PENULISAN TIU


Penulisan Tujuan Instruksional Umum (TIU)

Baik menurut model Kemp maupun model Dlek & Carey, maka penentuan tujuan instruksional umum merupakan langkah pertama di dalam penyusunan disain instruksional. Adalah benar bahwa di dalam mengajarkan suatu mata kuliah, bidang studi atau bagian-bagiannya seperti unit perkuliahan atau unit bidang studi, sebagai langkah pertama adalah mengidentifikasi tujuan instruksional umum. Bahkan di dalam mengajarkan modul sebagai unit pelajaran yang kecil pun menurut Dick & Carey (1978, h. 13), iden¬tifikasi tujuan instruksional umum merupakan langkah pertama.
Di mana dapat kita dapatkan sumber untuk menentukan tujuan in-struksional umum tersebut ? Beberapa sumber untuk ini ialah:
1. Kurikulum lembaga pendidikan yang bersangkutan. Di dalam Kurikulum 1975 dari SD sampai SLTA, kita dapat mengetahui tujuan instruksional untuk masing-masing bidang studi. Tidak hanya tujuan instruksional, bahkan tujuan kurikuler dan tujuan in¬struksional pun tercantum di dalam SK Menteri P & K No. 08/U/1975 yang mengatur tentang kurikulum tersebut.
2. Pendapat ahli bidang studi. Di dalam berbagai bidang studi, para ahli bidang studi yang bersangkutan telah banyak mengemukakan pendapatnya mengenai tujuan di dalam mempelajari suatu bidang studi.
3. Hasil analisis tugas. Dengan menganalisis orang-orang yang melakukan tugas atau pekerjaan dalam bidang tertentu, akan didapatkan apakah sebenarnya tujuan instruksional di dalam mempelajari bidang tersebut.
4. Hasil observasi. Dengan mengamati secara teliti apa yang dikerjakan oleh seseorang di dalam tugas tertentu, kita akan memperoleh informasi mengenai tujuan yang harus dicapai di dalam mempelajari bidang tersebut.
Bagi lembaga pendidikan atau sekolah yang telah memiliki kurikulum yang lengkap dengan perumusan tujuan institusional, tujuan kurikuler dan tujuan instruksional, adalah mudah bagi penyusunan disain instruksional untuk mengembangkan lebih lanjut. Meski pada umumnya apa yang tercantum di dalam kurikulum tersebut masih bersifat terlalu umum (luas), namun ia dapat dipakai sebagai pedoman. Tetapi, bagi lembaga pendidikan yang belum mempunyai petunjuk lengkap mengenai penjabaran kurikulumnya, adalah perlu bagi para tenaga pengajar atau pengembang sistem pengajaran di lem¬baga tersebut memiliki ketrampilan di dalam merumuskan tujuan in¬struksional.
Di Indonesia hal ini banyak terjadi di Perguruan Tinggi. Perhatian un¬tuk menyusun silabi perkuliahan terasa masih kurang. Terlebih bila se-ring terjadi perubahan kurikulum, maka kegiatan penyusunan silabi yang isinya antara lain berupa perumusan tujuan instruksional umum menjadi terlantar.
Sub bab ini dimaksudkan untuk memberikan kepada pembaca secara garis besar mengenai konsep tujuan instruksional dan bagaimana cara mengidentifikasinya.
Konsep
Tujuan Instruksional Umum di sini dimaksudkan terjemahan dari istilah instructional goal, untuk membedakannya dengan istilah tujuan instruksional khusus (terjemahan dari instructional objectives) .
Apakah yang dimaksudkan dengan Tujuan Instruksional Umum (TIU)?
1. Di dalam SK Menteri P & K No. 8/U/1975, Tujuan Instruksional
Umum (TIU) diartikan sebagai "tujuan-tujuan yang pencapaiannya dibebankan kepada program pengajaran sesuatu bidang pelajaran" .
2. Menurut Gene E. Hall & Howard L. Jones (1976 H. 28). Tujuan Instruksional Umum adalah pernyataan umum mengenai hasil suatu program pengajaran.
