PENULISAN TIU

- 1 komentar

Penulisan Tujuan Instruksional Umum (TIU)

Baik menurut model Kemp maupun model Dlek & Carey, maka penentuan tujuan instruksional umum merupakan langkah pertama di dalam penyusunan disain instruksional. Adalah benar bahwa di dalam mengajarkan suatu mata kuliah, bidang studi atau bagian-bagiannya seperti unit perkuliahan atau unit bidang studi, sebagai langkah pertama adalah mengidentifikasi tujuan instruksional umum. Bahkan di dalam mengajarkan modul sebagai unit pelajaran yang kecil pun menurut Dick & Carey (1978, h. 13), iden¬tifikasi tujuan instruksional umum merupakan langkah pertama.
Di mana dapat kita dapatkan sumber untuk menentukan tujuan in-struksional umum tersebut ? Beberapa sumber untuk ini ialah:
1. Kurikulum lembaga pendidikan yang bersangkutan. Di dalam Kurikulum 1975 dari SD sampai SLTA, kita dapat mengetahui tujuan instruksional untuk masing-masing bidang studi. Tidak hanya tujuan instruksional, bahkan tujuan kurikuler dan tujuan in¬struksional pun tercantum di dalam SK Menteri P & K No. 08/U/1975 yang mengatur tentang kurikulum tersebut.
2. Pendapat ahli bidang studi. Di dalam berbagai bidang studi, para ahli bidang studi yang bersangkutan telah banyak mengemukakan pendapatnya mengenai tujuan di dalam mempelajari suatu bidang studi.
3. Hasil analisis tugas. Dengan menganalisis orang-orang yang melakukan tugas atau pekerjaan dalam bidang tertentu, akan didapatkan apakah sebenarnya tujuan instruksional di dalam mempelajari bidang tersebut.
4. Hasil observasi. Dengan mengamati secara teliti apa yang dikerjakan oleh seseorang di dalam tugas tertentu, kita akan memperoleh informasi mengenai tujuan yang harus dicapai di dalam mempelajari bidang tersebut.
Bagi lembaga pendidikan atau sekolah yang telah memiliki kurikulum yang lengkap dengan perumusan tujuan institusional, tujuan kurikuler dan tujuan instruksional, adalah mudah bagi penyusunan disain instruksional untuk mengembangkan lebih lanjut. Meski pada umumnya apa yang tercantum di dalam kurikulum tersebut masih bersifat terlalu umum (luas), namun ia dapat dipakai sebagai pedoman. Tetapi, bagi lembaga pendidikan yang belum mempunyai petunjuk lengkap mengenai penjabaran kurikulumnya, adalah perlu bagi para tenaga pengajar atau pengembang sistem pengajaran di lem¬baga tersebut memiliki ketrampilan di dalam merumuskan tujuan in¬struksional.
Di Indonesia hal ini banyak terjadi di Perguruan Tinggi. Perhatian un¬tuk menyusun silabi perkuliahan terasa masih kurang. Terlebih bila se-ring terjadi perubahan kurikulum, maka kegiatan penyusunan silabi yang isinya antara lain berupa perumusan tujuan instruksional umum menjadi terlantar.
Sub bab ini dimaksudkan untuk memberikan kepada pembaca secara garis besar mengenai konsep tujuan instruksional dan bagaimana cara mengidentifikasinya.
Konsep
Tujuan Instruksional Umum di sini dimaksudkan terjemahan dari istilah instructional goal, untuk membedakannya dengan istilah tujuan instruksional khusus (terjemahan dari instructional objectives) .
Apakah yang dimaksudkan dengan Tujuan Instruksional Umum (TIU)?
1. Di dalam SK Menteri P & K No. 8/U/1975, Tujuan Instruksional
Umum (TIU) diartikan sebagai "tujuan-tujuan yang pencapaiannya dibebankan kepada program pengajaran sesuatu bidang pelajaran" .
2. Menurut Gene E. Hall & Howard L. Jones (1976 H. 28). Tujuan Instruksional Umum adalah pernyataan umum mengenai hasil suatu program pengajaran.
3. Menurut Dlek & Carey (1978, h. 14), Tujuan Instruksional Umum adalah suatu pemyataan yang menjelaskan mengenai kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa setelah mereka selesai mengikuti suatu pengajar.
4. Menurut Briggs (1979, p.54), tujuan instruksional umum didefinisikan sebagai pernyataan umum mengenai tujuan akhir dari setiap program pengajaran.
Apakah yang bisa kita simpulkan dari keempat definisi tersebut? Pertama ialah bahwa TIU senantiasa mempunyai arti sebagai hasil belajar siswa setelah selesai belajar, bukan berkenaan dengan apa yang dikerjakan oleh guru. Kedua, TIU senantiasa dirumuskan dalam bentuk pernyataan yang bersifat umum.
Sesuai dengan namanya TIU merupakan pernyataan umum mengenai hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh siswa setelah mengikuti suatu program pengajaran. Seberapa jauh “umum” suatu TIU bila dibandingkan dengan tujuan yang lebih bersifat khusus? Dalam hal ini ada beberapa pandangan:
1. Kurikulum 1975, memberi sifat umum TIU lebih didasarkan atas kata kerja yang digunakan untuk merumuskan tujuan instruksional tersebut. Misalnya TIU bidang studi PMP menurut GBPP II B.
Tujuan Kurikuler Tujuan Instruksional
2.3 Siswa mengetahui dan memahami serta dapat melaksanakan kewajiban dan hak yang harus dilakukan dalam kehidupan masyarakat. 2.3.1 Siswa mengetahui dan memahami hak dan kewajiban yang harus dilakukan dalam masyarakat.
2.3.2 Siswa menyadari dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat.

