TEORI TENTANG TERBENTUKNYA ALAM SEMESTA

- 4 komentar

TEORI TENTANG TERBENTUKNYA ALAM SEMESTA

Teori ini berpendapat bahwa materi yang hilang melalui resesi galaksi-galaksi, karena pengembungan alam yang berlangsung terus menerus digantikan oleh materi yang baru saja tercipta sehingga alam semesta yang terlihat tetap berada dalam keadaan tidak berubah (stady state), artinya bahwa materi secara terus menerus tercipta diseluruh alam semesta. Teori ini sama sekali tidak menyebut peristiwa awal yang bersifat khusus pada waktu atau ruang. Tidak ada awal maupun akhir karena materi diperbarui secara terus menerus di satu tempat sementara di tempat lain dihancurkan.
Teori Ekspansi dan Kontraksi Teori ini berpendapat bahwa ada suatu siklus di jagat raya. Satu siklus mengalami satu masa ekspansi dan satu masa kontraksi. Satu siklus diperkirakan berlangsung selama 30 milyar tahun. Dalam masa ekspansi terbentuklah galaksi-galaksi serta bintang-bintang di dalamnya. Ekspansi ini diakibatkan oleh adanya reaksi inti hydrogen yang pada akhirnya membentuk unsur-unsur lain yang komplek. Pada masa kontraksi, galaksi-galaksi dan bintang-bintang yang telah terbentuk meredup dan unsure-unsur yang telah terbentuk menyusut dengan mengeluarkan tenaga berupa panas yang sangat tinggi. Disebut juga Oscillating Theory (teori mengembang dan memampat).
Teori Big – Bang  Keberadaan awal pada peristiwa besar ini melengkapi ketidaktahuan manusia tentang awal mula alam semesta dan merupakan bahan dari spekulasi sesungguhnya yang mempunyai dasar kuat.  Teori ini mengasumsikan sekitar 15 milyar tahun lalu dimulai dari ledakan yang dahyat dan dilanjutkan dengan pengambangan alam semesta. Point penting . dari semua peristiwa ini adalah waktu, materi , energi dan ruang merupakan satu keterpaduan. Kejadian ini bukan ledakan biasa tetapi cukup memenuhi semua peristiwa dari ruang dengan semua partikel yang menjadi embrio alam semesta yang mendesak keluar dari masing-masing yang lain. Telah dijelaskan sebelumnya Big bang adalah teori ilmu pengetahuan yang menjelaskan perkembangan dan bentuk awal dari alam semesta. Ide sentral dari teori ini adalah bahwa teori relativitas umum dapat dikombinasikan dengan hasil pemantauan dalam skala besar pada pergerakan galaksi terhadap satu sama lain, dan meramalkan bahwa suatu saat alam semesta akan kembali atau terus. Konsekuensi alami dari Teori Big Bang yaitu pada masa lampau alam semesta punya suhu yang jauh lebih tinggi dan kerapatan yang jauh lebih tinggi.
Albert Einstain : Ilmuwan pertama kali yang mencetuskan teori Big Bang
Teori Big-Bang juga dikenal teori Super Dense, menyatakan bahwa jika alam semesta mengembang pada skala tertentu, maka ketika kita pergi kembali ke dalam waktu, kelompok-kelompok galaksi akan semakin mendekat dan tentu akan sampai pada suatu saat di mana semua materi, energi dan waktu yang membentuk alam semeseta terkonsentrasi pada suatu tempat dalam bentuk gumpalan yang sangat padat ( super dense agglomeration). Dengan bekerja mundur , dari peringkat resesi galaksi-galaksi yang teramati, ditemukan bahwa galaksi-galaksi itu diduga telah berada berdekatan satu sama lain sekitar 12 milyar tahun yang lalu. Dipostulasikan bahwa saat ini ledakan hebat menyebabkan alam semesta mengembang 1030 kali atau lebih dari ukuran aslinya, sebagai akibatnya gumpalan yang sangat padat dari materi dan energi berserakan menjadi banyak bagian yang semuanya berjalan dengan kecepatan berbeda-beda ke arah berbeda-beda pula. Hasil dari ledakan ini berkondensasi membentuk benda-benda langit seperti yang ada sekarang. Pengembangan alam alam yang teramati ini merupakan kelanjutan dari proses ini.
Teori berkonsentrasi pada peristiwa spesifik sebagai „awal‟ alam semesta dan menampilkan suatu evolusi progresif sejak titik itu hingga sekarang. Selama satu abad terakhir, serangkaian percobaan, pengamatan, dan perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi mutakhir, telah mengungkapkan tanpa ragu bahwa alam semesta memiliki permulaan. Para ilmuwan telah memastikan bahwa alam semesta berada dalam keadaan yang terus mengembang. Dan mereka telah menyimpulkan bahwa, karena alam semesta mengembang, jika alam ini dapat bergerak mundur dalam waktu, alam semesta ini tentulah memulai pengembangannya dari sebuah titik tunggal. Sungguh, kesimpulan yang telah dicapai ilmu pengetahuan saat ini adalah alam semesta bermula dari ledakan titik tunggal ini. Ledakan ini disebut “Dentuman Besar” atau Big-bang.
CIPTAAN ALAM SEMESTA
DALAM ENAM MASA

http://misykatulanwar.files.wordpress.com/2008/11/puzzle_cook.jpg?w=300&h=148

”Apakah kamu lebih sulit penciptaanya ataukah langit? Allah telah membinanya {27} Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya {28} dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang {29} Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya {30} Ia memancarkan daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya {31} Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh {32} (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu {33}”
(Q.S. An-Nazi’at: 27-33)
Pembentukan alam semesta dalam enam masa, sebagaimana disebutkan Al-Qur’an atau kitab lainnya, sering menimbulkan permasalahan. Sebab, enam masa tersebut ditafsirkan berbeda-beda, mulai dari enam hari, enam periode, hingga enam tahapan. Oleh karena itu, pembahasan berikut mencoba menjelaskan maksud enam masa tersebut dari sudut pandang keilmuan, dengan mengacu pada beberapa ayat Al-Qur’an.
Dari sejumlah ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan enam masa, Surat An-Nazi’at ayat 27-33 di atas tampaknya dapat menjelaskan tahapan enam masa secara kronologis. Urutan masa tersebut sesuai dengan urutan ayatnya, sehingga kira-kira dapat diuraikan sebagai berikut:
1.   Masa I (ayat 27): penciptaan langit pertama kali
Pada Masa I, alam semesta pertama kali terbentuk dari ledakan besar yang disebut ”big bang”, kira-kira 13.7 milyar tahun lalu. Bukti dari teori ini ialah gelombang mikrokosmik di angkasa dan juga dari meteorit.
Awan debu (dukhan) yang terbentuk dari ledakan tersebut (gambar 1a), terdiri dari hidrogen. Hidrogen adalah unsur pertama yang terbentuk ketika dukhan berkondensasi sambil berputar dan memadat. Ketika temperatur dukhan mencapai 20 juta derajat celcius, terbentuklah helium dari reaksi inti sebagian atom hidrogen. Sebagian hidrogen yang lain berubah menjadi energi berupa pancaran sinar infra-red. Perubahan wujud hidrogen ini mengikuti persamaan E=mc2, besarnya energi yang dipancarkan sebanding dengan massa atom hidrogen yang berubah.
Selanjutnya, angin bintang menyembur dari kedua kutub dukhan, menyebar dan menghilangkan debu yang mengelilinginya. Sehingga, dukhan yang tersisa berupa piringan, yang kemudian membentuk galaksi (gambar 1b dan c). Bintang-bintang dan gas terbentuk dan mengisi bagian dalam galaksi, menghasilkan struktur filamen (lembaran) dan void (rongga). Jadi, alam semesta yang kita kenal sekarang bagaikan kapas, terdapat bagian yang kosong dan bagian yang terisi (gambar 1d).