3. Menurut Dlek & Carey (1978, h. 14), Tujuan Instruksional Umum adalah suatu pemyataan yang menjelaskan mengenai kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa setelah mereka selesai mengikuti suatu pengajar.
4. Menurut Briggs (1979, p.54), tujuan instruksional umum didefinisikan sebagai pernyataan umum mengenai tujuan akhir dari setiap program pengajaran.
Apakah yang bisa kita simpulkan dari keempat definisi tersebut? Pertama ialah bahwa TIU senantiasa mempunyai arti sebagai hasil belajar siswa setelah selesai belajar, bukan berkenaan dengan apa yang dikerjakan oleh guru. Kedua, TIU senantiasa dirumuskan dalam bentuk pernyataan yang bersifat umum.
Sesuai dengan namanya TIU merupakan pernyataan umum mengenai hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh siswa setelah mengikuti suatu program pengajaran. Seberapa jauh “umum” suatu TIU bila dibandingkan dengan tujuan yang lebih bersifat khusus? Dalam hal ini ada beberapa pandangan:
1. Kurikulum 1975, memberi sifat umum TIU lebih didasarkan atas kata kerja yang digunakan untuk merumuskan tujuan instruksional tersebut. Misalnya TIU bidang studi PMP menurut GBPP II B.
Tujuan Kurikuler Tujuan Instruksional
2.3 Siswa mengetahui dan memahami serta dapat melaksanakan kewajiban dan hak yang harus dilakukan dalam kehidupan masyarakat. 2.3.1 Siswa mengetahui dan memahami hak dan kewajiban yang harus dilakukan dalam masyarakat.
2.3.2 Siswa menyadari dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat.

Di dalam contoh tersebut kata-kata “memahami”, “menyadari” dipakai sebagai tanda bahwa perumusan tujuan tersebut bersifat umum. Namun kadang-kadang juga tidak konsisten. Sebab, di dalam perumusan yang dikatakan sebagai bersifat umum tersebut telah pula digunakan kata-kata “dapat melaksanakan” yang kiranya termasuk kategori kata kerja yang bersifat khusus, bersifat operasional, dapat diukur dan diamati hasilnya. Berbeda dengan kata-kata “memahami” yang diklasifikasikan sebagai bersifat umum, tidak operasional, tidak bisa diamati dan diukur hasilnya.
Juga kalau dikatakan bahwa TIU merupakan penjabaran dari tujuan kurikuler, maka sifat penjabarannya kurang jelas. Perumusan 2.3 dengan 2.3.1 dan 2.3.2 tidaklah secara tegas merupakan hubungan yang bersifat penjabaran. Dengan demikian sebenarnya agak sukar menurut GBPP tersebut membedakan tujuan kurikuler dengan tujuan instruksional umum.
2. Luas lingkup materi ada pendapat yang menggunakan luas lingkup materi untuk menunjukkan sifat umumnya tujuan instruksional. Sebagai contoh adalah pendapat Ely (1979, h.1). Ia mengatakan bahwa tujuan instruksional umum adalah deskripsi umum mengenai maksud suatu program pengajaran yang meliputi suatu mata kuliah atau suatu unit perkuliahan. Menurut batasan ini, perumusan yang berbunyi “Agar mahasiswa memiliki ketrampilan di dalam menyusun satuan pelajaran menurut model PPSI” bagi mahasiswa yang menempuh mata kuliah metodik, adalah termasuk TIU meski kata kerja yang digunakan “memiliki ketrampilan menyusun” sudah bersifat operasionla, dapat diamati dan diukur hasilnya.
Sifat “keumumannya” adalah terletak pada materi pelajaran yang tercakup di dalamnya. Materi yang tercakup di dalam “penyusunan satuan pelajaran” adalah luas. Kegiatan tersebut meliputi merumuskan TIK, menyusun alat evaluasi, menentukan materi, metode, media, alat, dan seterusnya.
Karena sifatnya yang umum tersebut maka TIU masih bisa dijabarkan menjadi tujuan yang bersifat khusus. Istilah untuk ini adalah Tujuan Instruksional Khusus (TIK) terjemahan dari “instructional objectives”. Hal ini sesuai dengan pendapat Gene E. Hall & Howard L. Jones (1976, h. 28-29) yang menyatakan bahwa “TIU dapat dijabarkan menjadi kompetensi, kompetensi dijabarkan menjadi sub kompetensi dan sub kompetensi dijabarkan menjadi TIK”.