Di dalam contoh tersebut kata-kata “memahami”, “menyadari” dipakai sebagai tanda bahwa perumusan tujuan tersebut bersifat umum. Namun kadang-kadang juga tidak konsisten. Sebab, di dalam perumusan yang dikatakan sebagai bersifat umum tersebut telah pula digunakan kata-kata “dapat melaksanakan” yang kiranya termasuk kategori kata kerja yang bersifat khusus, bersifat operasional, dapat diukur dan diamati hasilnya. Berbeda dengan kata-kata “memahami” yang diklasifikasikan sebagai bersifat umum, tidak operasional, tidak bisa diamati dan diukur hasilnya.
Juga kalau dikatakan bahwa TIU merupakan penjabaran dari tujuan kurikuler, maka sifat penjabarannya kurang jelas. Perumusan 2.3 dengan 2.3.1 dan 2.3.2 tidaklah secara tegas merupakan hubungan yang bersifat penjabaran. Dengan demikian sebenarnya agak sukar menurut GBPP tersebut membedakan tujuan kurikuler dengan tujuan instruksional umum.
2. Luas lingkup materi ada pendapat yang menggunakan luas lingkup materi untuk menunjukkan sifat umumnya tujuan instruksional. Sebagai contoh adalah pendapat Ely (1979, h.1). Ia mengatakan bahwa tujuan instruksional umum adalah deskripsi umum mengenai maksud suatu program pengajaran yang meliputi suatu mata kuliah atau suatu unit perkuliahan. Menurut batasan ini, perumusan yang berbunyi “Agar mahasiswa memiliki ketrampilan di dalam menyusun satuan pelajaran menurut model PPSI” bagi mahasiswa yang menempuh mata kuliah metodik, adalah termasuk TIU meski kata kerja yang digunakan “memiliki ketrampilan menyusun” sudah bersifat operasionla, dapat diamati dan diukur hasilnya.
Sifat “keumumannya” adalah terletak pada materi pelajaran yang tercakup di dalamnya. Materi yang tercakup di dalam “penyusunan satuan pelajaran” adalah luas. Kegiatan tersebut meliputi merumuskan TIK, menyusun alat evaluasi, menentukan materi, metode, media, alat, dan seterusnya.
Karena sifatnya yang umum tersebut maka TIU masih bisa dijabarkan menjadi tujuan yang bersifat khusus. Istilah untuk ini adalah Tujuan Instruksional Khusus (TIK) terjemahan dari “instructional objectives”. Hal ini sesuai dengan pendapat Gene E. Hall & Howard L. Jones (1976, h. 28-29) yang menyatakan bahwa “TIU dapat dijabarkan menjadi kompetensi, kompetensi dijabarkan menjadi sub kompetensi dan sub kompetensi dijabarkan menjadi TIK”.
Istilah “Umum” tersebut kiranya lebih tepat kalau untuk menunjukkan sifat “luasnya materi” yang tercakup di dalam perumusan tersebut, bukan menunjuk kepada kata kerja yang digunakan seperti yang lazim terdapat pada Kurikulum 1975. kata “menyadari” misalnya adalah sukar untuk diamati dan diukur.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan di dalam menentukan TIU:
1. Kebutuhan untuk mengajarkan TIU tersebut, pentingkah TIU tersebut diajarkan kepada siswa ?
2. Ahli dalam bidang yang akan diajarkan. Bila penyusun disain instruksional sekaligus sebagai ahli bidang studi yang bersangkutan, maka tak akan terjadi kesulitan. Bila penyusun disain instruksional bukan merupakan ahli bidang studi yang disusunnya, maka ia perlu bekerja sama dengan ahu bidang yang bersangkutan untuk memperoleh kebenaran ilmu bidang studi tersebut. Pada perguruan tinggi, biasanya banyak ahli-ahli bidang studi. Hal ini bisa diadakan kerja sama di dalam penyu¬sunan disain instruksional.
3. Materi pelajaran. Apakah materi yang diajarkan bersifat stabil, bertahan sampai beberapa tahun ? Bila tidak, maka tidak perlu disusun TIU untuk diajarkan. Hal ini untuk mencegah pemborosan waktu, tenaga dan biaya.
4. Jenis kemampuan atau tingkah laku sebagai indikator tercapainya TIU. Pertama-tama, perlu diperhatikan bahwa kemampuan atau tingkah laku yang siswa diharapkan dapat memilikinya adalah penting. Kedua, bahwa kemampuan atau tingkah laku yang akan diajarkan tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang tersedia. Tidak terlalu sedikit, tapi juga tidak terlalu banyak memakan waktu. Ketiga, bahwa kemampuan atau tingkah laku tersebut tidak terlalu luas dan rumit.
5. Siswa dan kesulitan yang pernah dihadapi. Adakah siswa yang akan mempelajari TIU tersebut? Di negara-negara yang menganut sistem kurikulum bersifat terbuka, artinya siswa boleh memilih bidang studi atau mata kuliah yang disu¬kainya, memang parlu diperhatikan apakah TIU yang disusun ada siswanya atau tidak.
Di Indonesia, di mana kebanyakan dianut sistem kurikulum yang -telah pasti pada setiap lembaga pendidikan, kiranya tak ada persoalan mengenai ada tidaknya siswa. Siswa atau mahasiswa selalu ada, dan mereka wajib mempelajari semua bidang studi yang telah ditentukan. Yang perlu diperhatikan adalah pengembangan kurikulum itu sendiri secara lebih sempuma. Di sini yang penting ialah bagian-bagian bidang studi yang siswa mengalami kesulitan di dalam mempelajarinya.
Guru atau dosen yang berpengalaman akan dapat mengidentifikasi konsep, prinsip, atau problem-problem tertentu yang sukar dipelajari oleh siswa.
Dari lima hal yang perlu diperhatikan di dalam menentukan TI, tiga di antaanya adalah yang teramat penting yakni (1) luas materi, (2) ahli bidang studi, (3) siswa. Oleh karena itu, Dick & Carey (1978, h.17) menyarankan bahwa sebelum memilih dan menentukan TIU, maka perlu diperhatikan bahwa telah tersedia:
(1) Ahli bidang studi yang akan diajarkan.
(2) Siswa yang akan mempelajarinya.
(3) Materi pelajaran yang sesuai dengan waktu yang tersedia.
Kriteria TIU yang baik.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk menyusun dan menilai TIU: (1) Apakah di dalam merumuskan TIU digunakan kata-kata kerja yang menunjukkan tingkah laku yang harus dilakukan oleh siswa? (2)Apakah TIU tersebut terlalu luas, terlalu sedikit atau cukup sesuai dengan waktu yang tersedia dan kebutuhan siswa? (3) Apakah TIU tersebut jelas atau kabur?
Berdasarkan kriteria tersebut, maka perumusan TIU yang baik hendaknya menjelaskan tingkah laku yang orang lain bisa mengamati terhadap apa yang dilakukan siswa. Tingkah laku sebagai hasil belajar ini hendaknya bisa diukur dan diamati. Tingkah laku ini hendaknya bisa dipergunakan sebagai bukti bahwa TIU telah tercapai. Dengan kata lain, perumusan TIU tersebut, baik lisan maupun tertulis, dapat dinilai, dan keputusan dapat diambil mengenai tercapai tidaknya tujuan yang dimaksud.
Perumusan TIU yang tidak menunjukkan tingkah laku dan tidak bisa diamati akan membawa kesulitan di dalam pengukurannya. Karena itu yang demikian ini perlu dihindarkan. Contoh “Agar siswa dapat menikmati lukisan batik modern” atau “agar siswa menyadari pentingnya demokrasi” adalah sukar diamati dan sukar diukur.
Waktu yang diperlukan bagi guru untuk menyiapkan rencana pengajaran, dan bagi siswa untuk mempelajari dan mencapai TIU tersebut dapat dipergunakan untuk mempertimbangkan apakah suatu TIU terlalu luas, terlalu sedikit atau cukup.
Unit pengajaran yang terlalu luas atau banyak akan menyulitkan siswa. Unit pengajaran yang terlalu sediki dan terlalu ringan akan kurang memberikan tantangan kepada siswa. Oleh karena itu, pemilihan unit pengajaran yang sesuai dengan waktu yang tersedia adalah penting sekali.
Maksud atau isi TIU hendaknya jelas, tidak kabur. Unit atau topik yang menggambarkan dengan jelas mengenai isi ataupun ketrampilan yang dipelajari akan memudahkan siswa di dalam mempelajarinya.
Ada bidang-bidang studi yang TIU-nya mudah dirumuskan, misalnya” ketrampilan teknik, matematika. Sementara itu ada pula bidang studi yang sukar utuk dirumuskan TIU-nya misalnya: filsafat, agama.
Kesimpulan dari uraian di atas ialah bahwa banyak faktor yang perlu dipertimbangkan di dalam menilai apakah TIU untuk suatu unit pengajaran dapat tepat untuk sekelompok siswa tertentu. Faktor-faktor itu antara lain: waktu yang tersedia, sistematika materi, macam kegiatan belajar, karaktristik siswa dan sebagainya.
Penulisan Tujuan Instruksional Khusus
Penulisan Tujuan Instruksionai Khusus (TIK) merupakan langkah yang sangat penting dalam proses penyusunan disain instruksional. Sebab TIK ini: menentukan dengan tepat apakah ketrampilan, penge¬tahuan dan sikap yang harus dimiliki oleh siswa setelah mengikuti suatu pelajaran. Para guru/pendidik tak ayal lagi, perlu memiliki ketrampilan dalam penulisan TIK ini. Namun lebih penting lagi ialah melaksanakan dengan tepat TIK yang telah dirumuskan. Uraian berikut diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan ketrampilan para guru, dosen ataupun pendidik lainnya tentang penulisan TIK yang tepat.
1. Istilah
Sehari-hari kita mengenal istilah-istilah seperti tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan instruksional umum, dan tujuan instruk¬sional khusus. Ely (1979, h.3) membedakan tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus ditinjau dari segi "spesifik tidaknya tujuan itu dirumuskan".
TIU menjelaskan kemampuan, ketrampilan, dan pengetahuan yang bersifat umum dan luas, sedang TIK menjelaskan tingkah laku khusus atau spesifik yang perlu dimiliki oleh siswa setelah belajar. Kita mengenal juga istilah course aims, course goals, educational outcomes, learning outcomes, learning objectives, instructional objectives, behavioral objectives, instructional product, etc.
2. Definisi
Pendapat lama dalam memberikan pengertian istilah-istilah tersebut di atas ada yang meninjau dari segi kegiatan guru. Misalnya ada yang merumuskan tujuan instruksional dengan kalimat "untuk mengajarkan hukum bejana berhubungan". Perumusan yang demikian disebut "teacher centered".
Menurut pendapat sekarang, apa yang dirumuskan di dalam tujuan instruksional adalah hasil belajar siswa, bukan apa yang akan diker¬jakan oleh guru di dalam kegiatan mengajar. Perumusan yang demikian disebut "learner centered". Beberapa definisi mengenai tujuan instruksional adalah sebagai berikut:
a. The instructional goal is a statement that deseribes what it is that student will be able to do after they have completed instruction . (Dlek & Carey, 1978, p. 14).
b. Objectives are goals for, or desired outcomes of, and are expres-sed in terms of observable behavior or performance of the learner (Merrill, 1971,-p. 1).
c. Course aims describe the intended outcomes a course, usually in terms of what a student is expected to be able to do as a result of studying that course (Hall, 1975, p. 9).