http://misykatulanwar.files.wordpress.com/2008/07/dukhan.jpg?w=295&h=300
Gambar 1a) awan debu (dukhan) yang terbentuk akibat big bang
http://misykatulanwar.files.wordpress.com/2008/07/angin-bintang.jpg?w=300&h=240
Gambar 1b) hembusan angin bintang dari kedua kutubnya
http://misykatulanwar.files.wordpress.com/2008/07/piringan-galaksi.jpg?w=300&h=247
Gambar 1c) galaksi yang terbentuk dari piringan bintang-bintang dan gas-gas pembentuknya
http://misykatulanwar.files.wordpress.com/2008/07/struktur-alam-semesta.jpg?w=300&h=225
Gambar 1d) struktur filamen dari alam semesta yang bagaikan kapas
2.   Masa II (ayat 28): pengembangan dan penyempurnaan
Dalam ayat 28 di atas terdapat kata ”meninggikan bangunan” dan ”menyempurnakan”. Kata ”meninggikan bangunan” dianalogikan dengan alam semesta yang mengembang, sehingga galaksi-galaksi saling menjauh dan langit terlihat makin tinggi. Ibaratnya sebuah roti kismis yang semakin mengembang, dimana kismis tersebut dianggap sebagai galaksi. Jika roti tersebut mengembang maka kismis tersebut pun akan semakin menjauh (gambar 2).
http://misykatulanwar.files.wordpress.com/2008/07/model-roti-kismis.jpg?w=300&h=187
Gambar 2) model roti kismis untuk menggambarkan mengembangnya alam semesta

Mengembangnya alam semesta sebenarnya adalah kelanjutan big bang. Jadi, pada dasarnya big bang bukanlah ledakan dalam ruang, melainkan proses pengembangan alam semesta. Dengan menggunakan perhitungan efek doppler sederhana, dapat diperkirakan berapa lama alam ini telah mengembang, yaitu sekitar 13.7 miliar tahun.
Sedangkan kata ”menyempurnakan”, menunjukkan bahwa alam ini tidak serta merta terbentuk, melainkan dalam proses yang terus berlangsung. Misalnya kelahiran dan kematian bintang yang terus terjadi. Alam semesta ini dapat terus mengembang, atau kemungkinan lainnya akan mengerut.
3.   Masa III (ayat 29): pembentukan tata surya termasuk Bumi
http://misykatulanwar.files.wordpress.com/2008/07/reaksi-inti-matahari.jpg?w=236&h=237
Gambar 3) reaksi nuklir yang menjadi sumber energi bintang seperti Matahari
Surat An-Nazi’ayat 29 menyebutkan bahwa Allah menjadikan malam yang gelap gulita dan siang yang terang benderang. Ayat tersebut dapat ditafsirkan sebagai penciptaan matahari sebagai sumber cahaya dan Bumi yang berotasi, sehingga terjadi siang dan malam. Pembentukan tata surya diperkirakan seperti pembentukan bintang yang relatif kecil, kira-kira sebesar orbit Neptunus. Prosesnya sama seperti pembentukan galaksi seperti di atas, hanya ukurannya lebih kecil.
Seperti halnya matahari, sumber panas dan semua unsur yang ada di Bumi berasal dari reaksi nuklir dalam inti besinya (gambar 3). Lain halnya dengan Bulan. Bulan tidak mempunyai inti besi. Unsur kimianya pun mirip dengan kerak bumi. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, disimpulkan bahwa Bulan adalah bagian Bumi yang terlontar ketika Bumi masih lunak. Lontaran ini terjadi karena Bumi bertumbukan dengan suatu benda angkasa yang berukuran sangat besar (sekitar 1/3 ukuran Bumi). Jadi, unsur-unsur di Bulan berasal dari Bumi, bukan akibat reaksi nuklir pada Bulan itu sendiri.
4.   Masa IV (ayat 30): awal mula daratan di Bumi
Penghamparan yang disebutkan dalam ayat 30, dapat diartikan sebagai pembentukan superkontinen Pangaea di permukaan Bumi.  Masa III hingga Masa IV ini juga bersesuaian dengan Surat Fushshilat ayat 9 yang artinya, “Katakanlah: ‘Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya?’ (Yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam”.
http://misykatulanwar.files.wordpress.com/2008/07/pangaea.jpg?w=300&h=154
Gambar 4) daratan Pangaea yang merupakan asal mula semua daratan di Bumi
5.   Masa V (ayat 31): pengiriman air ke Bumi melalui komet
http://misykatulanwar.files.wordpress.com/2008/07/komet.jpg?w=300&h=267
Gambar 5) ilustrasi komet yang membawa unsur hidrogen sebagai pembentuk air di Bumi
Dari ayat 31 di atas, dapat diartikan bahwa di Bumi belum terdapat air ketika mula-mula terbentuk. Jadi, ayat ini menunjukan evolusi Bumi dari tidak ada air menjadi ada air.  Jadi, darimana datangnya air? Air diperkirakan berasal dari komet yang menumbuk Bumi ketika atmosfer Bumi masih sangat tipis. Unsur hidrogen yang dibawa komet kemudian bereaksi dengan unsur-unsur di Bumi dan membentuk uap air. Uap air ini kemudian turun sebagai hujan yang pertama. Bukti bahwa air berasal dari komet, adalah rasio Deuterium dan Hidrogen pada air laut, yang sama dengan rasio pada komet. Deuterium adalah unsur Hidrogen yang massanya lebih berat daripada Hidrogen pada umumnya.
Karena semua kehidupan berasal dari air, maka setelah air terbentuk, kehidupan pertama berupa tumbuhan bersel satu pun mulai muncul di dalam air.
6.   Masa VI (ayat 32-33): proses geologis serta lahirnya hewan dan manusia
http://misykatulanwar.files.wordpress.com/2008/07/gunung.jpg?w=300&h=206
Gambar 6) gunung sebagai pasak Bumi
Dalam ayat 32 di atas, disebutkan ”…gunung-gunung dipancangkan dengan teguh.” Artinya, gunung-gunung terbentuk setelah penciptaan daratan, pembentukan air dan munculnya tumbuhan pertama. Gunung-gunung terbentuk dari interaksi antar lempeng ketika superkontinen Pangaea mulai terpecah. Proses detail terbentuknya gunung dapat dilihat pada artikel sebelumnya yang ditulis oleh Dr.Eng. Ir. Teuku Abdullah Sanny, M.Sc tentang fungsi gunung sebagai pasak bumi.
Kemudian, setelah gunung mulai terbentuk, terciptalah hewan dan akhirnya manusia sebagaimana disebutkan dalam ayat 33 di atas. Jadi, usia manusia relatif masih sangat muda dalam skala waktu geologi.
Jika diurutkan dari Masa III hingga Masa VI, maka empat masa tersebut dapat dikorelasikan dengan empat masa dalam Surat Fushshilat ayat 10 yang berbunyi,
Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya”. Demikianlah penafsiran enam masa penciptaan alam dalam Al-Qur’an, sejak kemunculan alam semesta hingga terciptanya manusia. Wallahu a’lam bisshowab.

