PENYUSUNAN TES PENGUKURAN KEBERHASILAN

Penyusunan Tes Pengukur Keberhasilan (Criterion Referenced Test) Setiap guru ataupun pendidik tentu selalu dihadapkan pada tugas untuk menilai kemampuan anak didik. Berbagai instrumen telah banyak digunakan untuk keperluan tersebut. Di antaranya yang paling populer ialah tes yang dibuat oleh dosen atau guru untuk menentukan nilai (grade). Seringkali tes tersebut dibuat setelah pelajaran atau kuliah selesai. Tentang sukar atau mudahnya tes ini tergantung pada pendapat dosen atau guru mengenai pelajaran yang diberikan. Bentuk dan jumlah tes pun tergantung kemampuan dan kesu¬kaan guru untuk membuatnya, tidak tergantung pada materi yang telah diajarkan. Di samping itu terutama di negara-negara maju telah ada profesi penyusunan tes untuk berbagai bidang studi. Di Indonesia masih dalam taraf perintisan untuk menyusun semacam bank tes. Proses penyusunan tes ini sedemikian sistematis, sehingga diharapkan tes tersebut betul-betul sahih (valid). Dewasa ini ada perubahan di dalam penyusunan tes. Hal ini menurut Dick & Carey (1978, h. 78) adalah akibat dari pengaruh Mager yang menulis tentang tujuan instruksional yang bersifat tingkah laku (behavioral objectives). Dengan meningkatnya perhatian terhadap perumusan tujuan yang ber¬sifat tingkah laku ini, maka tes pun kemudian diarahkan untuk meng¬ukur apakah tingkah laku yang diharapkan sebagai hasil belajar telah dimiliki oleh siswa atau belum. Menurut konsep ini siswa diberitahu dan diajarkan tentang pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang harus mereka miliki, setelah itu dites untuk mengetahui apakah mereka telah berhasil. Tes yang didisain atau direncanakan untuk mengukur tercapainya tujuan instruksional disebut tes pengukur keberhasilan (criterion-referenced tests). Tes ini mempunyai peranan penting untuk: (1) menilai kemajuan siswa, (2) memberikan informasi mengenai efektifitas program pengajaran. Hasil tes ini memberitahu kepada guru seberapa jauh siswa dapat mencapai tujuan instruksional yang telah ditentukan: Oleh karena itulah tes pengukur keberhasilan ini memegang peranan penting di dalam pro¬ses penyusunan disain instruksional. Mengapa penyusunan tes ini dilakukan segera setelah ditentukan TIK, tidak setelah proses penyusunan disain atau pengajaran terakhir ? Alasan yang utama ialah bahwa tes yang disusun hendaknya relevan, ada hubungan dan kaitannya dengan setiap TIK yang telah ditentukan sebe-lumnya. Tes ini hendaknya mengukur tercapai tidaknya setiap TIK. Konsep Pengertian Tes Pengukur Keberhasilan. Apakah yang dimaksud dengan Tes pengukur keberhasilan? Istilah ini diterjemahkan dari "Criterion referenced test" (CRT). Dick & Carey (1978, h. 78) mengartikannya sebagai tes yang terdiri atas item-item yang secara langsung mengukur tingkah laku yang telah ditentukan di dalam perumusan tujuan instruksional yang bersifat tingkah laku (behavioral objectives). Istilah ukuran (criterion) dipergunakan karena tes tersebut memang dimaksudkan untuk menentukan terpenuhi tidaknya prestasi siswa dengan tujuan istruksional khusus yang telah ditentukan. Dengan kata lain, keberhasilan siswa di dalam mengerjakan tes tersebut adalah merupakan ukuran bahwa siswa tersebut telah mencapai TIK suatu unit pengajaran. Oleh karena itu, CRT ini sering pula disebut "objectives-referenced test". Istilah ini tidak lain adalah untuk menunjukkan hubungan yang erat antara item tes dengan TIK. Di sam¬ping itu, istilah kriteria (criterion) sering juga dihubungkan dengan tingkat prestasi atau pencapaian yang dipandang sebagai telah cukup atau memenuhi syarat