Dari contoh-contoh definisi tersebut di atas, jelas bahwa yang di-maksud dengan tujuan instruksional adalah kemampuan atau ketrampilan yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa setelah meng-adakan kegiatan belajar.
Tujuan instruksional yang lebih bersitat khusus (spesific) disebut juga "objectives" atau "behavioral objectives" karena seperti dikatakan Kemp "belajar menghendaki usaha yang aktif dari siswa, oleh karena itu semua objectives harus dinyatakan dalam bentuk tingkah laku" (1971, p. 19). Kita menggunakan istilah Tujuan In¬struksional Khusus (TIK) untuk "behavioral objectives" tersebut. Tingkah laku siswa ada yang dapat dilihat, dan diukur (overt-beha¬vior), ada pula yang tak tampak dan tak bisa diukur (covert-behavior).
Diskusi tentang tujuan instruksional lebih menitikberatkan pada tingkah laku yang bisa diamati dan diukur (overt-behavior).
3. Tingkat-tingkat (level of objectives).
a. TIK akhir (terminal objectives): tujuan akhir dari mempelajari suatu topik.
b. Sub TIK (enabling objectives, interin objectives): tujuan "antara" yang diperlukan untuk mencapai terminal objectives.
4. Aspek-aspek TIK (domain of objectives).
Salah satu usaha untuk menyusun daftar umum mengenai penge-lompokan objectives dilakukan oleh Bloom (1956). Menurut Bloom ada 3 aspek "objectives" yakni:

a. Aspek pengenalan (cognitive domain) yang meliputi:
(1) pengetahuan, ingatan +
(2) pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh;
(3) analisis, menguraikan, menentukan hubungan;
(4) sintesis, mengorganisir, merencanakan, membentuk bangunan
baru, dan sebagainya.
(5) mengevaluasi, menilai.
(6) aplikasi.
b. Aspek perasaan (affective domain).
Aspek ini berkenaan dengan sikap, nilai, minat, apresiasi, misalnya sikap untuk menerima, memberikan respon, nilai dan sebagainya.
c. Aspek gerak (psychomotor domain).
(1) Self-paced objectives
(2) Mix-paced objectives
(3) Extemally-paced objectives
Untuk aspek gerak ini Hall (1975, p. 25) membuat klasifikasi sebagai berikut:
1) initiatory level
2) pre routine level
3) routinized level

Mengapa Perlu Perumusan Tujuan Instruksional ?
Di dalam proses belajar mengajar, perumusan tujuan instruksional (objectives) memegang peranan penting. Kegunaan adanya tujuan in-struksional (objectives) dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Objective memberikan kriteria yang pasti, yang dengannya kemajuan belajar siswa dapat diukur, atau tingkat kemampuannya dapat ditentukan secara pasti.
2. Objective memberikan kepastian mengenai kemampuan ketrampilan yang diharapkan dari siswa. .
3. Objective memberikan dasar untuk mengembangkan alat evaluasi untuk mengukur efektifitas pengajaran.
4. Objective memberi petunjuk kepada penyusun disain untuk menentukan materi dan strategi instruksional.
5. Objective tidak hanya berguna bagi penyusun disain dan guru, tapi juga berguna bagi siswa. Bagi siswa, dengan adanya objective akan menjadi jelas petunjuk mengenai apa yang dipelajari dan apa yang akan diujikan/dinilai dalam mengikuti suatu pelajaran.
Singkatnya, objective merupakan petunjuk yang jelas dalam penen¬tuan materi, sumber, alat/media, kegiatan belajar mengajar, dan eva¬luasi.
Demikian pentingnya objective tersebut sampai-sampai Merill (1971, p.1) mengatakan: "Without this information, it is difficult, if not impossible, to outline a zourse that has attained desired level of competence". Juga Hall memandang begitu penting objective tersebut sampai-sampai ia berkata: "The curriculum without aims was compared to a joumey without a destination" (1975, p. 22).
Dikatakan juga bahwa "tiadanya tujuan instruksional dapat membawa frustasi kepada mahasiswa sebab mereka tak tahu tentang apa sebe¬narnya yang dipelajari dari suatu mata kuliah tertentu". Tanpa peru-musan yang tegas, kuliah akan hanya didasarkan atas isi semata-mata, sedang isi pelajaran sebenarnya adalah sekedar alat (tool) untuk men¬capai tujuan.
Meski banyak pihak memandang tujuan instruksional itu penting, namun ada juga kritik atau keberatan terhadap diutamakannya tujuan instruksional, terlebih-lebih tujuan instruksional khusus (objectives). Kritik itu misalnya dikemukakan oleh Popham (1967). Dua hal diajukan keberatan terhadap behavioral objectives:.
1. Ada asumsi bahwa tujuan akhir semua usaha pendidikan adalah untuk mengubah tingkah laku (behavior), dan bahwa perubahan ini terjadi sebab langsung oleh apa yang telah terjadi. Padahal sebenarnya tidak mesti bahwa behavior itu hanya bisa berubah karena proses belajar.
2. Kebanyakan tenaga pengajar (dosen/guru) tak cukup waktu yang diperlukan untuk menyusun “behavioral objectives”.
Kita juga sering mendengar kritik-kritik terhadap behavioral objectives, misalnya aspek affektif adalah sukar dirumuskan dalam bentuk tingkah laku yang bisa diamati dan diukur. Juga kalau tidak tepat penyusunan objectives tersebut, maka tujuan instruksional akan menjadi kabur. Berhubung adanya kritik-kritik tersebut, maka seyogyanya bahwa untuk perkuliahan di perguruan tinggi, tujuan instruksional cukup dirumuskan dalam bentuk yang agak umum, sedangkan untuk SLTA ke bawah perlu dirumuskan secara terperinci.
Bagaimana cara merumuskan tujuan instruksional?
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dikemukakan (1) kriteria perumusan tujuan instruksional yang baik, dan (2) mengenai format penulisan tujuan instruksional.
1. Kriteria perumusan tujuan instruksional yang baik
Para ahli pendidikan dan pengajaran mengakui bahwa dewasa ini ada tuntutan yang besar untuk merumuskan secara jelas mengenai tujuan instruksional. “More that at any previous time in educational history, educators are now being urged to clarify their description of the outcomes they hope to achieve through instructional effort” (Baker, 1971, p.3)
Berhubung dengan itu sangat penting kiranya kita sebagai staf pengajar dapat membedakan perumusan tujuan instruksional yang tepat dan yang tak tepat. Perumusan yang tepat akan menghilangkan keragu-raguan. Semakin jelas tujuan, semakin mudah kita dapat menentukan sequence pengajaran, menyusun alat evaluasi dan sebagainya.
Kriteria perumusan tujuan instruksional yang baik menurut Baker (1971, p.3) hendaknya memuat 4 unsur yakni: (a) A Subject : the learner (murid, siswa, mahasiswa), (b) A Verb : behavior, or behavior product (tingkah laku, hasil tingkah laku), (c) Given conditions: the situation in which the behavior occurs (syarat atau keadaan di saat siswa menunjukkan hasil belajar), dan (d.) Standards: of quality or quantity (derajat atau standar keberhasilan
Kita sering mendengar bahwa TIK harus dirumuskan dalam bentuk tingkah laku yang bisa diamati dan diukur. Empat kriteria tersebut kiranya akan memperjelas apa yang dimaksud dengan perumusan yang bisa diamati dan diukur. Penjelasan lebih lanjut untuk masing-msing unsur adalah sebagai berikut:
(a) A subject: the learner.
Perumusan objective (TIK) yang baik hendaknya menyebutkan secara khusus, secara jelas, siapa yang akan menunjukkan atau mendemonstrasikan hasil belajar, yakni yang melakukan kegiatan belajar. Bila “siapa”nya bukan yang melakukan belajar, maka perumusan objective itu tidak tepat. Subyek belajar ini bisa siswa, mahasiswa, peserta penataran, peserta kursus, dan sebagainya.

(b) A verb: behavior or behavior product
Kata kerja dalam perumusan objective yang baik melukiskan tingkah laku atau hasil tingkah laku. Tingkah laku yang dimaksud adalah: “Any learner performance, action, or operation which is observable” (Baker, 1971, p.6). kata kerja tersebut menjawab pertanyaan “Apakah yang dikerjakan siswadalam artian tingkah laku?” Objective yang berbunyi “Agar siswa dapat menyebutkan nama ke-27 propinsi di seluruh Indonesia secara lisan atau tertulis” melukiskan tingkah laku yang bisa diamati. Kata-kata kerja yang sering digunakan untuk menuliskan objective antara lain: (1) Identifikasi (identify), (2) Menyebutkan (name), (3) Menyusun (construct), (4) Menjelaskan (describe), (5) Mengatur, mengurutkan (order). Sedangkan kata-kata kerja yang dipandang kurang tepat un¬tuk melukiskan objectives misalnya: mengetahui, menerima, memahami , mempelajari , mengerti, menafsirkan, mengira-ira dan sebagainya.
(c) Given Conditions: The Situation in Which the Behavior Oecurs.
Objective yang baik, menentukan tingkah laku yang ditampilkan oleh siswa di dalam situasi dan kondisi yang diketahui/dipahami oleh siswa, dan yang melakukan evaluasi. Keadaan itu bisa secara natural, bisa juga dleiptakan secara khusus. Contoh: (1) Menyebutkan secara lisan proses pembuatan Undang-Undang, bila kepadanya diberikan Peraturan Tata Tertib DPR, (2) Dengan menggunakan peta buta Indonesia, siswa dapat menujukkan letak ibu kota ke-27 propinsi seluruh Indonesia, dan sebagainya.
Syarat atau keadaan pada dasarya berisi izin/kebolehan, ban¬tuan agar siswa bisa melakukan, atau pembatasan tertentu di saat siswa mendemonstrasikan kemampuannya. "Syarat" bisa dirumuskan secara positif misalnya "dengan meng¬gunakan", atau secara negatif misalnya "tanpa menggunakan". Syarat atau keadaan di saat diadakan evaluasi kadang-kadang mutlak harus disebutkan. Misalnya mahasiswa harus dapat lari 100 m dalam waktu 10 detik. Syaratnya, ia harus lari di tempat yang datar, atau di tempat tanjakan ? Dengan membawa beban atau tidak ? Seorang siswa yang akan dinilai kemampuannya untuk menter-jemahkan, boleh melihat kamus atau tidak ?