PROSES PERKEMBANGAN POLA PIKIR MANUSIA


A.  Latar Belakang.
Manusia sebagai mahluk yang berpikir dibekali rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu inilah yang mendorong untuk mengenal, memahami dan menjelaskan gejala-gejala alam, serta berusaha untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Dari dorongan rasa ingin tahu dan usaha untuk memahami dan memecahkan masalah menyebabkan manusia dapat mengumpulkan pengetahuan.
Pengetahuan yang diperoleh mula-mula terbatas pada hasil pengamatan terhadap gejala alam yang ada, kemudian semakin bertambah dengan pengetahuan yang diperoleh dari hasil pemikirannya. Kemudian pengetahuan yang didapatnya, terus dikembangkan sehingga manusia sampai saat ini terus berkembang dan akhirnya manusia dapat menciptakan beberapa benda untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Maka dari itu di sini kami akan menjelaskan proses berkembangnya pola pikir manusia yang terus berkembang dari zaman ke zaman, dari dahulu sampai sekarang..
B.  Proses Perkembnagan Pola Pikir
Sejak lahirnya di muka bumi ini, manusia bersentuhan dengan alam. Persentuhan dengan alam menimbulkan pengalaman. Alam memberikan rangsangan kepada manusia melalui pancaindera. Jadi, pancaindera merupakan alat komunikasi antara alam dengan manusia yang membuahkan pengalaman. Pengalaman itu saat demi saat bertambah, karena manusia ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang hakiki; apa, bagaimana, dan mengapa, baik atas kehadirannya di dunia ini, maupun atas segala benda yang telah mengadakan kontak dengan dirinya.
Perkembangan pola pikir manusia ini dari zaman ke zaman terus berubah bahkan bertambah, karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya : 1) Rasa  Ingin Tahu; Ilmu pengetahuan alam bermula dari rasa ingin tahu, yang merupakan suatu ciri khas manusia. Manusia mempunyai rasa ingin tahu tentang benda-benda di alam sekitarnya, bulan, bintang, dan matahari, bahkan ingin tahu tentang dirinya sendiri (antroposentris).         
Manusia sebagai mahluk, mempunyai ciri-ciri : a) Memiliki organ tubuh yang kompleks dan sangat khusus terutama otaknya. b) Mengadakan pertukaran zat, yakni adanya zat yang masuk dan keluar. c) Memberikan tanggapan terhadap  rangsangan dari dalam dan dari luar. c) Memiliki potensi berkembang biak. d)Tumbuh dan bergerak. e) Berinteraksi dengan lingkungannya,  Mati.
Sesuai dengan ciri manusia pada poin (1), yakni manusia mempunyai otak, maka manusia mulai tumbuh rasa ingin tahunya, rasa ingin tahu ini tidak dimiliki oleh mahluk lain, seperti batu, tanah, sungai dan angin. Sedangkan air dan udara bergerak dari satu tempat ke tempat lain, namun gerakannya itu bukanlah atas kehendaknya sendiri, tetapi akibat dari pengaruh ilmiah yang bersifat kekal.
Bagaimana halnya dengan mahluk-mahluk seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang? Misalnya daun-daun cenderung mencari sinar matahari atau akar yang cenderung mencari air yang kaya mineral untuk pertumbuhan hidupnya. Kecenderungan semacam ini terus berlangsung sepanjang zaman. Bagaimana halnya dengan binatang yang menunjukkan adanya kehendak untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain? Misalnya burung. Burung bergerak dari satu tempat ke tempat lain didorong oleh suatu keinginan, rasa ingin tahu. Ingin tahu apakah sutau tempat cukup aman untuk membuat sarang?. Setelah mengadakan eksplorasi, tentu mereka jadi tahu. Itulah pengetahuan dari burung tadi. Burung juga memiliki pengetahuan untuk membuat sarang di atas pohon.
Bagaimana halnya dengan manusia?. Manusia juga memiliki insting seperti yang dimiliki oleh hewan dan tumbuh-tumbuhan. Namun manusia memiliki kelebihan yaitu adanya kemampuan berfikir. Dengan kata lain, curiosity-nya tidak idle. Tidak tetap sepanjang zaman. Manusia memiliki rasa ingin tahu yang berkembang, atau kemampuan berfikir. Setelah tahu tentang apanya, mereka ingin tahu bagaiman dan mengapa begitu.
Manusia mampu menggunakan pengetahuannya yang terdahulu untuk dikombinasikan dengan pengetahuannya yang baru, sehingga menjadi suatu akumulasi pengetahuan. Rasa ingin tahu manusia ini menyebabkan pengetahuan mereka menjadi berkembang. Hal ini tidak saja meliputi kebutuhan-kebutuhan praktis untuk hidupnya sehari-hari, seperti bercocok tanam atau membuat panah atau lembing untuk berburu, tetapi juga berkembang sampai pada hal-hal yang menyangkut keindahan.
Rasa ingin tahu semacam ini tidak dimiliki oleh hewan. Rasa ingin tahu pada hewan hanya terbatas pada rasa ingin tahu yang tetap. Yang tidak berubah dari zaman ke zaman. Hewan bergerak dari satu tempat ke tempat lain hanya didorong oleh rasa ingin tahunya yang bersangkutan erat dengan nalurinya saja.
Dengan selalu berlangsungnya perkembangan pengetahuan itu tampak lebih nyata bahwa manusia berbeda dengan hewan. Manusia merupakan mahluk hidup yang berakal serta mempunyai derajat yang tertinggi bila dibandingkan dengan hewan atau mahluk lainnya.
Mitos Perkembangan selanjutnya adalah manusia berusaha memenuhi kebeutuhan non fisik atau kebutuhan alam pikirannya. Rasa ingin tahu manusia ternyata tidak dapat terpuaskan hanya atas dasar pengamatan maupun pengalamannya. Untuk itulah, manusia mereka-reka sendiri jawaban atas keingintahuannya itu. Sebagai contoh, “mengapa gunung meletus?”, karena tak tahu jawabannya, manusia mereka-reka sendiri dengan jawaban “si penunggu gunung itu sedang marah”.
Di sinilah muncul pengetahuan baru yang disebut “si penunggu”. Dengan menggunakan jalan pikiran yang sama, muncullah anggapan adanya “si penunggu”. Pengetahuan baru yang bermunculan dan kepercayaan itulah yang kita sebut mitos. Cerita yang berdasarkan atas mitos disebut legenda. Mitos timbul disebabkan antara lain oleh keterbatasan alat indera manusia.
Alat penglihatan. Banyak benda yang bergerak begitu cepat sehingga tak tampak jelas oleh mata. Mata tak dapat membedakan benda-benda. Demikian juga jika benda yang dilihat terlalu jauh, maka mata tak mampu melihatnya. Alat Pendengaran Pendengaran manusia terbatas pada getaran yang mempunyai frekuensi dari 30 sampai 30.000 per detik. Getaran di bawah tiga puluh atau di atas tiga puluh puluh ribu per detik tak terdengar.
Alat pencium dan Pengecap Bau dan rasa tidak dapat memastikan benda yang dikecap maupun diciumnya. Manusia hanya dapat membedakan 4 jenis rasa, yaitu rasa manis, asam, asin dan pahit. Sedangkan untuk bau sendiri juga manusia tidak dapat menciumnya dengan seluruhnya. Seperti bau parfum dan lainnya dapat tercium oleh hidung kita bila konsentrasinya di udara lebih dari sepersepuluh juta bagian. Melalui bau, manusia dapat membedakan satu benda dengan benda yang lain.
Alat Perasa, Alat perasa pada kulit manusia dapat membedakan panas atau dingin. Namun, ini sangat relatif sehingga tidak dapat dipakai sebagai alat observasi yang tepat. Alat-alat indera tersebut berbeda-beda di antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Ada yang sangat tajam dan adapula yang tidak. Akibat keterbatasan alat indera tersebut, maka besar kemungkinan timbul salah inform,asi, salah tafsir atau salah pemikiran. Untuk meningkatkan alat indera tersebut perlu diperlukan beberapa usaha. Di antaranya penciptaan alat bantu pancaindera, meskipun alat yang diciptakan tersebut masih mengalami kesalahan. Jadi, mitos itu dapat diterima oleh masyarakat pada masa itu karena: 1) Keterbatasan pengetahuan yang disebabkan keterbatasan pengindraan baik langsung maupun dengan alat. 2) Keterbatasan penalaran manusia pada masa itu. 3) Hasrat ingin tahunya terpenuhi. Menurut Auguste Comte (1798-1857 M), dalam sejarah perkembangan jiwa manusia, baik sebagai individu maupun sebagai keseluruhan, berlangsung dalam tiga tahap: a. Tahap teologi atau fiktif b. Tahap filsafat atau metafisik atau abstrak c. Tahap positif atau ilmiah riil
Pada tahap teologi atau fiktif, manusia berusaha untuk mencari dan menemukan sebab yang pertama dan tujuan yang terakhir dari segala sesuatu, dan selalu dihubungkan dengan kekuaatan gaib. Gejala alam yang menarik perhatiannya selalu diletakkan dalam kaitannya dengan sumber yang mutlak. Mempunyai anggapan bahwa setiap gejala dan peristiwa dikuasai dan diatur oleh para dewa atau kekuatan gaib lainnya.
Tahap metafisika atau abstrak merupakan tahap di mana manusia masih tetap mencari sebab utama dan tujuan akhir, tetapi manusia tidak lagi menyandarkan diri kepada kepercayaan akan adanya kekuatan gaib, melainkan pada akalnya sendiri, akal yang telah mampu melakukan abstraksi guna menemukan hakikat segala sesuatu. Tahap positif atau riil merupakan tahap di mana manusia telah       mampu berfikir secara positif atau riil, atas    dasar pengetahuan yang telah dicapainya yang dikembangkan secara positif melalui pengamatan,        percobaan dan perbandingan. Selanjutnya  berdasarkan  kemampuan  berfikir  manusia  yang  semakin     maju dan perlengkapan pengamatan yang semakin sempurna, maka mitos           dengan berbagai legenda semakin ditinggalkan orang, dan cenderung menggunakan akal sehat atau rasio.
C.  Tahapan Pemikiran Manusia.
Bagaimana sesungguhnya proses berfikir pada manusia?  Jika kita   telah lebih lanjut akan kita dapati bahwa   untuk   dapat        berfikir       membutuhkan beberapa komponen,   diantaranya : 1) Fakta, manusia membutuhkan fakta yang akan dijadikan objek  berfikirnya. 2.Indera, untuk dapat menyerap fakta-fakta yang akan dipikirkan. Seperti mata untuk dapat melihat, meraba, pendengaran, dan indera  yang lainnya. 3. Otak, merupakan organ yang berfungsi untuk menterjemahkan setiap  fakta yang diserap. 4.Informasi Sebelumnya, tanpa informasi manusia tidak dapat untuk  memahami fakta yang sedang dihadapinya. Adapun perkembangan alam pikiran manusia sampai dengan kelahiran Ilmu Pengetahuan Alam sebagai ilmu yang mantap  melalui  4 tahap, yaitu : a. Tahap mitos. b. Tahap penalaran. c.  Tahap pengalaman dari percobaan. d.  Tahap metode keilmuan.
Kesimpulan
Adapun faktor yang mempengaruhi perkembangan pola piker manusia diantaranya karena rasa ingin tahu dan juga adanya mitos Yang membedakan antara manusia dengan hewan yakni pola berpikirnya.  Setelah manusia tahu apa, maka manusia akan mencari tahu tentang mengapa, bagaimana dan seterusnya hingga mereka merasa puas. Tetapi untuk hewan tidak punya pola pikir yang seperti itu. Mitos timbul disebabkan karena keterbatasan alat indera, diantaranya : Indera penglihatan; Indera pendengaran ; Indera pencium dan pengecap  Indera perasa Mitos itu dapat diterima oleh masyarakat pada masa itu karrena: Keterbatasan pengetahuan yang disebabkan keterbatasan  pengindraan baik langsung maupun dengan alat.  Keterbatasan penalaran manusia pada masa itu.  Hasrat ingin tahunya terpenuhi. Beberapa komponen yang diperlukan untuk mengembangkan pola pikir manusia, yakni : Fakta.Indera Otak Informasisebelumnya.