penguasaan (mastery). Contoh untuk ini misalnya: "siswa telah dapat menjawab 100% benar". Untuk dapat menentukan bahwa suatu tes termasuk dalam kategori "CRT" menurut Dick & Carey (1978, h. 79) ialah pertama-tama apakah tes tersebut paralel dengan TIK, dan kedua apakah ada kriteria untuk menentukan tingkat keberhasilan. Tes Pengukur Keberhasilan & Tes Pengukur Kelompok. Tes pengukur keberhasilan (CRT) biasanya dibedakan dengan Tes Pengukur Kelompok (Norm Referenced Test) disingkat NRT. Bagaima-nakah perbedaan antara kedua jenis tes tersebut? Ilustrasi berikut kiranya akan memberikan gambaran yang jelas mengenai kedua jenis tes tersebut. Pada ilustrasi di atas, prestasi atau hasil tes seseorang dibandingkan dengan hasil teman yang lain. Nilai (seore) seseorang dilihat dalam hubungannya dengan siswa lain di dalam kelompok yang sama-sama menempuh tes tersebut. Tes yang dipergunakan untuk menentukan prestasi seseorang di dalam hubungannya dengan prestasi orang lain di dalam suatu grup disebut "Tes Pengukur Kelompok" (NRT). Gronlund, 1973, h. 2). Dick & Carey (1978, h. 88 - 89) membedakan antara CRT dan NRT didasarkan atas tiga kriteria. Pertama, adalah bagaimana cara suatu tes dikembangkan. Kedua, adalah standar yang dipakai untuk menilai "performance" siswa dalam menempuh tes. Ketiga, adalah maksud suatu tes disusun. Pengembangan Tes Seperti dikemukakan di atas, tes pengukur keberhasilan (CRT) hanya terdiri atas soal-soal tes yang didasarkan atas tujuan instruksional khusus. Setiap item tes mensyaratkan agar siswa menunjukkan "performance" seperti yang tercantum di dalam tujuan instruksional khusus. Standar untuk diterimanya suatu "performance" di dalam menempuh tes didasarkan atas kriteria yang telah ditentukan di dalam tujuan instruk¬sional khusus. Misalnya: suatu tujuan instruksional khusus (TIK) berbunyi "agar siswa dapat menunjukkan ibu kota propinsi di seluruh Indonesia bila kepada¬nya diberikan peta buta Indonesia dengan ketentuan 90% harus betul". Berdasarkan contoh tersebut, seorang siswa baru dianggap lulus tes bila terhadap tes yang berkenaan dengan letak ibu kota propinsi tersebut ia menjawab benar minimal 90%. Tes pengukur kelompok (NRT) adalah berbeda dengan uraian dan con¬toh di atas. Adalah tidak perlu untuk terlebih dulu menentukan secara pasti "perfor¬mance" yang diharapkan dalam bentuk tingkah laku sebelum suatu tes disusun. Soal tes tak usah didasarkan atas pelajaran yang diterima siswa. Tak usah pula didasarkan atas ketrampilan atau tingkah laku yang dipandang sebagai ukuran dengan apa yang telah dipelajari siswa. Item tes yang dikembangkan dari suatu bidang tertentu untuk keperluan NRT diperlakukan terhadap berbagai kelompok siswa dari target populasi. : Item tes yang paling banyak dapat memberikan variasi jawaban dari siswa dimasukkan ke dalam NRT. Ranking nilai (scores) biasanya diha¬rapkan menyerupai bentuk genta atau curve normal bila dipresentasikan dalam bentuk diagram. Itulah sebabnya disebut "norm-referenced test". Standar Penilaian "Performance" Siswa. Perbedaan CRT (TAP) dan NRT (TAN) yang kedua didasarkan atas bagaimana "performance" siswa dinilai dan ditafsirkan. Di dalam CRT, standar "per¬formance" ditentukan dalam bentuk tingkah laku. Masing-masing per¬formance individu dalam menempuh tes diukur berdasar standar perfor¬mance yang telah ditetapkan. Ukurannya ialah siswa menguasai TIK atau-tidak. Performance mereka ditafsirkan atas dasar jumlah TIK yang disyaratkan untuk dikuasai. Bisa terjadi bahwa seluruh siswa menguasai seluruh TIK, atau gagal semuanya setelah dites. Distribusi nilai tak diharapkan menyerupai