Istilah “Umum” tersebut kiranya lebih tepat kalau untuk menunjukkan sifat “luasnya materi” yang tercakup di dalam perumusan tersebut, bukan menunjuk kepada kata kerja yang digunakan seperti yang lazim terdapat pada Kurikulum 1975. kata “menyadari” misalnya adalah sukar untuk diamati dan diukur.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan di dalam menentukan TIU:
1. Kebutuhan untuk mengajarkan TIU tersebut, pentingkah TIU tersebut diajarkan kepada siswa ?
2. Ahli dalam bidang yang akan diajarkan. Bila penyusun disain instruksional sekaligus sebagai ahli bidang studi yang bersangkutan, maka tak akan terjadi kesulitan. Bila penyusun disain instruksional bukan merupakan ahli bidang studi yang disusunnya, maka ia perlu bekerja sama dengan ahu bidang yang bersangkutan untuk memperoleh kebenaran ilmu bidang studi tersebut. Pada perguruan tinggi, biasanya banyak ahli-ahli bidang studi. Hal ini bisa diadakan kerja sama di dalam penyu¬sunan disain instruksional.
3. Materi pelajaran. Apakah materi yang diajarkan bersifat stabil, bertahan sampai beberapa tahun ? Bila tidak, maka tidak perlu disusun TIU untuk diajarkan. Hal ini untuk mencegah pemborosan waktu, tenaga dan biaya.
4. Jenis kemampuan atau tingkah laku sebagai indikator tercapainya TIU. Pertama-tama, perlu diperhatikan bahwa kemampuan atau tingkah laku yang siswa diharapkan dapat memilikinya adalah penting. Kedua, bahwa kemampuan atau tingkah laku yang akan diajarkan tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang tersedia. Tidak terlalu sedikit, tapi juga tidak terlalu banyak memakan waktu. Ketiga, bahwa kemampuan atau tingkah laku tersebut tidak terlalu luas dan rumit.
5. Siswa dan kesulitan yang pernah dihadapi. Adakah siswa yang akan mempelajari TIU tersebut? Di negara-negara yang menganut sistem kurikulum bersifat terbuka, artinya siswa boleh memilih bidang studi atau mata kuliah yang disu¬kainya, memang parlu diperhatikan apakah TIU yang disusun ada siswanya atau tidak.
Di Indonesia, di mana kebanyakan dianut sistem kurikulum yang -telah pasti pada setiap lembaga pendidikan, kiranya tak ada persoalan mengenai ada tidaknya siswa. Siswa atau mahasiswa selalu ada, dan mereka wajib mempelajari semua bidang studi yang telah ditentukan. Yang perlu diperhatikan adalah pengembangan kurikulum itu sendiri secara lebih sempuma. Di sini yang penting ialah bagian-bagian bidang studi yang siswa mengalami kesulitan di dalam mempelajarinya.
Guru atau dosen yang berpengalaman akan dapat mengidentifikasi konsep, prinsip, atau problem-problem tertentu yang sukar dipelajari oleh siswa.
Dari lima hal yang perlu diperhatikan di dalam menentukan TI, tiga di antaanya adalah yang teramat penting yakni (1) luas materi, (2) ahli bidang studi, (3) siswa. Oleh karena itu, Dick & Carey (1978, h.17) menyarankan bahwa sebelum memilih dan menentukan TIU, maka perlu diperhatikan bahwa telah tersedia:
(1) Ahli bidang studi yang akan diajarkan.
(2) Siswa yang akan mempelajarinya.
(3) Materi pelajaran yang sesuai dengan waktu yang tersedia.
Kriteria TIU yang baik.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk menyusun dan menilai TIU: (1) Apakah di dalam merumuskan TIU digunakan kata-kata kerja yang menunjukkan tingkah laku yang harus dilakukan oleh siswa? (2)Apakah TIU tersebut terlalu luas, terlalu sedikit atau cukup sesuai dengan waktu yang tersedia dan kebutuhan siswa? (3) Apakah TIU tersebut jelas atau kabur?