SILABUS MATA KULIAH IAD,ISBD

- Tidak ada komentar
Kompetensi Kelompok Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB)
Standar kompeterisi kelompok MBB yang harus dikuasai mahasiswa meliputi berpikir kritis,
kreatif sistemik dan ilmiah, berwawasan luas; etis, estetis; memiliki apresiasi kepekaan dan
empati sosial, bersikap demokratis, berkeadaban, dan menjunjung tinggi ni!ai kemampuan;
memiliki kepedulian terhadap pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup, mempunyai
wawasan tentang perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni serta dapat ikut berperan
mencari solusi pemecahan rnasalah sosial, budava dan Iingkungan hidup secara arif.
Kompetensi dasar untuk masing-masing bidang dirurnuskan sebagai berikut:
(I) Ilmu Sosial dan Budava Dasar (ISBD)
Menjadi ilmuwan dan profeosional yrng berpikir kritis. kreatif, sistemik dan ilmiah,
berwawasan luas; etis, memiliki; kepekaan dan empati sosial. bersikap demokratis,
berkeadaban serta dapat ikut berperan mencari solusi pemecahan masalah sosial dan budaya
secara arif.
(2) Ilmu Kealaman Dasar (lAD)
Menjadi ilmuwan dan professional yang berpikir kritis. kreatif, sistemik dan ilmiah.
benvawasan luas; etis, estetis serta memiliki kepedulian terhadap pelestarian sumberdaya
alam dan lingkungan hidup, serta mempunya wawasan tentang perkembangan ilmu
pengetahuan, dan teknologi serta dapat ikut berperan mencari solusi pemecahan masa1ah
lingkungan hidup secara arif.
Pasal 4
Pokok-pokok Substansi Kajian Kelompok Mataku1iah Berkehidupan Bermasyarak.at
(MBB)
I. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) memiliki substansi kajian sebagai berikut.
1. Pengantar ISBD
a. Hakikat dan ruang lingkup ISBD
— b. ISBD sebagai MBB dan pendidikan umum
c. ISBD sebagai altematif pemecahan masalah sosial budaya
2. Manusia Sebagai Makhluk Budaya
a. Hakikat manusia sebac’ai makhluk budava
b. Apresiasi terhadap kemanusiaan dan kebudayaan
c. Etika dan estetika berbudaya
d. Memanusiakan manusia melalui pemahaman konsep-konsep dasar manusia
e. Problematika kebudayaan
3. Manusia Sebagai Individu dan Makhluk Sosial
a. Hakikat manusia sebagai individu dan makhluk sosial
b. Fungsi dan peran manusia sebagai individu dan makhluk sosial
c. Dinamika interaksi sosial
d. Dilema antara kepentingan individu dan kepentingan masvarakat
3
4. Manusia dan Peradaban
a Hakikat peradaban
b. Manusia sebagai makhluk beradab dan masyarakat adab
c. Evolusi budaya dan wujud peradaban dalam kehidupan social budaya
d. Dinamika peradaban global
e. Problematika peradaban pada kehidupan manusia
5. Manusia, Keragaman dan Kesetaraan
a Hakikat keragaman dan kesetaraan manusia
b. Kemajemukan dalam dinamika sosial dan budava
c. Keragaman dan kesetaraan scbagai kekayaan sosial budava bangsa
d. Problematika keragaman dan kesetaraan serta solusinya dalam kehidupan masvarakat dan
negara
6. Manusia. Nilai, Moral dan Hukum
a. Hakikat. fungsi, dan perwujudan nilal, moral dan hukum dalam kehidupan manusia.
masyarakat dan negara
b. Keadilan ketertiban dan kesejahteraan sebagai wujud masyarakat yang bermoral dan
mentaati hukum
c. Problematika nilai, moral dan hukum dalam masyarakat dan negara
7. Manusia. Sains; Teknologi dan Seni
a. Hakikat dan makna sains, teknologi dan seni bagi manusia
b. Dampak penyalahgunaan IPTEKS pada kehidupan sosial dan budaya
c. Problematika pemanfaatan IPTEKS di Indonesia
8. Manusia dan Lingkungan
a. Hakikat dan makna lingkungan bagi manusia
b. Kualitas penduduk dan lingkungan terhadap kesejahteraan manusia
c. Problematika lingkungan sosial budava yang dhadapi masyarakat
d. Isu-isu penting tentang persoalan lintas budava dan bangsa
II. Ilmu Kealaman Dasar (lAD) memiliki substansi kajian sebagai berikut.
1. Pengantar IAD
a. Hakikat dan ruang lingkup IAD
b. IAD sebagai bagian dan MBB
2. Alam Pikiran Manusia dan Perkembangannya
a. Hakikat manusia dan sifat keingintahuannva
b. Perkembangan fisik, sifat dan pikiran manusia
c. Sejarah pengetahuan manusia
3.Perkembangan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Alam
a. Metode ilmiah sebagal dasar IPA
b. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
c. Ruang lingkup IPA dan pengembangannya
4. Bumi dalam Alam Semesta
a. Pembentukan alam semesta dan tata surya
b. Bumi sebagai planet
c. Struktur bumi
d. Pembentukan benua dan samudra
4
5.Keanekaragaman Makhluk Hidup dan Persebarannya
a Biosfer dan makhluk hidup
b. Asal mula kehidupan di bumi
c. Keanekaragaman makhluk hidup
d. Persebaran dan sejarah perkembangan makhluk hidup
6. Makhluk Hidup dalam Ekosistem Alami
a. Populasi dan komunitas makhluk hidup
b. Berbagai bentuk ekosistem alami
c. Aliran energi dan materi dalam ekosistem alami
d. Macam-macam bentuk pola kehidupan
7. Sumberdava Alam dan Lingkungan
a. Kiasifikasi sumberdava alam dan lingkungan hidup
b. Konsep-konsep pengelolaan sumberdaya alam
c. Masalah kependudukan dan lingkungan hidup
d. Prinsip dan usaha pelestarian sumberdava alam dan lingkungan hidup
8. Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknologi bagi Kehidupan Manusia
a IPA sebagal dasar pengembangan teknologi
b. Sejarah peradaban manusia dan perkembangan teknologi
c. Manfaat dan dampak IPA & teknologi terhadap kehidupan sosial
d. IPA dan teknologi masa depan
9. Beberapa Perkembangan Teknologi Penting
a. Bioteknologi
b. Teknologi Informasi
c. Teknologi Keai~fan Lokal
10. Isu Lingknngan
a. Isu lingkungan global
b. Isu lingkungan nasional
c. Isu U~gkungan local
d. Studi kasus