d. Standards : Quality or quantity
Unsur terakhir yang harus ada pada obyektive (TIK) yang baik ialah spesifikasi tingkat kemampuan minimal yang bisa dite¬rima (specification of the minimal acceptable level of learner performance). Seberapa tinggikah prestasi siswa telah dianggap memenuhi syarat? Berapa persen sekurang-kurangnya jawaban harus betul? Berapa persen sekurang-kurangnya dari 10 macam tugas harus diselesaikan dengan betul? Pertanyaann tersebut berkenaan dengan standar keberhasilan. Objective yang baik harus mencantumkan standar untuk mengukur tingkah laku atau hasil tingkah laku siswa yang telah dipandang cukup.
"Dapat lari 100 m dalam waktu kurang dari 10 detik" adalah perumusan yang menunjukkan adanya standar. Standar dapat dirumuskan dengan berbagai cara yang menunjukkan kualita, kuantita dan kadang-kadang waktu (namun untuk "waktu" lebih sering digunakan sebagai "syarat", bukan "standar"). Standar keberhasilan ini kadang-kadang ditentukan 100% harus terpenuhi, tapi kadang-kadang boleh kurang dari 100%. Hal ini tergantung dari sifat TIK yang harus dikuasai. Seorang pilot DE 10 misalnya, tentu harus menguasai 100% ketrampilan yang diajarkan. Begitu pun mahasiswa kedokteran yang ingin menjadi ahli bedah. Sebab kalau ketrampilan itu tidak 100% dikuasai semua, akan menimbulkan bencana. Sedang untuk mempelajari nama-nama negara anggota PBB yang jumlahnya ratusan itu, seorang siswa yang mempelajari IPS boleh tidak harus betul 100%.

2. Format Perumusan Tujuan Instruksional
Menuliskan objective tak jauh berbeda dengan menuliskan kalimat; jadi ada subyek, kata kerja, obyek,dan keterangan. Dalam hal ini sebagai subyek adalah siswa, kata kerja menunjukkan apa yang akan dikerjakan, dan keterangan menunjukkan seberapa baik siswa harus menunjukkan kemampuannya, dengan atau tanpa menggunakan alat apa dan dalam keadaan bagaimana.
Format penulisan objective yang mirip dengan penulisan kalimat serta berisikan empat kriteria tersebut di atas dapat diwujudkan dengan format ABCD. Menurut format ini, di dalam suatu TIK, dikehendaki adanya kejelasan mengenai:
A (Audience) atau sasaran, berisi kejelasan mengenai siapa yang belajar. Semakin jelas semakin baik.
B (Behavior) suatu kemampuan, ketrampilan, kegiatan atau tingkah laku yang bisa diamati yang menunjukkan bahwa siswa telah berhasil di dalam proses belajar.
C (Conditions), keadaan, syarat-syarat yang ada di salt diadakan evaluasi.
D (Degree), standar /ukuran yang menunjukkan bahwa siswa telah mencapai objective (TIK).
Contoh-contoh perumusan TIK untuk ketiga aspek TIK (objective domain) tersebut di atas adalah sebagai berikut (Dengan menggunakan format ABED):

(a) Aspek pengenalan (Cognitive).
A. Siswa kelas V SD/MIN
B. Dapat menunjukkan letak lima ibu kota Kabupaten/Kotama¬dya dalam lingkungan wilayah Kota Metro.
C. Bila kepadanya ditunjukkan peta buta mengenai Kota Metro.
D. Kelima-limanya harus betul.
(b) Aspek gerak (Psychomotor).
A. Siswa kelas III SD/MIN
B. Dapat menyalin ke dalam huruf latin.
C. Jika kepadanya diberikan setengah halaman tulisan dari huruf cetak.
D. Kesalahan yang boleh terjadi tidak lebih dari 4 kata.
(c) Aspek perasaan (Affective domain)
A. Siswa SD/MIN Kelas VI setelah mendapat pelajaran tentang "Ke-bersihan".
B. Dapat menunjukkan meningkatnya sikap untuk menjaga kebersihan kelas seperti nampak dalam cara mereka mem¬buang sampah.
C. Di ruang kelas selalu disediakan keranjang sampah, guru tak menyediakan hadiah bagi mereka yang selalu membuang sam-pah ke tempat sampah.
D. Dalam waktu 3 bulan ke atas, hendaknya tak ada lagi sampah berserakan di lantai kelas.

Catatan:
Di dalam menuliskan TIK dengan menggunakan format ABCD, tidak harus selalu disusun dengan urutan seperti contoh di atas. Yang penting di dalam sebuah TIK ada kejelasan mengenai keempat unsur tadi yakni: Audience, Behavior, Condition, Degree.
Contoh: CABD,ABCD,ACBD,BCAD. AB TIK yang umum dipakai
Dengan menggunakan Pembukaan UUD 1945 sebagai pedoman (C), siswa SMA/MA Kelas III (A) dapat: (a) menyebutkan jumlah alinea Pembukaan, dan (b) menuliskan isi dari tiap-tiap alinea (B). Hendaknya disebutkan dengan urut, singkat dan menggunakan kalimat sendiri (D).

PENULISAN TIK

- Tidak ada komentar


Penulisan Tujuan Instruksional Khusus

Penulisan Tujuan Instruksionai Khusus (TIK) merupakan langkah yang sangat penting dalam proses penyusunan disain instruksional. Sebab TIK ini: menentukan dengan tepat apakah ketrampilan, penge¬tahuan dan sikap yang harus dimiliki oleh siswa setelah mengikuti suatu pelajaran. Para guru/pendidik tak ayal lagi, perlu memiliki ketrampilan dalam penulisan TIK ini. Namun lebih penting lagi ialah melaksanakan dengan tepat TIK yang telah dirumuskan. Uraian berikut diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan ketrampilan para guru, dosen ataupun pendidik lainnya tentang penulisan TIK yang tepat.
1. Istilah
Sehari-hari kita mengenal istilah-istilah seperti tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan instruksional umum,dan tujuan instruk¬sional khusus. Ely (1979, h.3) membedakan tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus ditinjau dari segi "spesifik tidaknya tujuan itu dirumuskan".
Tujuan Instuksional Umum (TIU) menjelaskan kemampuan, ketrampilan, dan pengetahuan yang bersifat umum dan luas, sedang Tujuan Instuksional Khusus (TIK) menjelaskan tingkah laku khusus atau spesifik yang perlu dimiliki oleh siswa setelah belajar. Kita mengenal juga istilah course aims, course goals, educational outcomes, learning outcomes, learning objectives, instructional objectives, behavioral objectives, instructional product, etc.
2. Definisi
Pendapat lama dalam memberikan pengertian istilah-istilah tersebut di atas ada yang meninjau dari segi kegiatan guru. Misalnya ada yang merumuskan tujuan instruksional dengan kalimat "untuk mengajarkan hukum bejana berhubungan". Perumusan yang demikian disebut "teacher centered".
Menurut pendapat sekarang, apa yang dirumuskan di dalam tujuan instruksional adalah hasil belajar siswa, bukan apa yang akan diker¬jakan oleh guru di dalam kegiatan mengajar. Perumusan yang demikian disebut "learner centered". Beberapa definisi mengenai tujuan instruksional adalah sebagai berikut:
a. The instructional goal is a statement that deseribes what it is that student will be able to do after they have completed instruction . (Dlek & Carey, 1978, p. 14).
b. Objectives are goals for, or desired outcomes of, and are expres-sed in terms of observable behavior or performance of the learner (Merrill, 1971,-p. 1).
c. Course aims describe the intended outcomes a course, usually in terms of what a student is expected to be able to do as a result of studying that course (Hall, 1975, p. 9).