Berdasarkan kriteria tersebut, maka perumusan TIU yang baik hendaknya menjelaskan tingkah laku yang orang lain bisa mengamati terhadap apa yang dilakukan siswa. Tingkah laku sebagai hasil belajar ini hendaknya bisa diukur dan diamati. Tingkah laku ini hendaknya bisa dipergunakan sebagai bukti bahwa TIU telah tercapai. Dengan kata lain, perumusan TIU tersebut, baik lisan maupun tertulis, dapat dinilai, dan keputusan dapat diambil mengenai tercapai tidaknya tujuan yang dimaksud.
Perumusan TIU yang tidak menunjukkan tingkah laku dan tidak bisa diamati akan membawa kesulitan di dalam pengukurannya. Karena itu yang demikian ini perlu dihindarkan. Contoh “Agar siswa dapat menikmati lukisan batik modern” atau “agar siswa menyadari pentingnya demokrasi” adalah sukar diamati dan sukar diukur.
Waktu yang diperlukan bagi guru untuk menyiapkan rencana pengajaran, dan bagi siswa untuk mempelajari dan mencapai TIU tersebut dapat dipergunakan untuk mempertimbangkan apakah suatu TIU terlalu luas, terlalu sedikit atau cukup.
Unit pengajaran yang terlalu luas atau banyak akan menyulitkan siswa. Unit pengajaran yang terlalu sediki dan terlalu ringan akan kurang memberikan tantangan kepada siswa. Oleh karena itu, pemilihan unit pengajaran yang sesuai dengan waktu yang tersedia adalah penting sekali.
Maksud atau isi TIU hendaknya jelas, tidak kabur. Unit atau topik yang menggambarkan dengan jelas mengenai isi ataupun ketrampilan yang dipelajari akan memudahkan siswa di dalam mempelajarinya.
Ada bidang-bidang studi yang TIU-nya mudah dirumuskan, misalnya” ketrampilan teknik, matematika. Sementara itu ada pula bidang studi yang sukar utuk dirumuskan TIU-nya misalnya: filsafat, agama.
Kesimpulan dari uraian di atas ialah bahwa banyak faktor yang perlu dipertimbangkan di dalam menilai apakah TIU untuk suatu unit pengajaran dapat tepat untuk sekelompok siswa tertentu. Faktor-faktor itu antara lain: waktu yang tersedia, sistematika materi, macam kegiatan belajar, karaktristik siswa dan sebagainya.
Penulisan Tujuan Instruksional Khusus
Penulisan Tujuan Instruksionai Khusus (TIK) merupakan langkah yang sangat penting dalam proses penyusunan disain instruksional. Sebab TIK ini: menentukan dengan tepat apakah ketrampilan, penge¬tahuan dan sikap yang harus dimiliki oleh siswa setelah mengikuti suatu pelajaran. Para guru/pendidik tak ayal lagi, perlu memiliki ketrampilan dalam penulisan TIK ini. Namun lebih penting lagi ialah melaksanakan dengan tepat TIK yang telah dirumuskan. Uraian berikut diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan ketrampilan para guru, dosen ataupun pendidik lainnya tentang penulisan TIK yang tepat.
1. Istilah
Sehari-hari kita mengenal istilah-istilah seperti tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan instruksional umum, dan tujuan instruk¬sional khusus. Ely (1979, h.3) membedakan tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus ditinjau dari segi "spesifik tidaknya tujuan itu dirumuskan".
TIU menjelaskan kemampuan, ketrampilan, dan pengetahuan yang bersifat umum dan luas, sedang TIK menjelaskan tingkah laku khusus atau spesifik yang perlu dimiliki oleh siswa setelah belajar. Kita mengenal juga istilah course aims, course goals, educational outcomes, learning outcomes, learning objectives, instructional objectives, behavioral objectives, instructional product, etc.
2. Definisi
Pendapat lama dalam memberikan pengertian istilah-istilah tersebut di atas ada yang meninjau dari segi kegiatan guru. Misalnya ada yang merumuskan tujuan instruksional dengan kalimat "untuk mengajarkan hukum bejana berhubungan". Perumusan yang demikian disebut "teacher centered".