PENULISAN TIU

- 1 komentar

Penulisan Tujuan Instruksional Umum (TIU)

Baik menurut model Kemp maupun model Dlek & Carey, maka penentuan tujuan instruksional umum merupakan langkah pertama di dalam penyusunan disain instruksional. Adalah benar bahwa di dalam mengajarkan suatu mata kuliah, bidang studi atau bagian-bagiannya seperti unit perkuliahan atau unit bidang studi, sebagai langkah pertama adalah mengidentifikasi tujuan instruksional umum. Bahkan di dalam mengajarkan modul sebagai unit pelajaran yang kecil pun menurut Dick & Carey (1978, h. 13), iden¬tifikasi tujuan instruksional umum merupakan langkah pertama.
Di mana dapat kita dapatkan sumber untuk menentukan tujuan in-struksional umum tersebut ? Beberapa sumber untuk ini ialah:
1. Kurikulum lembaga pendidikan yang bersangkutan. Di dalam Kurikulum 1975 dari SD sampai SLTA, kita dapat mengetahui tujuan instruksional untuk masing-masing bidang studi. Tidak hanya tujuan instruksional, bahkan tujuan kurikuler dan tujuan in¬struksional pun tercantum di dalam SK Menteri P & K No. 08/U/1975 yang mengatur tentang kurikulum tersebut.
2. Pendapat ahli bidang studi. Di dalam berbagai bidang studi, para ahli bidang studi yang bersangkutan telah banyak mengemukakan pendapatnya mengenai tujuan di dalam mempelajari suatu bidang studi.
3. Hasil analisis tugas. Dengan menganalisis orang-orang yang melakukan tugas atau pekerjaan dalam bidang tertentu, akan didapatkan apakah sebenarnya tujuan instruksional di dalam mempelajari bidang tersebut.
4. Hasil observasi. Dengan mengamati secara teliti apa yang dikerjakan oleh seseorang di dalam tugas tertentu, kita akan memperoleh informasi mengenai tujuan yang harus dicapai di dalam mempelajari bidang tersebut.
Bagi lembaga pendidikan atau sekolah yang telah memiliki kurikulum yang lengkap dengan perumusan tujuan institusional, tujuan kurikuler dan tujuan instruksional, adalah mudah bagi penyusunan disain instruksional untuk mengembangkan lebih lanjut. Meski pada umumnya apa yang tercantum di dalam kurikulum tersebut masih bersifat terlalu umum (luas), namun ia dapat dipakai sebagai pedoman. Tetapi, bagi lembaga pendidikan yang belum mempunyai petunjuk lengkap mengenai penjabaran kurikulumnya, adalah perlu bagi para tenaga pengajar atau pengembang sistem pengajaran di lem¬baga tersebut memiliki ketrampilan di dalam merumuskan tujuan in¬struksional.
Di Indonesia hal ini banyak terjadi di Perguruan Tinggi. Perhatian un¬tuk menyusun silabi perkuliahan terasa masih kurang. Terlebih bila se-ring terjadi perubahan kurikulum, maka kegiatan penyusunan silabi yang isinya antara lain berupa perumusan tujuan instruksional umum menjadi terlantar.
Sub bab ini dimaksudkan untuk memberikan kepada pembaca secara garis besar mengenai konsep tujuan instruksional dan bagaimana cara mengidentifikasinya.
Konsep
Tujuan Instruksional Umum di sini dimaksudkan terjemahan dari istilah instructional goal, untuk membedakannya dengan istilah tujuan instruksional khusus (terjemahan dari instructional objectives) .
Apakah yang dimaksudkan dengan Tujuan Instruksional Umum (TIU)?
1. Di dalam SK Menteri P & K No. 8/U/1975, Tujuan Instruksional
Umum (TIU) diartikan sebagai "tujuan-tujuan yang pencapaiannya dibebankan kepada program pengajaran sesuatu bidang pelajaran" .
2. Menurut Gene E. Hall & Howard L. Jones (1976 H. 28). Tujuan Instruksional Umum adalah pernyataan umum mengenai hasil suatu program pengajaran.
3. Menurut Dlek & Carey (1978, h. 14), Tujuan Instruksional Umum adalah suatu pemyataan yang menjelaskan mengenai kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa setelah mereka selesai mengikuti suatu pengajar.
4. Menurut Briggs (1979, p.54), tujuan instruksional umum didefinisikan sebagai pernyataan umum mengenai tujuan akhir dari setiap program pengajaran.
Apakah yang bisa kita simpulkan dari keempat definisi tersebut? Pertama ialah bahwa TIU senantiasa mempunyai arti sebagai hasil belajar siswa setelah selesai belajar, bukan berkenaan dengan apa yang dikerjakan oleh guru. Kedua, TIU senantiasa dirumuskan dalam bentuk pernyataan yang bersifat umum.
Sesuai dengan namanya TIU merupakan pernyataan umum mengenai hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh siswa setelah mengikuti suatu program pengajaran. Seberapa jauh “umum” suatu TIU bila dibandingkan dengan tujuan yang lebih bersifat khusus? Dalam hal ini ada beberapa pandangan:
1. Kurikulum 1975, memberi sifat umum TIU lebih didasarkan atas kata kerja yang digunakan untuk merumuskan tujuan instruksional tersebut. Misalnya TIU bidang studi PMP menurut GBPP II B.
Tujuan Kurikuler Tujuan Instruksional
2.3 Siswa mengetahui dan memahami serta dapat melaksanakan kewajiban dan hak yang harus dilakukan dalam kehidupan masyarakat. 2.3.1 Siswa mengetahui dan memahami hak dan kewajiban yang harus dilakukan dalam masyarakat.
2.3.2 Siswa menyadari dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat.