Dari contoh-contoh definisi tersebut di atas, jelas bahwa yang di-maksud dengan tujuan instruksional adalah kemampuan atau ketrampilan yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa setelah meng-adakan kegiatan belajar.
Tujuan instruksional yang lebih bersitat khusus (spesific) disebut juga "objectives" atau "behavioral objectives" karena seperti dikatakan Kemp "belajar menghendaki usaha yang aktif dari siswa, oleh karena itu semua objectives harus dinyatakan dalam bentuk tingkah laku" (1971, p. 19). Kita menggunakan istilah Tujuan In¬struksional Khusus (TIK) untuk "behavioral objectives" tersebut. Tingkah laku siswa ada yang dapat dilihat, dan diukur (overt-beha¬vior), ada pula yang tak tampak dan tak bisa diukur (covert-behavior).
Diskusi tentang tujuan instruksional lebih menitikberatkan pada tingkah laku yang bisa diamati dan diukur (overt-behavior).
3. Tingkat-tingkat (level of objectives).
a. TIK akhir (terminal objectives): tujuan akhir dari mempelajari suatu topik.
b. Sub TIK (enabling objectives, interin objectives): tujuan "antara" yang diperlukan untuk mencapai terminal objectives.
4. Aspek-aspek TIK (domain of objectives).
Salah satu usaha untuk menyusun daftar umum mengenai penge-lompokan objectives dilakukan oleh Bloom (1956). Menurut Bloom ada 3 aspek "objectives" yakni:
a. Aspek pengenalan (cognitive domain) yang meliputi:
(a) pengetahuan, ingatan +
(b) pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh;
(c) analisis, menguraikan, menentukan hubungan;
(d) sintesis, mengorganisir, merencanakan, membentuk bangunan
(e) baru, dan sebagainya.
(f) mengevaluasi, menilai.
(g) aplikasi.
b. Aspek perasaan (affective domain).
Aspek ini berkenaan dengan sikap, nilai, minat, apresiasi, misalnya sikap untuk menerima, memberikan respon, nilai dan sebagainya.
c. Aspek gerak (psychomotor domain).
(a) Self-paced objectives
(b) Mix-paced objectives
(c) Extemally-paced objectives
Untuk aspek gerak ini Hall (1975, p. 25) membuat klasifikasi sebagai berikut:
1) initiatory level
2) pre routine level
3) routinized level

Mengapa Perlu Perumusan Tujuan Instruksional ?
Di dalam proses belajar mengajar, perumusan tujuan instruksional (objectives) memegang peranan penting. Kegunaan adanya tujuan in-struksional (objectives) dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Objective memberikan kriteria yang pasti, yang dengannya kemajuan belajar siswa dapat diukur, atau tingkat kemampuannya dapat ditentukan secara pasti.
2. Objective memberikan kepastian mengenai kemampuan ketrampilan yang diharapkan dari siswa. .
3. Objective memberikan dasar untuk mengembangkan alat evaluasi untuk mengukur efektifitas pengajaran.
4. Objective memberi petunjuk kepada penyusun disain untuk menentukan materi dan strategi instruksional.
5. Objective tidak hanya berguna bagi penyusun disain dan guru, tapi juga berguna bagi siswa. Bagi siswa, dengan adanya objective akan menjadi jelas petunjuk mengenai apa yang dipelajari dan apa yang akan diujikan/dinilai dalam mengikuti suatu pelajaran.
Singkatnya, objective merupakan petunjuk yang jelas dalam penen¬tuan materi, sumber, alat/media, kegiatan belajar mengajar, dan eva¬luasi.
Demikian pentingnya objective tersebut sampai-sampai Merill (1971, p.1) mengatakan: "Without this information, it is difficult, if not impossible, to outline a zourse that has attained desired level of competence". Juga Hall memandang begitu penting objective tersebut sampai-sampai ia berkata: "The curriculum without aims was compared to a joumey without a destination" (1975, p. 22).
Dikatakan juga bahwa "tiadanya tujuan instruksional dapat membawa frustasi kepada mahasiswa sebab mereka tak tahu tentang apa sebe¬narnya yang dipelajari dari suatu mata kuliah tertentu". Tanpa peru-musan yang tegas, kuliah akan hanya didasarkan atas isi semata-mata, sedang isi pelajaran sebenarnya adalah sekedar alat (tool) untuk men¬capai tujuan.
Meski banyak pihak memandang tujuan instruksional itu penting, namun ada juga kritik atau keberatan terhadap diutamakannya tujuan instruksional, terlebih-lebih tujuan instruksional khusus (objectives). Kritik itu misalnya dikemukakan oleh Popham (1967). Dua hal diajukan keberatan terhadap behavioral objectives:.
1. Ada asumsi bahwa tujuan akhir semua usaha pendidikan adalah untuk mengubah tingkah laku (behavior), dan bahwa perubahan ini terjadi sebab langsung oleh apa yang telah terjadi. Padahal sebenarnya tidak mesti bahwa behavior itu hanya bisa berubah karena proses belajar.
2. Kebanyakan tenaga pengajar (dosen/guru) tak cukup waktu yang diperlukan untuk menyusun “behavioral objectives”.
Kita juga sering mendengar kritik-kritik terhadap behavioral objectives, misalnya aspek affektif adalah sukar dirumuskan dalam bentuk tingkah laku yang bisa diamati dan diukur. Juga kalau tidak tepat penyusunan objectives tersebut, maka tujuan instruksional akan menjadi kabur. Berhubung adanya kritik-kritik tersebut, maka seyogyanya bahwa untuk perkuliahan di perguruan tinggi, tujuan instruksional cukup dirumuskan dalam bentuk yang agak umum, sedangkan untuk SLTA ke bawah perlu dirumuskan secara terperinci.
Bagaimana cara merumuskan tujuan instruksional?
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dikemukakan (1) kriteria perumusan tujuan instruksional yang baik, dan (2) mengenai format penulisan tujuan instruksional.
1. Kriteria perumusan tujuan instruksional yang baik
Para ahli pendidikan dan pengajaran mengakui bahwa dewasa ini ada tuntutan yang besar untuk merumuskan secara jelas mengenai tujuan instruksional. “More that at any previous time in educational history, educators are now being urged to clarify their description of the outcomes they hope to achieve through instructional effort” (Baker, 1971, p.3)
Berhubung dengan itu sangat penting kiranya kita sebagai staf pengajar dapat membedakan perumusan tujuan instruksional yang tepat dan yang tak tepat. Perumusan yang tepat akan menghilangkan keragu-raguan. Semakin jelas tujuan, semakin mudah kita dapat menentukan sequence pengajaran, menyusun alat evaluasi dan sebagainya.
Kriteria perumusan tujuan instruksional yang baik menurut Baker (1971, p.3) hendaknya memuat 4 unsur yakni: (a) A Subject : the learner (murid, siswa, mahasiswa), (b) A Verb : behavior, or behavior product (tingkah laku, hasil tingkah laku), (c) Given conditions: the situation in which the behavior occurs (syarat atau keadaan di saat siswa menunjukkan hasil belajar), dan (d.) Standards: of quality or quantity (derajat atau standar keberhasilan
Kita sering mendengar bahwa TIK harus dirumuskan dalam bentuk tingkah laku yang bisa diamati dan diukur. Empat kriteria tersebut kiranya akan memperjelas apa yang dimaksud dengan perumusan yang bisa diamati dan diukur. Penjelasan lebih lanjut untuk masing-msing unsur adalah sebagai berikut:
(a) A subject: the learner.
Perumusan objective (TIK) yang baik hendaknya menyebutkan secara khusus, secara jelas, siapa yang akan menunjukkan atau mendemonstrasikan hasil belajar, yakni yang melakukan kegiatan belajar. Bila “siapa”nya bukan yang melakukan belajar, maka perumusan objective itu tidak tepat. Subyek belajar ini bisa siswa, mahasiswa, peserta penataran, peserta kursus, dan sebagainya.
(b) A verb: behavior or behavior product
Kata kerja dalam perumusan objective yang baik melukiskan tingkah laku atau hasil tingkah laku. Tingkah laku yang dimaksud adalah: “Any learner performance, action, or operation which is observable” (Baker, 1971, p.6). kata kerja tersebut menjawab pertanyaan “Apakah yang dikerjakan siswadalam artian tingkah laku?” Objective yang berbunyi “Agar siswa dapat menyebutkan nama ke-27 propinsi di seluruh Indonesia secara lisan atau tertulis” melukiskan tingkah laku yang bisa diamati. Kata-kata kerja yang sering digunakan untuk menuliskan objective antara lain: (1) Identifikasi (identify), (2) Menyebutkan (name), (3) Menyusun (construct), (4) Menjelaskan (describe), (5) Mengatur, mengurutkan (order). Sedangkan kata-kata kerja yang dipandang kurang tepat un¬tuk melukiskan objectives misalnya: mengetahui, menerima, memahami , mempelajari , mengerti, menafsirkan, mengira-ngira dan sebagainya.
(c) Given Conditions: The Situation in Which the Behavior Oecurs.
Objective yang baik, menentukan tingkah laku yang ditampilkan oleh siswa di dalam situasi dan kondisi yang diketahui/dipahami oleh siswa, dan yang melakukan evaluasi. Keadaan itu bisa secara natural, bisa juga dleiptakan secara khusus. Contoh: (1) Menyebutkan secara lisan proses pembuatan Undang-Undang, bila kepadanya diberikan Peraturan Tata Tertib DPR, (2) Dengan menggunakan peta buta Indonesia, siswa dapat menujukkan letak ibu kota ke-27 propinsi seluruh Indonesia, dan sebagainya.
Syarat atau keadaan pada dasarya berisi izin/kebolehan, ban¬tuan agar siswa bisa melakukan, atau pembatasan tertentu di saat siswa mendemonstrasikan kemampuannya. "Syarat" bisa dirumuskan secara positif misalnya "dengan meng¬gunakan", atau secara negatif misalnya "tanpa menggunakan". Syarat atau keadaan di saat diadakan evaluasi kadang-kadang mutlak harus disebutkan. Misalnya mahasiswa harus dapat lari 100 m dalam waktu 10 detik. Syaratnya, ia harus lari di tempat yang datar, atau di tempat tanjakan ? Dengan membawa beban atau tidak ? Seorang siswa yang akan dinilai kemampuannya untuk menter-jemahkan, boleh melihat kamus atau tidak ?
d. Standards : Quality or quantity
Unsur terakhir yang harus ada pada obyektive (TIK) yang baik ialah spesifikasi tingkat kemampuan minimal yang bisa dite¬rima (specification of the minimal acceptable level of learner performance). Seberapa tinggikah prestasi siswa telah dianggap memenuhi syarat? Berapa persen sekurang-kurangnya jawaban harus betul? Berapa persen sekurang-kurangnya dari 10 macam tugas harus diselesaikan dengan betul? Pertanyaann tersebut berkenaan dengan standar keberhasilan. Objective yang baik harus mencantumkan standar untuk mengukur tingkah laku atau hasil tingkah laku siswa yang telah dipandang cukup.
"Dapat lari 100 m dalam waktu kurang dari 10 detik" adalah perumusan yang menunjukkan adanya standar. Standar dapat dirumuskan dengan berbagai cara yang menunjukkan kualita, kuantita dan kadang-kadang waktu (namun untuk "waktu" lebih sering digunakan sebagai "syarat", bukan "standar"). Standar keberhasilan ini kadang-kadang ditentukan 100% harus terpenuhi, tapi kadang-kadang boleh kurang dari 100%. Hal ini tergantung dari sifat TIK yang harus dikuasai. Seorang pilot DE 10 misalnya, tentu harus menguasai 100% ketrampilan yang diajarkan. Begitu pun mahasiswa kedokteran yang ingin menjadi ahli bedah. Sebab kalau ketrampilan itu tidak 100% dikuasai semua, akan menimbulkan bencana. Sedang untuk mempelajari nama-nama negara anggota PBB yang jumlahnya ratusan itu, seorang siswa yang mempelajari IPS boleh tidak harus betul 100%.
2. Format Perumusan Tujuan Instruksional
Menuliskan objective tak jauh berbeda dengan menuliskan kalimat; jadi ada subyek, kata kerja, obyek,dan keterangan. Dalam hal ini sebagai subyek adalah siswa, kata kerja menunjukkan apa yang akan dikerjakan, dan keterangan menunjukkan seberapa baik siswa harus menunjukkan kemampuannya, dengan atau tanpa menggunakan alat apa dan dalam keadaan bagaimana.
Format penulisan objective yang mirip dengan penulisan kalimat serta berisikan empat kriteria tersebut di atas dapat diwujudkan dengan format ABCD. Menurut format ini, di dalam suatu TIK, dikehendaki adanya kejelasan mengenai:
A. (Audience) atau sasaran, berisi kejelasan mengenai siapa yang belajar. Semakin jelas semakin baik.
B. (Behavior) suatu kemampuan, ketrampilan, kegiatan atau tingkah laku yang bisa diamati yang menunjukkan bahwa siswa telah berhasil di dalam proses belajar.
C. (Conditions), keadaan, syarat-syarat yang ada di salt diadakan evaluasi.
D. (Degree), standar /ukuran yang menunjukkan bahwa siswa telah mencapai objective (TIK).
Contoh-contoh perumusan TIK untuk ketiga aspek TIK (objective domain) tersebut di atas adalah sebagai berikut (Dengan menggunakan format ABCD):
(a) Aspek pengenalan (Cognitive).
A. Siswa kelas V SD/MIN,
B. Dapat menunjukkan letak lima ibu kota Kabupaten/Kotama¬dya dalam lingkungan wilayah Kota Metro.
C. Bila kepadanya ditunjukkan peta buta mengenai Kota Metro, dan
D. Kelima-limanya harus betul.
(b) Aspek gerak (Psychomotor).
A. Siswa kelas III SD/MIN
B. Dapat menyalin ke dalam huruf latin.
C. Jika kepadanya diberikan setengah halaman tulisan dari huruf cetak.
D. Kesalahan yang boleh terjadi tidak lebih dari 4 kata.
(c) Aspek perasaan (Affective domain)
A. Siswa SD/MIN Kelas VI setelah mendapat pelajaran tentang "Ke¬bersihan".
B. Dapat menunjukkan meningkatnya sikap untuk menjaga kebersihan kelas seperti nampak dalam cara mereka mem¬buang sampah.
C. Di ruang kelas selalu disediakan keranjang sampah, guru tak menyediakan hadiah bagi mereka yang selalu membuang sam¬pah ke tempat sampah.
D. Dalam waktu 3 bulan ke atas, hendaknya tak ada lagi sampah berserakan di lantai kelas.
Catatan:
Di dalam menuliskan TIK dengan menggunakan format ABCD, tidak harus selalu disusun dengan urutan seperti contoh di atas. Yang penting di dalam sebuah TIK ada kejelasan mengenai keempat unsur tadi yakni: Audience, Behavior, Condition, Degree.