Menurut pendapat sekarang, apa yang dirumuskan di dalam tujuan instruksional adalah hasil belajar siswa, bukan apa yang akan diker¬jakan oleh guru di dalam kegiatan mengajar. Perumusan yang demikian disebut "learner centered". Beberapa definisi mengenai tujuan instruksional adalah sebagai berikut:
a. The instructional goal is a statement that deseribes what it is that student will be able to do after they have completed instruction . (Dlek & Carey, 1978, p. 14).
b. Objectives are goals for, or desired outcomes of, and are expres-sed in terms of observable behavior or performance of the learner (Merrill, 1971,-p. 1).
c. Course aims describe the intended outcomes a course, usually in terms of what a student is expected to be able to do as a result of studying that course (Hall, 1975, p. 9).

Dari contoh-contoh definisi tersebut di atas, jelas bahwa yang di-maksud dengan tujuan instruksional adalah kemampuan atau ketrampilan yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa setelah meng-adakan kegiatan belajar.
Tujuan instruksional yang lebih bersitat khusus (spesific) disebut juga "objectives" atau "behavioral objectives" karena seperti dikatakan Kemp "belajar menghendaki usaha yang aktif dari siswa, oleh karena itu semua objectives harus dinyatakan dalam bentuk tingkah laku" (1971, p. 19). Kita menggunakan istilah Tujuan In¬struksional Khusus (TIK) untuk "behavioral objectives" tersebut. Tingkah laku siswa ada yang dapat dilihat, dan diukur (overt-beha¬vior), ada pula yang tak tampak dan tak bisa diukur (covert-behavior).
Diskusi tentang tujuan instruksional lebih menitikberatkan pada tingkah laku yang bisa diamati dan diukur (overt-behavior).
3. Tingkat-tingkat (level of objectives).
a. TIK akhir (terminal objectives): tujuan akhir dari mempelajari suatu topik.
b. Sub TIK (enabling objectives, interin objectives): tujuan "antara" yang diperlukan untuk mencapai terminal objectives.
4. Aspek-aspek TIK (domain of objectives).
Salah satu usaha untuk menyusun daftar umum mengenai penge-lompokan objectives dilakukan oleh Bloom (1956). Menurut Bloom ada 3 aspek "objectives" yakni:

a. Aspek pengenalan (cognitive domain) yang meliputi:
(1) pengetahuan, ingatan +
(2) pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh;
(3) analisis, menguraikan, menentukan hubungan;
(4) sintesis, mengorganisir, merencanakan, membentuk bangunan
baru, dan sebagainya.
(5) mengevaluasi, menilai.
(6) aplikasi.
b. Aspek perasaan (affective domain).
Aspek ini berkenaan dengan sikap, nilai, minat, apresiasi, misalnya sikap untuk menerima, memberikan respon, nilai dan sebagainya.
c. Aspek gerak (psychomotor domain).
(1) Self-paced objectives
(2) Mix-paced objectives
(3) Extemally-paced objectives
Untuk aspek gerak ini Hall (1975, p. 25) membuat klasifikasi sebagai berikut:
1) initiatory level
2) pre routine level
3) routinized level

Mengapa Perlu Perumusan Tujuan Instruksional ?
Di dalam proses belajar mengajar, perumusan tujuan instruksional (objectives) memegang peranan penting. Kegunaan adanya tujuan in-struksional (objectives) dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Objective memberikan kriteria yang pasti, yang dengannya kemajuan belajar siswa dapat diukur, atau tingkat kemampuannya dapat ditentukan secara pasti.
2. Objective memberikan kepastian mengenai kemampuan ketrampilan yang diharapkan dari siswa. .
3. Objective memberikan dasar untuk mengembangkan alat evaluasi untuk mengukur efektifitas pengajaran.
4. Objective memberi petunjuk kepada penyusun disain untuk menentukan materi dan strategi instruksional.
5. Objective tidak hanya berguna bagi penyusun disain dan guru, tapi juga berguna bagi siswa. Bagi siswa, dengan adanya objective akan menjadi jelas petunjuk mengenai apa yang dipelajari dan apa yang akan diujikan/dinilai dalam mengikuti suatu pelajaran.