curve normal. Nilai (scores) pada NRT tidak dilaporkan atas dasar jumlah TIK yang dikuasai siswa, melainkan atas dasar jumlah pertanyaan yang dijawab benar oleh seorang siswa dihu¬bungkan dengan siswa lainnya yang sama-sama menempuh tes tersebut. Kata-kata bahwa prestasi seorang siswa adalah lebih baik dari 80% teman lainnya adalah suatu contoh penafsiran hasil tes menurut NRT ( TAN ). "Hasil tes semacam itu memberikan kedudukan relatif individu diban¬dingkan dengan individu-individu dalam suatu kelompok kelas, sekolah dan sebagainya" (Vembriarto, 1978, h. 2). Maksud Tes Apakah akan digunakan CRT (TAP) atau NRT (TAN) tergantung dari maksud untuk apa tes itu diadakan. Bila seorang guru bermaksud mengklasifikasikan seseorang, men¬diagnosa belajar siswa, atau hendak menyusun preskripsi pengajaran, maka adalah penting bagi guru untuk menyusun tes pengukur keberhasilan (CRT) untuk menilai performance siswa. Performance setiap individual akan menunjukkan apakah seorang siswa telah menguasai suatu ketrampilan atau belum. Sebaliknya, bila seseorang akan mengadakan seleksi terhadap individu yank diperlukan" (Vembriarto, 1978, h. 4), sebaiknya digunakan NRT. Sebab NRT memang tepat untuk menilai satu individu dalam hubungan¬nya dengan individu lain berdasar atas alat pengukur yang sama. Fungsi utama NRT adalah untuk mengambil keputusan tentang indi¬vidu. Meski kegunaan CRT berbeda dengan NRT, namun menurut Dick & Carey (1978, h. 89) sekarang adalah lazim bahwa CRT tak hanya digu-nakan untuk menilai kemajuan siswa, namun juga untuk memban¬dingkan performance siswa dalam mencapai suatu TIK. Alasan untuk ini ialah bawha hasil perbandingan tersebut dapat untuk menentukan manakah siswa yang bekerja lebih cepat, siapa yang mencapai prestasi lebih dari standar minimal yang ditentukan, untuk mengetahui posisi seorang siswa di antara teman-teman lain, untuk mengetahui siswa yang paling rendah prestasinya dan sebagainya. Pendapat Dick & Carey ter¬sebut adalah sejalan dengan pendapat Gronlund yang menyatakan bahwa "CRT dapat didisain untuk berbagai maksud di dalam proses pengajaran" (1976, h. 6). Macam-macam Tes Pengukur Keberhasilan (CRT). Dick dan Carey (1978, h. 79) menyebutkan adanya empat macam CRT yang terpenting yakni: (1) Tes prasyarat (entry-behavior test). Tes ini merupakan CRT yang didisain untuk mengukur apakah siswa telah memiliki syarat ketrampilan yang diperlukan sebelum mengikuti suatu pelajaran, (2) Tes awal (pre tes). Tes awal merupakan CRT untuk mengukur seberapa jauh siswa telah memiliki ketrampilan mengenai hal-hal yang akan dipelajari, dan (3) Tes akhir (pos tes). Tes akhir merupakan CRT untuk mengukur apakah siswa telah menguasai ketrampilan seperti yang dirumuskan di dalam TIK setelah mengikuti suatu program pengajaran, dan (4) Tes pengukur kemajuan siswa (progress test). Tes ini diberikan sewaktu-waktu selama siswa sedang dalam proses mempelajari satu unit pelajaran. Fungsi tes ini ialah semacam mem¬berikan latihan kepada siswa untuk menempuh pos tes setelah mengikuti suatu pengajaran. Dengan demikian tes ini akan memberikan data yang sangat berharga untuk mengadakan evaluasi formative terhadap jalannya pengajaran. Fungsi kedua ialah untuk mengetahui kemajuan siswa, dan bila perlu guru dapat memberikan program perbaikan (remidial) sebelum tes akhir (pos tes). Sementara itu Gronlund (1976, h.6) membedakan CRT dengan lain¬-lain tipe (macam) tes dengan menggunakan kriteria yang mirip juga dengan Dick & Carey yaitu "kegunaan" tes tersebut. Di samping Gronlund pun mengakui bahwa memang klasifikasi utama suatu tes adalah menjadi