Di dalam contoh tersebut kata-kata “memahami”, “menyadari” dipakai sebagai tanda bahwa perumusan tujuan tersebut bersifat umum. Namun kadang-kadang juga tidak konsisten. Sebab, di dalam perumusan yang dikatakan sebagai bersifat umum tersebut telah pula digunakan kata-kata “dapat melaksanakan” yang kiranya termasuk kategori kata kerja yang bersifat khusus, bersifat operasional, dapat diukur dan diamati hasilnya. Berbeda dengan kata-kata “memahami” yang diklasifikasikan sebagai bersifat umum, tidak operasional, tidak bisa diamati dan diukur hasilnya.
Juga kalau dikatakan bahwa TIU merupakan penjabaran dari tujuan kurikuler, maka sifat penjabarannya kurang jelas. Perumusan 2.3 dengan 2.3.1 dan 2.3.2 tidaklah secara tegas merupakan hubungan yang bersifat penjabaran. Dengan demikian sebenarnya agak sukar menurut GBPP tersebut membedakan tujuan kurikuler dengan tujuan instruksional umum.
2. Luas lingkup materi ada pendapat yang menggunakan luas lingkup materi untuk menunjukkan sifat umumnya tujuan instruksional. Sebagai contoh adalah pendapat Ely (1979, h.1). Ia mengatakan bahwa tujuan instruksional umum adalah deskripsi umum mengenai maksud suatu program pengajaran yang meliputi suatu mata kuliah atau suatu unit perkuliahan. Menurut batasan ini, perumusan yang berbunyi “Agar mahasiswa memiliki ketrampilan di dalam menyusun satuan pelajaran menurut model PPSI” bagi mahasiswa yang menempuh mata kuliah metodik, adalah termasuk TIU meski kata kerja yang digunakan “memiliki ketrampilan menyusun” sudah bersifat operasionla, dapat diamati dan diukur hasilnya.
Sifat “keumumannya” adalah terletak pada materi pelajaran yang tercakup di dalamnya. Materi yang tercakup di dalam “penyusunan satuan pelajaran” adalah luas. Kegiatan tersebut meliputi merumuskan TIK, menyusun alat evaluasi, menentukan materi, metode, media, alat, dan seterusnya.
Karena sifatnya yang umum tersebut maka TIU masih bisa dijabarkan menjadi tujuan yang bersifat khusus. Istilah untuk ini adalah Tujuan Instruksional Khusus (TIK) terjemahan dari “instructional objectives”. Hal ini sesuai dengan pendapat Gene E. Hall & Howard L. Jones (1976, h. 28-29) yang menyatakan bahwa “TIU dapat dijabarkan menjadi kompetensi, kompetensi dijabarkan menjadi sub kompetensi dan sub kompetensi dijabarkan menjadi TIK”.
Istilah “Umum” tersebut kiranya lebih tepat kalau untuk menunjukkan sifat “luasnya materi” yang tercakup di dalam perumusan tersebut, bukan menunjuk kepada kata kerja yang digunakan seperti yang lazim terdapat pada Kurikulum 1975. kata “menyadari” misalnya adalah sukar untuk diamati dan diukur.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan di dalam menentukan TIU:
1. Kebutuhan untuk mengajarkan TIU tersebut, pentingkah TIU tersebut diajarkan kepada siswa ?
2. Ahli dalam bidang yang akan diajarkan. Bila penyusun disain instruksional sekaligus sebagai ahli bidang studi yang bersangkutan, maka tak akan terjadi kesulitan. Bila penyusun disain instruksional bukan merupakan ahli bidang studi yang disusunnya, maka ia perlu bekerja sama dengan ahu bidang yang bersangkutan untuk memperoleh kebenaran ilmu bidang studi tersebut. Pada perguruan tinggi, biasanya banyak ahli-ahli bidang studi. Hal ini bisa diadakan kerja sama di dalam penyu¬sunan disain instruksional.
3. Materi pelajaran. Apakah materi yang diajarkan bersifat stabil, bertahan sampai beberapa tahun ? Bila tidak, maka tidak perlu disusun TIU untuk diajarkan. Hal ini untuk mencegah pemborosan waktu, tenaga dan biaya.
4. Jenis kemampuan atau tingkah laku sebagai indikator tercapainya TIU. Pertama-tama, perlu diperhatikan bahwa kemampuan atau tingkah laku yang siswa diharapkan dapat memilikinya adalah penting. Kedua, bahwa kemampuan atau tingkah laku yang akan diajarkan tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang tersedia. Tidak terlalu sedikit, tapi juga tidak terlalu banyak memakan waktu. Ketiga, bahwa kemampuan atau tingkah laku tersebut tidak terlalu luas dan rumit.
5. Siswa dan kesulitan yang pernah dihadapi. Adakah siswa yang akan mempelajari TIU tersebut? Di negara-negara yang menganut sistem kurikulum bersifat terbuka, artinya siswa boleh memilih bidang studi atau mata kuliah yang disu¬kainya, memang parlu diperhatikan apakah TIU yang disusun ada siswanya atau tidak.
Di Indonesia, di mana kebanyakan dianut sistem kurikulum yang -telah pasti pada setiap lembaga pendidikan, kiranya tak ada persoalan mengenai ada tidaknya siswa. Siswa atau mahasiswa selalu ada, dan mereka wajib mempelajari semua bidang studi yang telah ditentukan. Yang perlu diperhatikan adalah pengembangan kurikulum itu sendiri secara lebih sempuma. Di sini yang penting ialah bagian-bagian bidang studi yang siswa mengalami kesulitan di dalam mempelajarinya.
Guru atau dosen yang berpengalaman akan dapat mengidentifikasi konsep, prinsip, atau problem-problem tertentu yang sukar dipelajari oleh siswa.
Dari lima hal yang perlu diperhatikan di dalam menentukan TI, tiga di antaanya adalah yang teramat penting yakni (1) luas materi, (2) ahli bidang studi, (3) siswa. Oleh karena itu, Dick & Carey (1978, h.17) menyarankan bahwa sebelum memilih dan menentukan TIU, maka perlu diperhatikan bahwa telah tersedia:
(1) Ahli bidang studi yang akan diajarkan.
(2) Siswa yang akan mempelajarinya.
(3) Materi pelajaran yang sesuai dengan waktu yang tersedia.
Kriteria TIU yang baik.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk menyusun dan menilai TIU: (1) Apakah di dalam merumuskan TIU digunakan kata-kata kerja yang menunjukkan tingkah laku yang harus dilakukan oleh siswa? (2)Apakah TIU tersebut terlalu luas, terlalu sedikit atau cukup sesuai dengan waktu yang tersedia dan kebutuhan siswa? (3) Apakah TIU tersebut jelas atau kabur?
Berdasarkan kriteria tersebut, maka perumusan TIU yang baik hendaknya menjelaskan tingkah laku yang orang lain bisa mengamati terhadap apa yang dilakukan siswa. Tingkah laku sebagai hasil belajar ini hendaknya bisa diukur dan diamati. Tingkah laku ini hendaknya bisa dipergunakan sebagai bukti bahwa TIU telah tercapai. Dengan kata lain, perumusan TIU tersebut, baik lisan maupun tertulis, dapat dinilai, dan keputusan dapat diambil mengenai tercapai tidaknya tujuan yang dimaksud.
Perumusan TIU yang tidak menunjukkan tingkah laku dan tidak bisa diamati akan membawa kesulitan di dalam pengukurannya. Karena itu yang demikian ini perlu dihindarkan. Contoh “Agar siswa dapat menikmati lukisan batik modern” atau “agar siswa menyadari pentingnya demokrasi” adalah sukar diamati dan sukar diukur.
Waktu yang diperlukan bagi guru untuk menyiapkan rencana pengajaran, dan bagi siswa untuk mempelajari dan mencapai TIU tersebut dapat dipergunakan untuk mempertimbangkan apakah suatu TIU terlalu luas, terlalu sedikit atau cukup.
Unit pengajaran yang terlalu luas atau banyak akan menyulitkan siswa. Unit pengajaran yang terlalu sediki dan terlalu ringan akan kurang memberikan tantangan kepada siswa. Oleh karena itu, pemilihan unit pengajaran yang sesuai dengan waktu yang tersedia adalah penting sekali.
Maksud atau isi TIU hendaknya jelas, tidak kabur. Unit atau topik yang menggambarkan dengan jelas mengenai isi ataupun ketrampilan yang dipelajari akan memudahkan siswa di dalam mempelajarinya.
Ada bidang-bidang studi yang TIU-nya mudah dirumuskan, misalnya” ketrampilan teknik, matematika. Sementara itu ada pula bidang studi yang sukar utuk dirumuskan TIU-nya misalnya: filsafat, agama.
Kesimpulan dari uraian di atas ialah bahwa banyak faktor yang perlu dipertimbangkan di dalam menilai apakah TIU untuk suatu unit pengajaran dapat tepat untuk sekelompok siswa tertentu. Faktor-faktor itu antara lain: waktu yang tersedia, sistematika materi, macam kegiatan belajar, karaktristik siswa dan sebagainya.
Penulisan Tujuan Instruksional Khusus
Penulisan Tujuan Instruksionai Khusus (TIK) merupakan langkah yang sangat penting dalam proses penyusunan disain instruksional. Sebab TIK ini: menentukan dengan tepat apakah ketrampilan, penge¬tahuan dan sikap yang harus dimiliki oleh siswa setelah mengikuti suatu pelajaran. Para guru/pendidik tak ayal lagi, perlu memiliki ketrampilan dalam penulisan TIK ini. Namun lebih penting lagi ialah melaksanakan dengan tepat TIK yang telah dirumuskan. Uraian berikut diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan ketrampilan para guru, dosen ataupun pendidik lainnya tentang penulisan TIK yang tepat.
1. Istilah
Sehari-hari kita mengenal istilah-istilah seperti tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan instruksional umum, dan tujuan instruk¬sional khusus. Ely (1979, h.3) membedakan tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus ditinjau dari segi "spesifik tidaknya tujuan itu dirumuskan".
TIU menjelaskan kemampuan, ketrampilan, dan pengetahuan yang bersifat umum dan luas, sedang TIK menjelaskan tingkah laku khusus atau spesifik yang perlu dimiliki oleh siswa setelah belajar. Kita mengenal juga istilah course aims, course goals, educational outcomes, learning outcomes, learning objectives, instructional objectives, behavioral objectives, instructional product, etc.
2. Definisi
Pendapat lama dalam memberikan pengertian istilah-istilah tersebut di atas ada yang meninjau dari segi kegiatan guru. Misalnya ada yang merumuskan tujuan instruksional dengan kalimat "untuk mengajarkan hukum bejana berhubungan". Perumusan yang demikian disebut "teacher centered".
Menurut pendapat sekarang, apa yang dirumuskan di dalam tujuan instruksional adalah hasil belajar siswa, bukan apa yang akan diker¬jakan oleh guru di dalam kegiatan mengajar. Perumusan yang demikian disebut "learner centered". Beberapa definisi mengenai tujuan instruksional adalah sebagai berikut:
a. The instructional goal is a statement that deseribes what it is that student will be able to do after they have completed instruction . (Dlek & Carey, 1978, p. 14).
b. Objectives are goals for, or desired outcomes of, and are expres-sed in terms of observable behavior or performance of the learner (Merrill, 1971,-p. 1).
c. Course aims describe the intended outcomes a course, usually in terms of what a student is expected to be able to do as a result of studying that course (Hall, 1975, p. 9).