Singkatnya, objective merupakan petunjuk yang jelas dalam penen¬tuan materi, sumber, alat/media, kegiatan belajar mengajar, dan eva¬luasi.
Demikian pentingnya objective tersebut sampai-sampai Merill (1971, p.1) mengatakan: "Without this information, it is difficult, if not impossible, to outline a zourse that has attained desired level of competence". Juga Hall memandang begitu penting objective tersebut sampai-sampai ia berkata: "The curriculum without aims was compared to a joumey without a destination" (1975, p. 22).
Dikatakan juga bahwa "tiadanya tujuan instruksional dapat membawa frustasi kepada mahasiswa sebab mereka tak tahu tentang apa sebe¬narnya yang dipelajari dari suatu mata kuliah tertentu". Tanpa peru-musan yang tegas, kuliah akan hanya didasarkan atas isi semata-mata, sedang isi pelajaran sebenarnya adalah sekedar alat (tool) untuk men¬capai tujuan.
Meski banyak pihak memandang tujuan instruksional itu penting, namun ada juga kritik atau keberatan terhadap diutamakannya tujuan instruksional, terlebih-lebih tujuan instruksional khusus (objectives). Kritik itu misalnya dikemukakan oleh Popham (1967). Dua hal diajukan keberatan terhadap behavioral objectives:.
1. Ada asumsi bahwa tujuan akhir semua usaha pendidikan adalah untuk mengubah tingkah laku (behavior), dan bahwa perubahan ini terjadi sebab langsung oleh apa yang telah terjadi. Padahal sebenarnya tidak mesti bahwa behavior itu hanya bisa berubah karena proses belajar.
2. Kebanyakan tenaga pengajar (dosen/guru) tak cukup waktu yang diperlukan untuk menyusun “behavioral objectives”.
Kita juga sering mendengar kritik-kritik terhadap behavioral objectives, misalnya aspek affektif adalah sukar dirumuskan dalam bentuk tingkah laku yang bisa diamati dan diukur. Juga kalau tidak tepat penyusunan objectives tersebut, maka tujuan instruksional akan menjadi kabur. Berhubung adanya kritik-kritik tersebut, maka seyogyanya bahwa untuk perkuliahan di perguruan tinggi, tujuan instruksional cukup dirumuskan dalam bentuk yang agak umum, sedangkan untuk SLTA ke bawah perlu dirumuskan secara terperinci.
Bagaimana cara merumuskan tujuan instruksional?
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dikemukakan (1) kriteria perumusan tujuan instruksional yang baik, dan (2) mengenai format penulisan tujuan instruksional.
1. Kriteria perumusan tujuan instruksional yang baik
Para ahli pendidikan dan pengajaran mengakui bahwa dewasa ini ada tuntutan yang besar untuk merumuskan secara jelas mengenai tujuan instruksional. “More that at any previous time in educational history, educators are now being urged to clarify their description of the outcomes they hope to achieve through instructional effort” (Baker, 1971, p.3)
Berhubung dengan itu sangat penting kiranya kita sebagai staf pengajar dapat membedakan perumusan tujuan instruksional yang tepat dan yang tak tepat. Perumusan yang tepat akan menghilangkan keragu-raguan. Semakin jelas tujuan, semakin mudah kita dapat menentukan sequence pengajaran, menyusun alat evaluasi dan sebagainya.
Kriteria perumusan tujuan instruksional yang baik menurut Baker (1971, p.3) hendaknya memuat 4 unsur yakni: (a) A Subject : the learner (murid, siswa, mahasiswa), (b) A Verb : behavior, or behavior product (tingkah laku, hasil tingkah laku), (c) Given conditions: the situation in which the behavior occurs (syarat atau keadaan di saat siswa menunjukkan hasil belajar), dan (d.) Standards: of quality or quantity (derajat atau standar keberhasilan
Kita sering mendengar bahwa TIK harus dirumuskan dalam bentuk tingkah laku yang bisa diamati dan diukur. Empat kriteria tersebut kiranya akan memperjelas apa yang dimaksud dengan perumusan yang bisa diamati dan diukur. Penjelasan lebih lanjut untuk masing-msing unsur adalah sebagai berikut:
(a) A subject: the learner.