PENGERTIAN PERENCANAAN

- Tidak ada komentar

PENGRTIAN PERENCANAAN

Pengertian Perencanaan adalah cara berpikir mengenai persoalan-persoalan sosial dan ekonomi, terutama berorientasi pada masa datang, berkembang dengan hubungan antara tujuan dan keputusan – keputusan kolektif dan mengusahakan kebijakan dan program.

Beberapa ahli lain merumuskan perencanaan sebagai mengatur sumber-sumber yang langka secara bijaksana dan merupakan pengaturan dan penyesuaian hubungan manusia dengan lingkungan dan dengan waktu yang akan datang. Definisi lain dari perencanaan adalah pemikiran hari depan, perencanaan berarti pengelolaan, pembuat keputusan, suatu prosedur yang formal untuk memperoleh hasil nyata, dalam berbagai bentuk keputusan menurut sistem yang terintegrasi.

Menurut Wilson, Pengertian Perencanaan merupakan salah satu proses lain, atau merubah suatu keadaan untuk mencapai maksud yang dituju oleh perencanaan atau oleh orang/badan yang di wakili oleh perencanaan itu. Perencanaan itu meliputi : Analisis, kebijakan dan rancangan.

Ciri-ciri pokok dari perencanaan umum mencakup serangkaian tindakan berurutan yang ditujukan pada pemecahan persoalan-persoalan di masa datang dan semua perencanaan mencakup suatu proses yang berurutan yang dapat di wujudkan sebagai konsep dalam sejumlah tahapan.
Karena tindakannya berurutan, berarti ada tahapan yang dilalui dalam perencanaan, antara lain :

1.Identifikasi Persoalan;
2.Perumusan tujuan umum dan sasaran khusus hingga target-target yang kuantitatif;
3.Proyeksi keadaan di masa akan datang;
4.pencarian dan penilaian berbagai alternative;
5.penyusunan rencana terpilih.

Syarat-Syarat perencanaan yang baik :
  • Logis, masuk akal;
  • Realistik, nyata;
  • Sederhana;
  • Sistematik dan ilmiah;
  • Obyektif;
  • Fleksibel;
  • Manfaat;
  • Optimasi dan efisiensi.
Syarat-syarat perencanaan tersebut ada karena :
  • Limitasi dan kendala;
  • Motivasi dan dinamika;
  • Kepentingan bersama;
  • Norma-norma tertentu.
 Faktor-faktor dasar perencanaan :
  • Sumber daya (alam, manusia, modal, teknologi);
  • Idiologi dan falsafah;
  • Sasaran dari tujuan pembangunan;
  • Dasar Kebijakan;
  • Data dan metode;
  • Kondisi lingkungan, sosial, politik dan budaya.

Perencanaan merupakan hal yang harus kita pahami ketika belajar mengenai Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK). Tanpa memahami makna dari perencanaan itu sendiri, perencanaan suatu wilayah atau kota tidak akan berjalan dengan lancar.
Itulah catatan kuliah penulis tentang Pengertian atau definisi Perencanaan disertai dengan ciri - ciri, syarat, tahapan dan faktor perencanaan. Catatan berikutnya adalah tentang Paradigma Perencanaan dan Model - Model Perencanaan, Jenis Perencanaan serta landasan rasional perlunya perencanaan.


Perencanaan terjadi pada semua kegiatan. Perencanaan merupakan proses awal dimana manajemen memutuskan  tujuan dan cara pencapaiannya. Perencanaan adalah hal yang sangat esensial karena dalam kenyataanya perencanaan memegang peranan lebih bila dibandng dengan fungsi-fungsi manajemen yang lainnya, yaitu pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan. Dimana fungsi-fungsi manajemen tersebeut sebenatnya hanya merupakan pelaksanaan dari hasil sebuah perencanaan 


Berikut ini adalah pengertian dan definisi perencanaan:

Perencanaan adalah suatu proses yang tidak pernah berakhir. Apabila sebuah rencana telah ditetapkan, maka dokumen menyangkut perencanaan terkait harus diimplementasikan Perencanaan adalah pemilihan sekumpulan kegiatan dan pengambilan keputusan tentang "apa yang harus dilakukan, kapan, bagaimana, dan oleh siapa.