Dari contoh-contoh definisi tersebut di atas, jelas bahwa yang di-maksud dengan tujuan instruksional adalah kemampuan atau ketrampilan yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa setelah meng-adakan kegiatan belajar.
Tujuan instruksional yang lebih bersitat khusus (spesific) disebut juga "objectives" atau "behavioral objectives" karena seperti dikatakan Kemp "belajar menghendaki usaha yang aktif dari siswa, oleh karena itu semua objectives harus dinyatakan dalam bentuk tingkah laku" (1971, p. 19). Kita menggunakan istilah Tujuan In¬struksional Khusus (TIK) untuk "behavioral objectives" tersebut. Tingkah laku siswa ada yang dapat dilihat, dan diukur (overt-beha¬vior), ada pula yang tak tampak dan tak bisa diukur (covert-behavior).
Diskusi tentang tujuan instruksional lebih menitikberatkan pada tingkah laku yang bisa diamati dan diukur (overt-behavior).
3. Tingkat-tingkat (level of objectives).
a. TIK akhir (terminal objectives): tujuan akhir dari mempelajari suatu topik.
b. Sub TIK (enabling objectives, interin objectives): tujuan "antara" yang diperlukan untuk mencapai terminal objectives.
4. Aspek-aspek TIK (domain of objectives).
Salah satu usaha untuk menyusun daftar umum mengenai penge-lompokan objectives dilakukan oleh Bloom (1956). Menurut Bloom ada 3 aspek "objectives" yakni:

a. Aspek pengenalan (cognitive domain) yang meliputi:
(1) pengetahuan, ingatan +
(2) pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh;
(3) analisis, menguraikan, menentukan hubungan;
(4) sintesis, mengorganisir, merencanakan, membentuk bangunan
baru, dan sebagainya.
(5) mengevaluasi, menilai.
(6) aplikasi.
b. Aspek perasaan (affective domain).
Aspek ini berkenaan dengan sikap, nilai, minat, apresiasi, misalnya sikap untuk menerima, memberikan respon, nilai dan sebagainya.
c. Aspek gerak (psychomotor domain).
(1) Self-paced objectives
(2) Mix-paced objectives
(3) Extemally-paced objectives
Untuk aspek gerak ini Hall (1975, p. 25) membuat klasifikasi sebagai berikut:
1) initiatory level
2) pre routine level
3) routinized level

Mengapa Perlu Perumusan Tujuan Instruksional ?
Di dalam proses belajar mengajar, perumusan tujuan instruksional (objectives) memegang peranan penting. Kegunaan adanya tujuan in-struksional (objectives) dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Objective memberikan kriteria yang pasti, yang dengannya kemajuan belajar siswa dapat diukur, atau tingkat kemampuannya dapat ditentukan secara pasti.
2. Objective memberikan kepastian mengenai kemampuan ketrampilan yang diharapkan dari siswa. .
3. Objective memberikan dasar untuk mengembangkan alat evaluasi untuk mengukur efektifitas pengajaran.
4. Objective memberi petunjuk kepada penyusun disain untuk menentukan materi dan strategi instruksional.
5. Objective tidak hanya berguna bagi penyusun disain dan guru, tapi juga berguna bagi siswa. Bagi siswa, dengan adanya objective akan menjadi jelas petunjuk mengenai apa yang dipelajari dan apa yang akan diujikan/dinilai dalam mengikuti suatu pelajaran.
Singkatnya, objective merupakan petunjuk yang jelas dalam penen¬tuan materi, sumber, alat/media, kegiatan belajar mengajar, dan eva¬luasi.
Demikian pentingnya objective tersebut sampai-sampai Merill (1971, p.1) mengatakan: "Without this information, it is difficult, if not impossible, to outline a zourse that has attained desired level of competence". Juga Hall memandang begitu penting objective tersebut sampai-sampai ia berkata: "The curriculum without aims was compared to a joumey without a destination" (1975, p. 22).
Dikatakan juga bahwa "tiadanya tujuan instruksional dapat membawa frustasi kepada mahasiswa sebab mereka tak tahu tentang apa sebe¬narnya yang dipelajari dari suatu mata kuliah tertentu". Tanpa peru-musan yang tegas, kuliah akan hanya didasarkan atas isi semata-mata, sedang isi pelajaran sebenarnya adalah sekedar alat (tool) untuk men¬capai tujuan.
Meski banyak pihak memandang tujuan instruksional itu penting, namun ada juga kritik atau keberatan terhadap diutamakannya tujuan instruksional, terlebih-lebih tujuan instruksional khusus (objectives). Kritik itu misalnya dikemukakan oleh Popham (1967). Dua hal diajukan keberatan terhadap behavioral objectives:.
1. Ada asumsi bahwa tujuan akhir semua usaha pendidikan adalah untuk mengubah tingkah laku (behavior), dan bahwa perubahan ini terjadi sebab langsung oleh apa yang telah terjadi. Padahal sebenarnya tidak mesti bahwa behavior itu hanya bisa berubah karena proses belajar.
2. Kebanyakan tenaga pengajar (dosen/guru) tak cukup waktu yang diperlukan untuk menyusun “behavioral objectives”.
Kita juga sering mendengar kritik-kritik terhadap behavioral objectives, misalnya aspek affektif adalah sukar dirumuskan dalam bentuk tingkah laku yang bisa diamati dan diukur. Juga kalau tidak tepat penyusunan objectives tersebut, maka tujuan instruksional akan menjadi kabur. Berhubung adanya kritik-kritik tersebut, maka seyogyanya bahwa untuk perkuliahan di perguruan tinggi, tujuan instruksional cukup dirumuskan dalam bentuk yang agak umum, sedangkan untuk SLTA ke bawah perlu dirumuskan secara terperinci.
Bagaimana cara merumuskan tujuan instruksional?
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dikemukakan (1) kriteria perumusan tujuan instruksional yang baik, dan (2) mengenai format penulisan tujuan instruksional.
1. Kriteria perumusan tujuan instruksional yang baik
Para ahli pendidikan dan pengajaran mengakui bahwa dewasa ini ada tuntutan yang besar untuk merumuskan secara jelas mengenai tujuan instruksional. “More that at any previous time in educational history, educators are now being urged to clarify their description of the outcomes they hope to achieve through instructional effort” (Baker, 1971, p.3)
Berhubung dengan itu sangat penting kiranya kita sebagai staf pengajar dapat membedakan perumusan tujuan instruksional yang tepat dan yang tak tepat. Perumusan yang tepat akan menghilangkan keragu-raguan. Semakin jelas tujuan, semakin mudah kita dapat menentukan sequence pengajaran, menyusun alat evaluasi dan sebagainya.
Kriteria perumusan tujuan instruksional yang baik menurut Baker (1971, p.3) hendaknya memuat 4 unsur yakni: (a) A Subject : the learner (murid, siswa, mahasiswa), (b) A Verb : behavior, or behavior product (tingkah laku, hasil tingkah laku), (c) Given conditions: the situation in which the behavior occurs (syarat atau keadaan di saat siswa menunjukkan hasil belajar), dan (d.) Standards: of quality or quantity (derajat atau standar keberhasilan
Kita sering mendengar bahwa TIK harus dirumuskan dalam bentuk tingkah laku yang bisa diamati dan diukur. Empat kriteria tersebut kiranya akan memperjelas apa yang dimaksud dengan perumusan yang bisa diamati dan diukur. Penjelasan lebih lanjut untuk masing-msing unsur adalah sebagai berikut:
(a) A subject: the learner.
Perumusan objective (TIK) yang baik hendaknya menyebutkan secara khusus, secara jelas, siapa yang akan menunjukkan atau mendemonstrasikan hasil belajar, yakni yang melakukan kegiatan belajar. Bila “siapa”nya bukan yang melakukan belajar, maka perumusan objective itu tidak tepat. Subyek belajar ini bisa siswa, mahasiswa, peserta penataran, peserta kursus, dan sebagainya.