criterion-referenced test dan norm-referenced test. Gronlund juga membedakan empat macam kegunaan tes sebagai berikut: (1) Untuk mengukur pengetahuan dan kemampuan prasyarat (prerequisite) yang diperlukan untuk memulai suatu unit pengajaran. Tes ini disebut "pre tes", (2) Untuk mengukur kemajuan perkembangan pengetahuan dan kemampuan sepanjang berlangsungnya suatu unit pengajaran (for¬mative test), (3)Untuk mengetahui- kesulitan siswa, mengetahui sebab-sebab kesulitan selama pengajaran berlangsung (diagnostic test), dan (4) Untuk mengukur hasil belajar dari suatu unit pengajaran (sum¬mative test). Meskipun sama-sama membedakan adanya empat macam test, namun antara Dick & Carey dengan Gronlund ada perbedaan pendapat yang perlu didiskusikan. Dick & Carey menyebut keempat macam tes (entry-behavior test, pre tes, pos tes dan progres stes) sebagai CRT. Sedangkan Gronlund untuk dapat disebut sebagai CRT, perlu syarat¬ syarat khusus. Menurut Gronlund, "pre tes" dapat disebut sebagai "criterion refe¬renced", hanya apabila didisain sesuai dengan prinsip-prinsip penyusun¬an CRT, yakni didasarkan atas kriteria tertentu, dalam hal ini TIK . Sebaliknya “non referenced test” pun dapat diberikan pada permulaan pengajaran baik untuk mengetahui berapa banyak siswa yang telah mengetahui isi pelajaran. Yang penting diperhatikan menurut Gronlund ialah bahwa tidakmesti semua “pre tes” adalah “criterion referenced test”. Dalam hal ini Dick & Carey menganggap sama “pre tes” adalah “criterion referenced test”. Mengenai istilah “formative test” dan “summative test”, menurut Gronlund sebenarnya lebih banyak dikaitkan dengan proses penilaian kurikulum seperti dikembangkan oleh Scriven, (1967). Hal ini sesuai pula dengan pendapat Dick & Carey (1978, h.177) yang mengatakan “evaluasi formatif adalah suatu proses untuk mendapatkan data bagi guru untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi suatu program pengajaran. Tekanan evaluasi formatif adalah untuk mengumpulkan data yang akan digunakan untuk merevisi suatu program pengajaran agar mencapai efektifitas semaksimal mungkin”. Tes formatif digunakan sewaktu pengajaran sedang berlangsung untuk memacu, mengarahkan, dan menilai belajar siswa dan untuk menilai efektivitas proses pengajaran. Sedang tes sumatif adalah tes yang diberikan di akhir pengajaran untuk menentukan apakah yang telah dipelajari siswa. Menurut Gronlund CRT dapat dipakai untuk tes sumatif dan formatif, begitu pun “norm referenced” dapat melayani keperluan tes formatif dan tes sumatif. “Criterion referenced test” pada dasarnya dapat pula untuk keperluan tes diagnostik yakni untuk menunjukkan kesalahan atau kesulitan belajar siswa dalam suatu bagian tertentu. Namun agar dapat berfungsi sebagai tes diagnostik, suatu tes perlu disusun secara khusus sehingga dapat menentukan di mana letak kesalahan atau kesulitan belajar siswa. Sebab CRT yang menentukan standar bahwa bila 80% TIK tercapai seperti ditunjukkan dari hasil tes yang benar 80% lebih, belum menunjukkan di mana letak kesalahan 20%. Kesimpulan dari uraian tersebut di atas ialah bahwa meskipun CRT dapat dipergunakan sebagai “pre tes”, formative tes, diagnostik tes, summatif tes, namun istilah-istilah tersebut jangan sampai dikacaukan dengan CRT. Prinsip-prinsip CRT Penyusunan disain dan pengembangan Tes Pengukur Keerhasilan hendaknya diarahkan kepada pengukuran keberhasilan siswa di dalam mencapai tujuan instruksional yang telah dirumuskan secara jelas. Untuk dapat mengembangkan tes yang demikian, beberapa hal yang perlu diperhatikan menurut Gronlund adalah sebagai berikut: 1. Aspek-aspek tugas yang hendak dipelajari perlu dirumuskan secara tegas. Apakah tugas siswa menghafalkan fakta, membedakan, menghafalkan dalil, menerapkan suatu rumus? Inilah yang dimaksud tugas mempelajari (learning task), yang kesemuanya harus dirumuskan secara tegas. 