Perumusan objective (TIK) yang baik hendaknya menyebutkan secara khusus, secara jelas, siapa yang akan menunjukkan atau mendemonstrasikan hasil belajar, yakni yang melakukan kegiatan belajar. Bila “siapa”nya bukan yang melakukan belajar, maka perumusan objective itu tidak tepat. Subyek belajar ini bisa siswa, mahasiswa, peserta penataran, peserta kursus, dan sebagainya.

(b) A verb: behavior or behavior product
Kata kerja dalam perumusan objective yang baik melukiskan tingkah laku atau hasil tingkah laku. Tingkah laku yang dimaksud adalah: “Any learner performance, action, or operation which is observable” (Baker, 1971, p.6). kata kerja tersebut menjawab pertanyaan “Apakah yang dikerjakan siswadalam artian tingkah laku?” Objective yang berbunyi “Agar siswa dapat menyebutkan nama ke-27 propinsi di seluruh Indonesia secara lisan atau tertulis” melukiskan tingkah laku yang bisa diamati. Kata-kata kerja yang sering digunakan untuk menuliskan objective antara lain: (1) Identifikasi (identify), (2) Menyebutkan (name), (3) Menyusun (construct), (4) Menjelaskan (describe), (5) Mengatur, mengurutkan (order). Sedangkan kata-kata kerja yang dipandang kurang tepat un¬tuk melukiskan objectives misalnya: mengetahui, menerima, memahami , mempelajari , mengerti, menafsirkan, mengira-ira dan sebagainya.
(c) Given Conditions: The Situation in Which the Behavior Oecurs.
Objective yang baik, menentukan tingkah laku yang ditampilkan oleh siswa di dalam situasi dan kondisi yang diketahui/dipahami oleh siswa, dan yang melakukan evaluasi. Keadaan itu bisa secara natural, bisa juga dleiptakan secara khusus. Contoh: (1) Menyebutkan secara lisan proses pembuatan Undang-Undang, bila kepadanya diberikan Peraturan Tata Tertib DPR, (2) Dengan menggunakan peta buta Indonesia, siswa dapat menujukkan letak ibu kota ke-27 propinsi seluruh Indonesia, dan sebagainya.
Syarat atau keadaan pada dasarya berisi izin/kebolehan, ban¬tuan agar siswa bisa melakukan, atau pembatasan tertentu di saat siswa mendemonstrasikan kemampuannya. "Syarat" bisa dirumuskan secara positif misalnya "dengan meng¬gunakan", atau secara negatif misalnya "tanpa menggunakan". Syarat atau keadaan di saat diadakan evaluasi kadang-kadang mutlak harus disebutkan. Misalnya mahasiswa harus dapat lari 100 m dalam waktu 10 detik. Syaratnya, ia harus lari di tempat yang datar, atau di tempat tanjakan ? Dengan membawa beban atau tidak ? Seorang siswa yang akan dinilai kemampuannya untuk menter-jemahkan, boleh melihat kamus atau tidak ?

d. Standards : Quality or quantity
Unsur terakhir yang harus ada pada obyektive (TIK) yang baik ialah spesifikasi tingkat kemampuan minimal yang bisa dite¬rima (specification of the minimal acceptable level of learner performance). Seberapa tinggikah prestasi siswa telah dianggap memenuhi syarat? Berapa persen sekurang-kurangnya jawaban harus betul? Berapa persen sekurang-kurangnya dari 10 macam tugas harus diselesaikan dengan betul? Pertanyaann tersebut berkenaan dengan standar keberhasilan. Objective yang baik harus mencantumkan standar untuk mengukur tingkah laku atau hasil tingkah laku siswa yang telah dipandang cukup.