(b) A verb: behavior or behavior product
Kata kerja dalam perumusan objective yang baik melukiskan tingkah laku atau hasil tingkah laku. Tingkah laku yang dimaksud adalah: “Any learner performance, action, or operation which is observable” (Baker, 1971, p.6). kata kerja tersebut menjawab pertanyaan “Apakah yang dikerjakan siswadalam artian tingkah laku?” Objective yang berbunyi “Agar siswa dapat menyebutkan nama ke-27 propinsi di seluruh Indonesia secara lisan atau tertulis” melukiskan tingkah laku yang bisa diamati. Kata-kata kerja yang sering digunakan untuk menuliskan objective antara lain: (1) Identifikasi (identify), (2) Menyebutkan (name), (3) Menyusun (construct), (4) Menjelaskan (describe), (5) Mengatur, mengurutkan (order). Sedangkan kata-kata kerja yang dipandang kurang tepat un¬tuk melukiskan objectives misalnya: mengetahui, menerima, memahami , mempelajari , mengerti, menafsirkan, mengira-ira dan sebagainya.
(c) Given Conditions: The Situation in Which the Behavior Oecurs.
Objective yang baik, menentukan tingkah laku yang ditampilkan oleh siswa di dalam situasi dan kondisi yang diketahui/dipahami oleh siswa, dan yang melakukan evaluasi. Keadaan itu bisa secara natural, bisa juga dleiptakan secara khusus. Contoh: (1) Menyebutkan secara lisan proses pembuatan Undang-Undang, bila kepadanya diberikan Peraturan Tata Tertib DPR, (2) Dengan menggunakan peta buta Indonesia, siswa dapat menujukkan letak ibu kota ke-27 propinsi seluruh Indonesia, dan sebagainya.
Syarat atau keadaan pada dasarya berisi izin/kebolehan, ban¬tuan agar siswa bisa melakukan, atau pembatasan tertentu di saat siswa mendemonstrasikan kemampuannya. "Syarat" bisa dirumuskan secara positif misalnya "dengan meng¬gunakan", atau secara negatif misalnya "tanpa menggunakan". Syarat atau keadaan di saat diadakan evaluasi kadang-kadang mutlak harus disebutkan. Misalnya mahasiswa harus dapat lari 100 m dalam waktu 10 detik. Syaratnya, ia harus lari di tempat yang datar, atau di tempat tanjakan ? Dengan membawa beban atau tidak ? Seorang siswa yang akan dinilai kemampuannya untuk menter-jemahkan, boleh melihat kamus atau tidak ?

d. Standards : Quality or quantity
Unsur terakhir yang harus ada pada obyektive (TIK) yang baik ialah spesifikasi tingkat kemampuan minimal yang bisa dite¬rima (specification of the minimal acceptable level of learner performance). Seberapa tinggikah prestasi siswa telah dianggap memenuhi syarat? Berapa persen sekurang-kurangnya jawaban harus betul? Berapa persen sekurang-kurangnya dari 10 macam tugas harus diselesaikan dengan betul? Pertanyaann tersebut berkenaan dengan standar keberhasilan. Objective yang baik harus mencantumkan standar untuk mengukur tingkah laku atau hasil tingkah laku siswa yang telah dipandang cukup.
"Dapat lari 100 m dalam waktu kurang dari 10 detik" adalah perumusan yang menunjukkan adanya standar. Standar dapat dirumuskan dengan berbagai cara yang menunjukkan kualita, kuantita dan kadang-kadang waktu (namun untuk "waktu" lebih sering digunakan sebagai "syarat", bukan "standar"). Standar keberhasilan ini kadang-kadang ditentukan 100% harus terpenuhi, tapi kadang-kadang boleh kurang dari 100%. Hal ini tergantung dari sifat TIK yang harus dikuasai. Seorang pilot DE 10 misalnya, tentu harus menguasai 100% ketrampilan yang diajarkan. Begitu pun mahasiswa kedokteran yang ingin menjadi ahli bedah. Sebab kalau ketrampilan itu tidak 100% dikuasai semua, akan menimbulkan bencana. Sedang untuk mempelajari nama-nama negara anggota PBB yang jumlahnya ratusan itu, seorang siswa yang mempelajari IPS boleh tidak harus betul 100%.

2. Format Perumusan Tujuan Instruksional
Menuliskan objective tak jauh berbeda dengan menuliskan kalimat; jadi ada subyek, kata kerja, obyek,dan keterangan. Dalam hal ini sebagai subyek adalah siswa, kata kerja menunjukkan apa yang akan dikerjakan, dan keterangan menunjukkan seberapa baik siswa harus menunjukkan kemampuannya, dengan atau tanpa menggunakan alat apa dan dalam keadaan bagaimana.
Format penulisan objective yang mirip dengan penulisan kalimat serta berisikan empat kriteria tersebut di atas dapat diwujudkan dengan format ABCD. Menurut format ini, di dalam suatu TIK, dikehendaki adanya kejelasan mengenai:
A (Audience) atau sasaran, berisi kejelasan mengenai siapa yang belajar. Semakin jelas semakin baik.
B (Behavior) suatu kemampuan, ketrampilan, kegiatan atau tingkah laku yang bisa diamati yang menunjukkan bahwa siswa telah berhasil di dalam proses belajar.
C (Conditions), keadaan, syarat-syarat yang ada di salt diadakan evaluasi.
D (Degree), standar /ukuran yang menunjukkan bahwa siswa telah mencapai objective (TIK).
Contoh-contoh perumusan TIK untuk ketiga aspek TIK (objective domain) tersebut di atas adalah sebagai berikut (Dengan menggunakan format ABED):

(a) Aspek pengenalan (Cognitive).
A. Siswa kelas V SD/MIN
B. Dapat menunjukkan letak lima ibu kota Kabupaten/Kotama¬dya dalam lingkungan wilayah Kota Metro.
C. Bila kepadanya ditunjukkan peta buta mengenai Kota Metro.
D. Kelima-limanya harus betul.
(b) Aspek gerak (Psychomotor).
A. Siswa kelas III SD/MIN
B. Dapat menyalin ke dalam huruf latin.
C. Jika kepadanya diberikan setengah halaman tulisan dari huruf cetak.
D. Kesalahan yang boleh terjadi tidak lebih dari 4 kata.
(c) Aspek perasaan (Affective domain)
A. Siswa SD/MIN Kelas VI setelah mendapat pelajaran tentang "Ke-bersihan".
B. Dapat menunjukkan meningkatnya sikap untuk menjaga kebersihan kelas seperti nampak dalam cara mereka mem¬buang sampah.
C. Di ruang kelas selalu disediakan keranjang sampah, guru tak menyediakan hadiah bagi mereka yang selalu membuang sam-pah ke tempat sampah.
D. Dalam waktu 3 bulan ke atas, hendaknya tak ada lagi sampah berserakan di lantai kelas.

Catatan:
Di dalam menuliskan TIK dengan menggunakan format ABCD, tidak harus selalu disusun dengan urutan seperti contoh di atas. Yang penting di dalam sebuah TIK ada kejelasan mengenai keempat unsur tadi yakni: Audience, Behavior, Condition, Degree.
Contoh: CABD,ABCD,ACBD,BCAD. AB TIK yang umum dipakai
Dengan menggunakan Pembukaan UUD 1945 sebagai pedoman (C), siswa SMA/MA Kelas III (A) dapat: (a) menyebutkan jumlah alinea Pembukaan, dan (b) menuliskan isi dari tiap-tiap alinea (B). Hendaknya disebutkan dengan urut, singkat dan menggunakan kalimat sendiri (D).