1.  DEACON; Perencanaan adalah upaya menyusun berbagai keputusan yang bersifat pokok, yang dipandang paling penting dan yang akan dilaksanakan menurut urutannya guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan
2.  DRUCKER Perencanaan adalah suatu proses yang diorganisasi dan dilaksanakan secara sistematis dengan emnggunakan pengetahuan yang ada sesuai keputusan yang telah ditetapkan bersam
3.  GOETZ; Perencanaan adalah kemampuan memilih satu kemungkinan dari berbagai kemungkinan yang tersedia dan yang dipandang paling tepat untuk mencapai tujuan.
4.  ANONIM; Perencanaan adalah suatu rangkaian kegiatan yang disusun secara sistematis untuk mencapai yujuan yang telah ditetapkan . diputuskan bersama
5.  GEORGE PICKETT & JOHN J. HANLON; Perencanaan adalah proses menentukan bagaimana mencapai suatu tujuan begitu tujuan itu ditetapkan
6.  STONER ; Perencanaan adalahproses menetapkan sasaran dan tindakan yang perlu untuk mencapai sasaran tadi. Perencanaan adalah proses menetapkan sasaran atau tujuan dan tindakan yang perlu untuk mencapai tujuan (goal) tersebut
7.  CUNINGHAM; Perencanaan adalah menyelesi dan menghubungkan pengetahuan, fakta, imajinasi, dan asumsi untuk masa yang akan datang dengan tujuan memvisualisasi dan emformulasi hasil yang diinginkan, urutan kegiatan yang diperlukan, dan perilaku dalam batas-batas yang dapat diterima dan digunakan dalam penyelesaian
8.  HUSEIN UMAR; Perencanaan merupakan kegiatan atau proses membuat rencana yang kelak dipakai perusahaan dalam rangka melaksanakan pencapaian tujuannya

Pengertian perencanaan
Dalam proses manajemen, yang menjadi titik awalnya adalah perencanaan. Jadi perencanaan sebagai awal kita melakukan proses manajemen sebelum kita melakukan pengorganisasian, pengarahan, dan pengontrolan.
Menurut George R. Terry perencanaan adalah: “planning is the selecting and relating of fact and the making and using of assumption regarding the future in the visualization and formulating of proposed activities believed necessary to achieve desired result”.
Dalam pengertian tersebut bisa kita simpulkan antara lain:
  1. Perencanaan merupakan kegiatan yang harus didasarkan pada fakta, data dan keterangan kongkret.
  2. Perencanaan merupakan suatu pekerjaan mental yang memerlukan pemikiran, imajinasi dan kesanggupan melihat ke masa yang akan datang.
  3. Perencanaan mengenai masa yang akan datang dan menyangkut tindakan-tindakan apa yang dapat dilakukan terhadap hambatan yang mengganggu kelancaran usaha.
 Pada intinya perencanaan dibuat sebagai upaya untuk merumuskan apa yang sesungguhnya ingin dicapai oleh sebuah organisasi atau perusahaan serta bagaimana sesuatu yang ingin dicapai tersebut dapat diwujudkan melalui serangkaian rumusan rencana kegiatan tertentu.
2.      Fungsi Perencanaan
Robbins dan Coulter menjelaskan fungsi dari perencanaan sebagai berikut:
  1. Perencanaan sebagai Pengarah
Perencanaan merupakan upaya untuk meraih atau mendapatkan sesuatu secara lebih terkoordinasi. Dalam hal ini perencanaan adalah sebagai pengarah atau guide dalam usaha untuk mencapai tujuan secara lebih terkoordinasi dan terarah.
2.  Perencanaan sebagai Minimalisasi Ketidakpastian
Pada dasarnya di dunia ini tidak ada yang tidak mengalami perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi membawa ketidakpastian bagi organisasi. Kadang perubahan tersebut sesuai dengan apa yang kita inginkan akan tetapi tidak jarang perubahan tersebut tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Ketidak pastian inilah yang harus diminimalisasikan, dengan adanya perencanaan, ketidak pastian yang akan terjadi di kemudian hari diantisipasi sebelumnya.
3.  Perencanaan sebagai Minimalisasi Pemborosan Sumber Daya
Setiap organisasi pasti membutuhkan sumber daya, dengan adanya perencanaan, sebuah organisasi di awal sudah melakukan perencanaan mengenai penggunaan sumber daya sehingga diharapkan tidak terjadi pemborosan dalam hal penggunaan sumber daya yang ada sehingga organisasi tersebut bisa meningkatkan tingkat efisiensinya.
4.  Perencanaan sebagai Penetapan Standar dalam Pengawasan Kualitas.
Perencanaan berfungsi sebagai penetapan standar dalam pengawasan kualitas yang harus dicapai oleh organisasi dan diawasi pelaksanaannya dalam fungsi pengawasan manajemen. Dalam perencanaan, perusahaan menentukan tujuan dan rencana-rencana untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam pengawasan, perusahaan berusaha membandingkan antara tujuan yang telah ditetapkan dengan realita di lapangan, dan mengevaluasi penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi, sehingga bisa mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memperbaiki kinerja perusahaan.
3. Persyaratan Perencanaan
Suatu perencanaan yang baik tentunya harus dirumuskan. Perencanaan yang baik paling tidak memiliki berbagai persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu faktual atau realistis, logis dan rasional, fleksibel, komitmen, dan komprehensif.
Faktual atau realistis. Artinya bahwa perencanaan yang akan ditetapkan oleh organisasi harus sesuai dengan fakta dan kondisi tertentu yang akan di hadapi oleh organisasi.Logis dan rasional. Artinya bahwa perencanaan yang akan dirumuskan dapat diterima oleh akal (logis) dan rasional sehingga dapat di dilaksanakan.
Fleksibel. Artinya bahwa perencanaan yang baik bersifat fleksibel dan tidak kaku. Perencanaan tersebut harus bisa beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi dimasa mendatang.Komitmen. Perencanaan yang baik harus merupakan dan melahirkan komitmen terhadap seluruh anggota organisasi untuk dapat bersama-sama berupaya mewujudkan tujuan organisasi. Komprehensif. Artinya bahwa perencanaan yang baik harus menyeluruh dan mengakomodasi aspek-aspek yang terkait langsung maupun tidak langsung terhadap organisasi. Perencanaan yang baik tidak hanya terkait dengan satu bagian saja, akan tetapi juga mempertimbangkan koordinasi dan integrasi dengan bagian lain dalam organisasi tersebut.