"Dapat lari 100 m dalam waktu kurang dari 10 detik" adalah perumusan yang menunjukkan adanya standar. Standar dapat dirumuskan dengan berbagai cara yang menunjukkan kualita, kuantita dan kadang-kadang waktu (namun untuk "waktu" lebih sering digunakan sebagai "syarat", bukan "standar"). Standar keberhasilan ini kadang-kadang ditentukan 100% harus terpenuhi, tapi kadang-kadang boleh kurang dari 100%. Hal ini tergantung dari sifat TIK yang harus dikuasai. Seorang pilot DE 10 misalnya, tentu harus menguasai 100% ketrampilan yang diajarkan. Begitu pun mahasiswa kedokteran yang ingin menjadi ahli bedah. Sebab kalau ketrampilan itu tidak 100% dikuasai semua, akan menimbulkan bencana. Sedang untuk mempelajari nama-nama negara anggota PBB yang jumlahnya ratusan itu, seorang siswa yang mempelajari IPS boleh tidak harus betul 100%.

2. Format Perumusan Tujuan Instruksional
Menuliskan objective tak jauh berbeda dengan menuliskan kalimat; jadi ada subyek, kata kerja, obyek,dan keterangan. Dalam hal ini sebagai subyek adalah siswa, kata kerja menunjukkan apa yang akan dikerjakan, dan keterangan menunjukkan seberapa baik siswa harus menunjukkan kemampuannya, dengan atau tanpa menggunakan alat apa dan dalam keadaan bagaimana.
Format penulisan objective yang mirip dengan penulisan kalimat serta berisikan empat kriteria tersebut di atas dapat diwujudkan dengan format ABCD. Menurut format ini, di dalam suatu TIK, dikehendaki adanya kejelasan mengenai:
A (Audience) atau sasaran, berisi kejelasan mengenai siapa yang belajar. Semakin jelas semakin baik.
B (Behavior) suatu kemampuan, ketrampilan, kegiatan atau tingkah laku yang bisa diamati yang menunjukkan bahwa siswa telah berhasil di dalam proses belajar.
C (Conditions), keadaan, syarat-syarat yang ada di salt diadakan evaluasi.
D (Degree), standar /ukuran yang menunjukkan bahwa siswa telah mencapai objective (TIK).
Contoh-contoh perumusan TIK untuk ketiga aspek TIK (objective domain) tersebut di atas adalah sebagai berikut (Dengan menggunakan format ABED):

(a) Aspek pengenalan (Cognitive).
A. Siswa kelas V SD/MIN
B. Dapat menunjukkan letak lima ibu kota Kabupaten/Kotama¬dya dalam lingkungan wilayah Kota Metro.
C. Bila kepadanya ditunjukkan peta buta mengenai Kota Metro.
D. Kelima-limanya harus betul.
(b) Aspek gerak (Psychomotor).
A. Siswa kelas III SD/MIN
B. Dapat menyalin ke dalam huruf latin.
C. Jika kepadanya diberikan setengah halaman tulisan dari huruf cetak.
D. Kesalahan yang boleh terjadi tidak lebih dari 4 kata.
(c) Aspek perasaan (Affective domain)
A. Siswa SD/MIN Kelas VI setelah mendapat pelajaran tentang "Ke-bersihan".
B. Dapat menunjukkan meningkatnya sikap untuk menjaga kebersihan kelas seperti nampak dalam cara mereka mem¬buang sampah.
C. Di ruang kelas selalu disediakan keranjang sampah, guru tak menyediakan hadiah bagi mereka yang selalu membuang sam-pah ke tempat sampah.
D. Dalam waktu 3 bulan ke atas, hendaknya tak ada lagi sampah berserakan di lantai kelas.

Catatan:
Di dalam menuliskan TIK dengan menggunakan format ABCD, tidak harus selalu disusun dengan urutan seperti contoh di atas. Yang penting di dalam sebuah TIK ada kejelasan mengenai keempat unsur tadi yakni: Audience, Behavior, Condition, Degree.
Contoh: CABD,ABCD,ACBD,BCAD. AB TIK yang umum dipakai
Dengan menggunakan Pembukaan UUD 1945 sebagai pedoman (C), siswa SMA/MA Kelas III (A) dapat: (a) menyebutkan jumlah alinea Pembukaan, dan (b) menuliskan isi dari tiap-tiap alinea (B). Hendaknya disebutkan dengan urut, singkat dan menggunakan kalimat sendiri (D).

1 on: "PENULISAN TIU"