan dalam konteks organisasi belajar dan pengembangan dapat dilakukan antara lain. Untuk kedua mahasiswa tahun pertama dan kedua dalam penelitian ini, mencapai keseimbangan antara kegiatan ekstrakurikuler dan akademik saat masih di SMU adalah penting untuk pemahaman dan penyesuaian akhirnya ke kehidupan di sebuah kampus. Selanjutnya, peneliti menyimpulkan bahwa pengaruh orang tua dan orang penting lainnya memiliki pengaruh terbesar pada harapan siswa dan pengalaman tentang kuliah. Individu ini disediakan emosional, dukungan keuangan dan sosial bagi siswa dalam penelitian ini. Namun, tekanan orang tua bergaung paling keras dan sangat membebani proses pengambilan keputusan oleh mahasiswa selama tahun pertama dan kedua dari perguruan tinggi. Apakah harapan adalah untuk memiliki hubungan perusahaan dengan teman sekamar, fakultas, atau siswa lain, siswa dalam penelitian ini menggunakan seluruh hubungan pra dan baru didirikan sebagai sumber dukungan selama tahun pertama dan kedua dari perguruan tinggi. Dengan demikian, mahasiswa mampu membuat keputusan yang terbaik bagi mereka dan tegas disemen peran mereka sebagai seorang mahasiswa dalam lingkungan baru mereka. Siswa menegosiasikan transisi sosial untuk tahun pertama dan kedua dari perguruan tinggi dalam berbagai cara. Untuk mahasiswa tahun pertama, menjaga keseimbangan antara kegiatan akademik dan ekstrakurikuler itu penting. Setelah koneksi ke keluarga, teman serta dosen dan staf di kampus adalah sama pentingnya dalam transisi mereka. Mahasiswa tahun pertama juga menemukan bahwa hubungan interpersonal yang sulit untuk membentuk selama semester pertama mereka kuliah dan sering mengandalkan persahabatan dekat terbentuk di SMA. Namun, setelah siswa terlibat dalam kegiatan kampus, jaringan mereka dari persahabatan melebar dan mendalam, sehingga banyak dari mereka mengembangkan persahabatan inti pada akhir semester pertama mereka kuliah. Pengaruh internal dan eksternal berbentuk penyesuaian siswa terhadap lingkungan perguruan tinggi dalam sejumlah cara. Mengalami kampus budaya, agama, isu teman sekamar dan pengaruh orang tua adalah kunci untuk bagaimana siswa disesuaikan dengan perguruan tinggi di tahun pertama mereka. Menjelajahi isu teman sekamar positif dan negatif serta hubungan dengan lawan jenis adalah semua masalah yang melibatkan hubungan interpersonal bahwa siswa dalam penelitian mengalami. Para siswa juga menemukan bahwa memiliki dukungan dari orang tua dan administrator perguruan tinggi adalah kunci untuk penyesuaian mereka. Motivasi internal untuk siswa kelas kedua pertama dan kedua termasuk memiliki cinta alami belajar untuk belajar disiplin diri. Para mahasiswi dalam penelitian ini menemukan bahwa menyesuaikan diri dengan perguruan tinggi yang terlibat memiliki jaringan sosial yang positif dan dukungan keuangan yang memadai. Penyesuaian ini termasuk ekspektasi dari perguruan tinggi menjadi partai besar serta mengembangkan diri mereka sebagai orang dewasa dan menemukan diri mereka bertanggung jawab atas keberhasilan mereka (atau kegagalan). B. Kesimpulan Hasil penelitian ini mendukung perlunya penelitian lanjutan mengenai hubungan faktor nonakademis seperti dukungan orangtua dan teman sebaya, precollege karakteristik dan keterlibatan dalam kegiatan mahasiswa di kampus memberikan kontribusi terhadap sosialisasi siswa ke perguruan tinggi. Dengan memeriksa faktor-faktor ini dalam konser dengan faktor akademik, administrator perguruan tinggi harus dapat mengembangkan lebih intervensi yang efektif yang dapat meningkatkan retensi dan tingkat kelulusan. Sebuah studi oleh Larose, Robertson, Roy, dan Legault (1998) mendukung kebutuhan untuk mengkaji bagaimana faktor nonintellectual dapat digunakan sebagai prediktor keberhasilan perguruan tinggi. Secara khusus, "kapasitas mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan sekolah baru mereka, motivasi pribadi dan keterlibatan mereka tentang belajar, dan hubungan mereka dengan teman mereka dan anggota fakultas" (hal. 278) adalah kunci dalam memahami bagaimana mahasiswa berhasil dari sudut pandang kesiapan sosial. Studi saat ini juga didukung peran norma-norma budaya di kampus-kampus. Para siswa dalam penelitian ini diperkenalkan ke kampus perguruan tinggi melalui interaksi mereka informal dan formal dengan kelompok sebaya mereka serta dengan organisasi fakultas, staf dan siswa. Penelitian lain seperti Christie dan Dinham (1991) mengidentifikasi pola-pola yang ada mempengaruhi integrasi sosial siswa ke perguruan tinggi. Studi saat ini didukung pengaruh baik pengaruh eksternal seperti orang tua dan teman-teman SMA yang berpengaruh siswa dalam penelitian serta pengaruh institusional seperti tinggal di kampus dan keterlibatan dalam kegiatan mahasiswa yang memiliki pengaruh pada siswa dalam arus studi. Memahami pengalaman mahasiswa sarjana dari perspektif kesiapan sosial adalah kunci untuk mengembangkan program yang efektif retensi dan transisi untuk membantu para siswa ini berhasil. Dalam studi saat ini, sejumlah faktor kesiapan sosial diidentifikasi yang memainkan peran dalam persepsi siswa tentang pengalaman kuliah mereka. Faktor-faktor seperti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah menengah, dan kelas Advanced Placement pendaftaran bersamaan serta pengaruh orang tua dan keluarga adalah segala pengaruh yang signifikan pada ekspektasi siswa terhadap perguruan tinggi. Selain itu, mengembangkan jaringan sosial yang kuat di perguruan tinggi yang terlibat kepercayaan dan persahabatan sangat penting bagi banyak siswa dalam penelitian ini. Singkatnya, dengan memiliki pemahaman yang lebih baik dari faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pengalaman perguruan tinggi siswa berdasarkan ekspektasi dan pengalaman mereka, administrator dan fakultas sama akan dapat lebih baik mengembangkan kebijakan dan inisiatif yang akan berkontribusi terhadap keberhasilan akhirnya siswa, kepuasan, dan lulus dari lembaga kami. Referensi e-Jurnal Belajar Organisasi dan Kepemimpinan Musim Semi dan Musim Panas 2012 Volume 10, Nomor 1 Kasali, R. (2006). Change. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum Law, S and Glower,D. (2000). Educational leadership and learning. Buckingham : Open University Press. Li Lanqing. (2005). Education for 1.3 billion. Beijing: Pearson Education Marquardt, M. J. (2002). Building the learning organization. New York : McGraw-Hill Nanus, B. and Stepehen M. D. (1999). Leaders who make a difference : Essential strategies for meeting the nonprofit challenge. San Francisco : Jossey-Bass Publishers. Senge, Peter M.(1990) The fifth discipline: The art and practice of the learning organization. New York: Doubleday Senge, P.M. et al. (1995). The fifth discipline fieldbook : Strategies and tools for building a learning organization. London: Nicholas Brealy Publishing. Senge,P. et al.(2000). Schools that learn: A fifth discipline fieldbook for educators, parents, and everyone who cares about education. New York: Doubleday Shelton, K. (ed). (1997). A new paradigm of leaership: Visions of excellence for 21 st century organizations. Provo: Executive Excellence Publishing. The Social Readiness of First- and Second-Year College Students:Variables Supporting Success Para Kesiapan Sosial Mahasiswa Pertama-dan kedua Tahun: Variabel Penunjang Sukses Mary Jane SecubanUniversity of Arkansas e-Jurnal Belajar Organisasi dan Kepemimpinan Musim Semi dan Musim Panas 2012 Volume 10, Nomor 1 OLEH: ZUHAIRI / REG 7117110511 DOSEN PENGAMPU Prof Dr. B.P. Sitepu Dr. Nurdin Iberahim, M.Pd KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI BELAJAR PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA TAHUN 2011/ 2012