2. Tujuan instruksional hendaknya dirumuskan dalam bentuk tingkah laku. Hasil tes adalah untuk mengukur apakah siswa telah berhasil menyelesaikan tugas yang harus dipelajari. Oleh karena itu, tingkah laku yang menunjukkan hsil siswa mempelajari tugas tersebut perlu dirumuskan secara jelas. Hasil belajar tersebut hendaknya dirumuskan dalam bentuk tingkah laku misalnya mengidentifikasi, menjelaskan, menyusun, membedakan, dan sebagainya yang diharapkan siswa dapat menunjukkan sebagai pertanda ia telah mencapai tujuan yang diharapkan. Kadang-kadang kapan dan dalam keadaan bagaimana (conditions) kemampuan itu harus ditunjukkan perlu pula dirumuskan secara tegas. Bolehkah melihat reference, menggunakan kamus pada waktu menyelesaikan tugas mengarang misalnya? 3. Standar keberhasilan minimal perlu ditegaskan. Seberapa jauh prestasi siswa telah dianggap cukup memenuhi syarat? Tanpa ada ketentuan standar keberhasilan ini akan sulit mengembangkan CRT. 4. Perlu ditentukan sampel (contoh) performance siswa untuk dipakai dasar menilai penguasaan atas tugas-tugas mempelajari, suatu tujuan instruksional. Kalau dalam suatu unit pelajaran ada enam TIK, bisakah penguasaan TIK No. 1, 3, 5 sudah dipandang cukup? 5. Soal-soal tes perlu dipilih berdasar atas tingkah laku yang dirumuskan di dalam tujuan instruksional. Bila TIK menghendaki siswa dapat menggunakan rumus, maka soal tes pun harus meminta siswa untuk menggunakan rumus, bukan sekedar menghapal. 6. Perlu sistem penilaian (scoring) yang secara jelas menunjukkan penguasaan siswa atas tugas mempelajari sesuatu yang telah dite-tapkan. Misalnya siswa dianggap lulus dengan nilai C (cukup) kalau benar 70% dari 100 soal yang dikerjakan. Penyusunan Disain & Penulisan Tes Bagaimana memulai menyusun disain dan mengembangkan CRT? Prinsip dasar untuk ini ialah hendaknya penyusun tes menuliskan satu atau lebih tes untuk setiap tujuan instruksional. Jadi, yang penting diperhatikan setiap soal tes harus menunjuk dengan tegas TIK yang hendak dites. Soal yang tak ada hubungan dengan TIK hendaknya dikeluarkan dari CRT. TIK yang berkenaan dengan aspek pengenalan (cognitive) biasanya mudah untuk disusun soalnya. Pada soal yang berkenaan dengan aspek pengetahuan atau kemampuan intelektual, siswa dikehendaki menjawab soal dengan menulis untuk menunjukkan. penguasaannya atas suatu TIK. TIK untuk aspek sikap (affective) lebih sukar untuk menyusun soalnya. Sebab TIK yang berkenaan dengan aspek sikap pada umumnya ber¬kenaan dengan sikap dan pilihan siswa. Oleh karena tak ada instrumen yang secara langsung untuk bisa mengukur sikap dan pilihan siswa, misalnya apakah seorang siswa menyenangi suatu musik, maka soal un¬tuk aspek sikap biasanya menghendaki agar siswa menunjukkan pilihan¬nya atau guru mengamati tingkah laku siswa. Soal untuk aspek gerak (psychomotor) mirip dengan soal pada aspek pengetahuan. Hanya saja untuk aspek gerak ini kemampuan yang harus didemonstrasikan adalah yang berkenaan dengan gerak fisik, seperti gerakan tangan, kaki, bibir, badan,dan sebagainya. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan di dalam menuliskan soal tes ialah: 1. Item tes yang ditulis hendaknya konsisten atau sesuai dengan tingkah laku, kondisi dan standar yang telah ditetapkan di dalam TIK. Oleh karena itu, sebelum menuliskan suatu item tes, perlu dilihat dulu TIK yang bersangkutan. Apakah di dalam TIK disebutkan bahwa siswa harus mendefinisikan sesuatu dengan bahasa sendiri tanpa melihat catatan? Jadi, yang penting diperhatikan ialah apakah yang harus dikerjakan siswa menurut TIK? Bila di dalam TIK siswa harus dapat memasangkan, menuliskan, menyusun daftar, memilih, atau menjelaskan, maka soal-soal yang dibuat hendaknya memungkinkan siswa untuk melakukan tugas¬-tugas tersebut. Soal tes juga harus memperhatikan dalam keadaan bagaimana kemampuan itu ditunjukkan. Apakah harus dengan hafalan, boleh meuhat buku, boleh menggunakan alat seperti mesin hitung ?Standar minimal untuk mendapatkan suatu nilai pun perlu dicantumkan. Misalnya benar semua mendapat 8, 10 atau seratus, atau A misalnya. 2. Jumlah item untuk setiap TIK. Hendaknya dibuat lebih dari suatu tes item untuk setiap TIK. Kalau hanya satu item tes untuk setiap TIK, sukar untuk menentukan apakah benar-benar siswa tersebut telah menguasai TIK. Kalau ia tak benar menjawab satu item tes tersebut. Sebaliknya bila ia gagal menjawab satu soal apakah berarti ia gagal menguasai TIK tersebut? Pedoman yang perlu diperhatikan ialah bila dari suatu tes, siswa diminta untuk menebak (guessing) jawaban dengan benar, sebaiknya dibuat beberapa tes paralel untuk suatu TIK. Bila soal tes tidak menghendaki siswa untuk menebak, tapi menjawab singkat atau menguraikan misalnya, maka satu atau dua soal untuk satu TIK sudah cukup untuk menilai kemampuan siswa. Meski tak ada ketentuan secara tegas tentang jumlah item tes untuk setiap TIK, hasil riset menunjukkan bahwa semakin sempit suatu TIK, semakin sedikit item tes yang diperlukan. Sebaliknya, semakin luas suatu TIK, semakin banyak jumlah item tes yang diperlukan un¬tuk mengukur performance siswa (Dick & Carey, 1978, h.82). 3. Tipe (bentuk) tes. Tipe (bentuk) tes bagaimana yang akan digunakan untuk mengukur performance siswa ? Kita mengenal berbagai tipe atau bentuk tes seperti benar salah, melengkapi, memasangkan, pilihan ganda, dan essay. Di dalam memilih tipe (bentuk) tes, hendaknya bentuk tingkah laku yang dinyatakan di dalam TIK perlu diperhatikan. Dengan menggunakan tipe TIK sebagai pedoman, dapat disusun tes yang terbaik untuk mengukur performance siswa. Perlu diperhatikan pula waktu yang tersedia untuk mengerjakan tes. Perlu diperhatikan pula bahwa masing-masing tipe tes mempunyai kelemahan dan kebaikan. 4. Pengaturan nomor tes. Sebaiknya tes disusun secara tersebar (scramble). Namun hendaknya tetap dikelompokkan sesuai dengan tipe masing¬-masing tes. 5. Petunjuk mengerjakan tes. Perlu dituliskan petunjuk yang jelas di dalam mengerjakan tes. Misalnya menjawab dengan memberi tanda silang, melingkari, dan sebagainya. Validitas & Reliabilitas Tes. Di dalam menyusun CRT perlu diperhatikan validitas isi (content validity). Tes yang isinya valid menurut Gronlund (1973, p. 47) adalah tes yang konsisten dan relevan dengan TIK dan materi suatu unit pelajaran. Di samping soal validitas, di dalam menyusun tes perlu pula diperhatikan soal reliabilta (test relability). Istilah reliability "berkenaan dengan pertanyaan "apakah suatu item tes secara konsisten mengukur tingkah laku yang akan diukur (Dick & Carey, 1978, h.90). Sebagai contoh bila ada empat nomor soal tes yang dipandang dapat untuk mengukur ketrampil¬an tertentu dari seorang siswa, maka siswa yang menguasai ketrampilan tersebut diharapkan dapat menjawab dengan benar minimal tiga dari empat soal tersebut. Sebaliknya bila siswa tidak menguasai ketrampilan tersebut seharusnya ia pun gagal menjawab tes tersebut.

0 on: "PENYUSUNAN TES PENGUKURAN KEBERHASILAN"