4.      Jenis Perencanaan
Perencanaan mencakup banyak variasi antara lain:
(1) Misi atau Maksud (Mission atau Purpose)
Di dalam masyarakat, setiap entitas mempunyai peran sendiri. Peranan tersebut kemudian menentukan misi atau maksud dari keberadaan mereka dalam masyarakat tersebut. Kalau mereka tidak mempunyai misi atau maksud keberadaan, maka entitas tersebut tidak akan mempunyai eksistensi dalam suatu masyarakat. Misi entitas bisnis biasanya memproduksi dan/atau mendistribusikan barang atau jasa ekonomis
(2)   Tujuan
Tujuan merupakan hasil akhir dimana aktivitas atau kegiatan organisasi diarahkan atau ditujukan. Tujuan merupakan rencana organisasi yang paling dasar. Suatu organisasi secara keseluruhan mempunyai suatu tujuan, kemudian bagian-bagian dalam organisasi tersebut juga mempunyai tujuan masing-masing, akan tetapi tujuan dari masing-masing bagian tersebut harus menyumbang atau mendukung tujuan organisasi secara keseluruhan.
(3) Strategi
Strategi merupakan rencana umum/pokok untuk mencapai tujuan organisasi melalui alternatif pemilihan tindakan yang diperlukan dan alokasi sumber daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
(4) Kebijakan
Kebijakan juga merupakan rencana karena merupakan pernyataan atau pemahaman umum yang membantu mengarahkan pengambilan keputusan, khususna cara berfikirnya bukan aksinya. Seringkali kebijakan merupakan pernyataan tidak tertulis.
(5) Prosedur
Prosedur juga merupakan rencana karena menetapkan cara penanganan suatu aktivitas di masa mendatang. Prosedur lebih mengarahkan tindakan, bukannya mengarahkan cara berpikir. Prosedur menjelaskan secara detail bagaimana suatu aktivitas harus dilakukan.
(6)       Aturan
Aturan merupakan rencana yang dipilih dari beberapa alternatif, dan harus dilakukan, atau tidak dilakukan. Aturan mengharuskan tindakan tertentu yang spesifik dikerjakan, atau tidak dikerjakan, tergantung situasi yang dihadapi. Aturan berkaitan dengan prosedur karena aturan mengarahkan tindakan, tetapi tidak menyebutkan urutan waktu.
(7)  Program
Program merupakan jaringan yang kompleks yang terdiri dari tujuan, kebijakan, prosedur, aturan, penugasan, langkah-langkah yang harus dilakukan, alokasi sumber daya dan elemen lain yang harus diakukan berdasarkan alternatif tindakan yang dipilih. Biasanya modal dan anggaran dipakai untuk mendukung program.
(8) Anggaran
Anggaran adalah merupakan rencana yang dinyatakan dalam angka-angka. Anggaran disamping merupakan alat perencanaan, juga merupakan alat pengendalian.
5. Proses Perencanaan
Proses perencanaan bisa dilihat pada bagan berikut:Proses perencanaan dimulai dengan mempelajari lingkungan eksternal organisasi, kemudian dilanjutkan dengan misi, turun lagi ke tujuan organisasi. Tujuan organisasi merupakan kunci efektivitas organisasi.
Tujuan mempunyai beberapa fungsi:
(1)   Tujuan memberikan dan menyatukan arah kemana organisasi harus bergerak.
(2)   Tujuan dan proses penetapan tujuan akan mempengaruhi perencanaan.
(3)   Tujuan dapat berfungsi sebagai alat motivasi karyawan.
Berdasarkan tujuan organisasi, perencanaan dapat dikelompokkan ke dalam 3 jenis perencanaan, yaitu:
(1)   Perencanaan Strategis
Perencanaan strategis merupakan rencana jangka panjang (lebih dari 5 tahun) untuk mencapai tujuan strategis. Fokus perencanaan ini adalah organisasi secara keseluruhan. Rencana strategis dapat dilihat sebagai rencana secara umum yang menggambarkan alokasi sumberdaya, prioritas, dan langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan strategis. Tujuan strategis biasanya ditetapkan oleh manajemen puncak.
(2)   Perencanaan Taktis
Perencanaan taktis ditujukan untuk mencapai tujuan taktis, yaitu untuk melaksanakan bagian tertentu dari rencana strategis. Rencana ini mempunyai jangka waktu yang lebih pendek (1 – 5 tahun) dibandingkan dengan rencana strategis. Perencanaan taktis biasanya di buat oleh manajemen puncak dan manajemen menengah.
Tujuan taktis biasanya diturunkan dari tujuan strategis. Sebagai contoh, suatu perusahaan mempunyai rencana strategis menstabilkan suplai bahan baku. Rencana taktis kemudian dikembangkan melalui pembelian bahan baku dari perusahaan pensuplai bahan baku.
(3)   Perencanaan Operasional
Perencanaan operasional diturunkan dari perencanaan taktis, mempunyai fokus yang lebih sempit, jangka waktu yang lebih pendek (kurang dari 1 tahun) dan melibatkan manajemen tingkat bawah.
Ada 2 jenis rencana operasional:
a.  Rencana Tunggal (sekali pakai)
Rencana tunggal adalah rencana yang dilakukan sekali pakai, sebagai contoh ketika perusahaan merencanakan ekspansi, pembuatan pabrik baru, penarikan tenaga kerja baru dan lainnya.
b.Rencana Standing
Rencana standing adalah rencana yang bisa dipakai berulang-ulang. Rencana standing bisa menghemat waktu dan tenaga karena rencana ini bisa diterapkan pada situasi yang sama.
6. Perencanaan Situasional
Perencanaan situasional merupakan perencanaan yang memasukkan alternatif perencanaan yang berbeda. Dapat dikatakan perencanaan situasional adalah perencanaan cadangan, apabila rencana A tidak berhasil karena adanya sebab-sebab tertentu maka rencana B dapat dilaksanakan.
Tahap pertama adalah melakukan perencanaan seperti biasanya, yang kemudian dikembangkan dengan mempertimbangkan kejadian-kejadian situasional. Dalam tahap kedua, perencanaan dilaksanakan, kejadian situasional secara formal diidentifikasikan/dirumuskan. Indikator kejadian situasional dirumuskan/ditentukan. Jika indikator tersebut menunjukkan terjadinya kejadian situasional, alternatif rencana situasional dilakukan. Jika tidak ada kejadian situasional, perencanaan yang semula yang dilakukan.
Kejadian situasional yang dipilih merupakan kejadian yang diperkirakan mempunyai efek (dampak) yang paling serius terhadap pelaksanaan rencana organisasi. Perencanaan situasional terutama bermanfaat untuk organisasi dengan lingkungan yang dinamis, dimana ketidakpastian dan perubahan merupakan fenomena yang umum dalam lingkungan tersebut.
7. Beberapa Alat Bantu Bagi Perencanaan
Beberapa alat analisis atau model yang bisa dipergunakan untuk membantu proses perencanaan antara lain Bagan Arus (Flow Chart), Bagan Gantt (Gantt Chart) dan Jaringan PERT (PERT Network)
(1)   Perencanaan dengan Flow Chart
Pendekatan Flow Chart ini biasanya dipakai oleh mereka yang mendalami teknik komputer, teknik atau sistem informasi. Namun pendekatan ini bisa juga dipakai dalam dunia manajemen. Flow Chart adalah model grafis yang menunjukkan model sistem yang menggambarkan kejadian yang berkesinambungan dan keputusan ya atau tidak.
Contoh Flow Chart untuk pembelian buku bacaan
(2)   Penjadwalan Melalui Gantt Chart
Penjadwalan adalah salah satu bagian penting dalam perencanaan. Ketika kegiatan organisasi begitu banyak dan berkesinambungan satu dengan yang lainnya, Gantt Chart pada dasarnya membantu manajer untuk dapat mengaturnya melalui proses penjadwalan. Jadi Gantt Chart adalah teknik penjadwalan secara grafis atas berbagai rencana kegiatan.
Contoh Gantt Chart
(3)   Perencanaan dengan PERT
PERT adalah singkatan dari Program Evaluation and Review Technique. PERT merupakan alat Bantu perencanaan melalui penjadwalan dan penggambaran rencana kerja secara kronologis dan berkelanjutan bagi pekerjaan yang sifatnya tidak rutin, berskala besar maupun kompleks.
Ada 4 konsep yang harus di pahami dalam PERT yaitu:
a.      Event atau kejadian
Indikator dari performa pekerjaan baik sebelum maupun sesudah pekerjaan dilakukan sekaligus juga menunjukkan apakah suatu pekerjaan lain dapat dilakukan atau sebaliknya berdasarkan indikator ini.
b.      Activity atau kegiatan
Bagian dari berbagai pekerjaan yang sedag dalam pengerjaan dari keseluruhan pekerjaan yang berkesinambungan.
c.      Time atau waktu
Menunjukkan perkiraan waktu pengerjaan dari keseluruhan kegiatan sebagaimana diatur dalam jaringan PERT.
d.      Critical Path atau indikator kritis
Menunjukkan waktu kritis bagi pengerjaan kegiatan dalam kerangka path yang dapat diterima atau menunjukkan batas toleransi akan suatu pekerjaan yang dilaksanakan.
8.      Hambatan dalam perencanaan
Perencanaan dan penetapan tujuan mempunyai kemungkinan hambatan. Selain itu, sering pula pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan yang direncanakan. Keadaan ini bisa timbul karena:
(1)   Kurang pengetahuan tentang organisasi;
(2)   Kurang pengetahuan tentang lingkungan;
(3)   Ketidakmampuan melakukan peramalan secara efektif;
(4)   Kesulitan perencanaan operasi-operasi yang tidak berulang;
(5)   Biaya;
(6)   Takut gagal;
(7)   Kurang percaya diri;
(8)   Ketidak sediaan untuk menyingkirkan tujuan-tujuan alternatif.
Menurut Stoner James (1988) ada 2 jenis hambatan utama terhadap pengembangan rencana  yang efektif. Pertama, adalah perlawanan internal para calon perencana terhadap penetapan sasaran dan penyusunan rencana untuk mencapainya. Kedua, yang terdapat di luar perencana, yaitu keengganan dan menolak rencana yang membawa perubahan dalam organisasi.
9.      Cara mengatasi hambatan
Beberapa cara untuk mengatasi hambatan dalam perencanaan:
(1)      Melibatkan para pegawai, terutama mereka yang terkena pengaruh dalam proses perencanaan.
(2)      Memberikan banyak informasi kepada para pegawai tentang rencana dan kemungkinan akibat-akibatnya sehingga mereka memahami perlunya perubahan, manfaat yang diharapkan dan apa yang diperlukan untuk pelaksanaan yang efektif.
(3)       Mengembangkan suatu pola perencanaan dan penetapan yang efektif, suatu “track record” yang berhasil mendorong kepercayaan kepada para pembuat rencana serta menyebabkan rencana baru tersebut diterima.
(4)       Menyadari dampak dari perubahan-perubahan yang diusulkan terhadap para anggota organisasi dan memperkecil gangguan yang tidak perlu.